Minggu, 07 Agustus 2011

4 Agustus 2011

4 Agustus 2011

Hari Kamis sore aku menjemput pak Pudjono yang baru datang dari Yogyakarta. Rumahnya menyala namun kosong, maka aku menunggu beberapa saat. Kemudian aku mampir ke rumah pak Siahaan, dan ternyata pak Pudjono sudah ada di sana. Kami ngobrol beberapa saat dan membicaraakan Leo yang menunggu pengumuman hasil test untuk masuk ke STPDN. Aku katakan bahwa yang paling penting adalah mempersiapkan diri menghadapi hasil yang paling jelek.

kemudian aku bertanya ke pak Pudjono bahwa di Bandung sedang muncul issue tentang bukit Lalakon di Soreang. Ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa bukit Lalakon itu seperti piramida, yang lebih besar dari yang di Mesir. Pak Pudjono mencoba menerawang dan ada jawaban yang kurang lebih :”Bukit Lalakon kuwi jenenge gunung Trapsilo kanggo semedi. Kuwi gunung sing alami, dudu gaweane manungsa. Bongkahane kae jenenge bongkahan Hadar.”  Kami tidak tahu apa arti hadar disini, apakah dari bahasa Sunda atau bahasa lain.

Kemudian kami bertiga berangkat ke rumah pak Mardayat untuk berkumpul dengan yang lain. Yang datang pak Abraham, pak Sumeri, bapak ibu Yohanes Asngadi, pak Yohanes BP, pak Bangun, mas Sugeng, mas Agus Budianto dan pak Slamet.

Kami ngobrol ngalor ngidul, dan berkisar pukul 21.00 aku memimpin doa pembuka, mengucap syukur. Semoga yang kudus dari sana berkenan hadir menemani kami.
Simbol yang terlihat adalah bulus, kemudian spt tulisan “on,”  meja untuk menerima tamu dalam suasana lesehan. Setelah itu ada simbol mahkota raja, payung, dan sumur. Tidak ada suara apapun yang menyertai simbul-simbul tersebut. Kemudian terlihat simbul jago warna hitam.

Beberapa saat kemudian pak Pudjono mengatakan bahwa terlihat seseorang yang masih muda berjubah, kepala memakai sejenis sorban ubel-ubelan, membawa tongkat yang diletakkan di pundak. Sewaktu kami tanyakan, ada jawaban :”aku Bapa Maha Guru. Jenengku Bapa Sinar Kamulyan. Sinar kamulyan kanggo Durpa. Mulya-mulyane urip, isih mulya wong kang permana.”

Aku malahan yang diminta untuk menjabarkan makna kata-kata tersebut kepada yang lain. Dalam batinku, nama tersebut sepertinya lebih cenderung bahwa yang berkata adalah Tuhan Yesus sendiri.

Kemudian terlihat simbul gagang telepon dan ada suara :”Gusti saiki rawuh, sembahen nganggo caramu dhewe-dhewe, lan dongaa dhewe-dhewe.”

Setelah itu pak Pudjono mendengar suara :”Praptaning Gusti ora kanggo kowe kabeh, ananging mung kanggo Darmono. Darmono, mula endang ngadega, wulangen.”

Aku kaget setengah mati, karena aku sedang berdoa mengaku dosa yang mengakui sebagai anak yang bandel. Aku mengakui bahwa nyatanya masih sering berlari kemana-mana, dan malah menjauh dari kehendakNya.
Aku berdoa mohon bantuannya, agar Tuhan sendiri yang berkata melalui aku. Rasanya aku mengulang ajaran yang baru saja kami terima, bahwa dalam hidup ini harus selalu eling dan waspada, setiti ngati-ati menghadapi kehidupan. Hal ini sepertinya berkaitan dengan bahasa Alkitab, agar kita cerdik seperti ular namun tulus seperti merpati. Yang jelas aku tidak bisa mengingat semuanya, apa yang aku katakan.

Kemudian pak Sumeri mendapat perintah :”Marak a.” dan pak Semeri berdoa dengan berlutut.

Tuhan hadir pasti membawa karunia bagi kami semua, yaitu sinar kamulyan. Malam itu kami tanyakan kira-kira karunia apa bagi kami masing-masing.
Pak Slamet  à yang terlihat buku tebal seperti alkitab
Pak Pudjono à yang terlihat neker/ kelereng berwarna transparan
Pak Abraham à yang terlihat bibir
Aku à yang terlihat tangan menjulur, yang memberkati
Pak Yohanes BP à yang terlihat seperti memandikan (nggrujugi) orang
Pak Yohanes Asngadi à yang terlihat seperti meteran panjang
Bu Asngadi à yang terlihat mawar putih
Pak Bangun à yang terlihat adalah akal atau pikiran
Mas Sugeng à suara “becike ora dhisik.”
Pak Siahaan à yang terlihat juga buku
Pak Sumeri à yang terlihat juga buku tertutup namun terbalik
Mas Agus Budianto à buku Perjanjian Baru namun masih tertutup
Pak Mardayat à yang terlihat sampur atau selendang warna kuning

Sekali lagi aku diminta untuk menjabarkan sinar kamulyan tadi secara garis besarnya, biarlah masing-masing mencoba merenungkannya, yang bisa disesuaikan dengan hati masing-masing.

Kemudian kami istirahat sambil ngobrol, karena nyonya rumah menyediakan mie rebus buat kami semua.

Berkisar pukul 22.45 pak Pudjono melihat ada orang yang bersila sedang memegang seperti bola berwarna transparan. Kemudian bola tersebut dilemparkan kepada kami masing-masing dan orang bersila tersebut menghilang. Bola transparan yang masih kosong tersebut kira-kira akan diisi apa oleh kita masing-masing.
Pak Pudjono mencoba melihat dari setiap bola yang ada di kami. Pak Pudjono sendiri melihat bahwa dalam bolanya terlihat seperti tangan yang bersalaman.
Pak Slamet à bola tersebut masih dilihat- lihat dan ditiup-tiup, bola masih kosong
Pak Abraham à bola diangkat diatas kepala dan berisi seperti rumah adat
Aku à katanya bola berisi banyak sekali sampai penuh dan bermacam-macam
Pak Yohanes BP à bola dimasukkan ke dalam perut di balik baju
Pak Yohanes Asngadi à bola dicium-cium, malah mau dibelah tetapi tidak jadi
Bu Asngadi à bola dibawa tidur dan dilela-lela/ ditimang. isinya seperti jelly
Pak Bangun à bola malah disodorkan kepada orang lain yang cenderung memaksa
Mas Sugeng à masih muter-muter, belum tertarik kepada bola tersebut
Pak Siahaan à bola diletakkan di bawah ketiak
Pak Sumeri à dengan heran bola diteliti dan dikatak-katik
Mas Agus Budianto à bola diletakkan di atas meja
Pak Mardayat à bola dipotong dibagi dua dan sedang dilihat apa isinya.

Kembali aku diminta untuk mencoba menjelaskan makna dari gambaran tersebut dan biarlah masing-masing juga mencoba menterjemahkannya.

Kemudian kami ngobrol kembali dan berkomentar. Pak Bangun bercerita panjang lebar tentang pengalaman mendalami segala macam kitab suci dan kaitannya.

Berkisar pukul 01.00 hari Jumat pagi, pertemuan ditutp dengan doa bersama, mengucap syukur atas segala pengajaran pendek, yang sebenarnya bermakna dalam sekali.