Minggu, 29 November 2009

Memahami Matius Bab 17

Bab 17. Transfigurasi, penyembuhan, penderitaan Tuhan Yesus, membayar pajak untuk Bait Allah

Yesus dimuliakan di atas gunung
17:1. Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendiri saja. 17:2 Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. 17:3 Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia. 17:4 Kata Petrus kepada Yesus: "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." 17:5 Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." 17:6 Mendengar itu tersungkurlah murid-murid-Nya dan mereka sangat ketakutan. 17:7 Lalu Yesus datang kepada mereka dan menyentuh mereka sambil berkata: "Berdirilah, jangan takut!" 17:8 Dan ketika mereka mengangkat kepala, mereka tidak melihat seorangpun kecuali Yesus seorang diri. 17:9 Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka: "Jangan kamu ceriterakan penglihatan itu kepada seorangpun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati." 17:10 Lalu murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Kalau demikian mengapa ahli-ahli Taurat berkata bahwa Elia harus datang dahulu?" 17:11 Jawab Yesus: "Memang Elia akan datang dan memulihkan segala sesuatu 17:12 dan Aku berkata kepadamu: Elia sudah datang, tetapi orang tidak mengenal dia, dan memperlakukannya menurut kehendak mereka. Demikian juga Anak Manusia akan menderita oleh mereka." 17:13 Pada waktu itu mengertilah murid-murid Yesus bahwa Ia berbicara tentang Yohanes Pembaptis.
Ketiga rasul di atas kelihatannya terpilih secara khusus yang dapat menyaksikan kemuliaan Tuhan Yesus. Namun ketakutan juga, sampai-sampai tersungkur ketika mendengar “Suara Allah Bapa” dari tengah awan yang terang. Tuhan Yesus mengajak untuk tidak takut kepada Tuhan, karena Tuhan begitu mengasihi manusia, termasuk kita. Bersyukurlah bahwa kita boleh mendengar berita kemuliaan-Nya.

Kelihatannya Tuhan Yesus menceritakan nabi Elia yang datang lebih dahulu sebelum Dia, di dalam diri Yohanes Pembaptis. Kitapun jika hidup pada zaman itu, rasanya tidak akan menghormati munculnya Yohanes Pembaptis, bahwa dia seorang pilihan utusan Tuhan. Penampilannya tidak meyakinkan di mata dunia. Tuhan Yesuspun sudah menceritakan apa yang akan terjadi dengan diri-Nya, bahwa Diapun akan dicemooh dan dianiaya. Siapkah kita menerima “aniaya” karena menjadi pengikut Tuhan Yesus?

Ada hal yang sangat penting untuk kita renungkan :”Dengarkanlah Dia.” Dengarkanlah kata-kata Tuhan Yesus! Kalimat tersebut yang menggugah penulis untuk mencoba memahami kata-kata-Nya dalam tulisan ini. Sudah semestinya kalau kita mengaku sebagai murid-Nya, kitapun mencoba mendengarkan kata-kata Tuhan Yesus yang ada dalam Kitab Injil. Paling tidak, disitulah “terekam” kata-kata-Nya melalui tulisan Matius, Markus, Lukas dan Yohanes serta kisah para Rasul.

Transfigurasi Tuhan Yesus sewaktu ngobrol dengan Elia dan Musa, sepertinya mengajarkan kepada kita bahwa kitapun bisa berdoa atau berbicara dengan para kudus. Menyampaikan sesuatu dengan permohonan agar disampaikan kepada Tuhan. Kita mungkin lebih mengenal dengan istilah devosi kepada santo atau santa.

Secara nalar, dalam kehidupan sehari-hari apabila kita ingin bertemu orang besar secara resmi rasanya tidak mudah. Anggaplah jika ingin bertemu dengan gubernur atau bupati. Kita mungkin bertanya-tanya dahulu mencari informasi melalui stafnya. Kita mungkin mendapatkan informasi agar melalui prosedur protokoler yang berlaku. Setelah segala prosedur kita lalui, pada saatnya kita akan melalui sekretaris untuk melapor dan menunggu.

Hebatnya, Tuhan memberi kebebasan kepada kita jika kita ingin bertemu dan berkomunikasi dengan Dia. Mau secara langsung, melalui staf-Nya atau para pegawai-Nya, boleh-boleh saja. Devosi kepada malaikat atau kepada orang kudus sudah menjadi bagian dalam kehidupan kita. Dan yang mengagetkan bagi kelompok kami, dalam komunikasi rohani malahan untuk hal-hal tertentu Tuhan Yesus sering menyarankan kepada kami untuk melalui Bunda-Nya. Bunda Maria selaku Bunda Pengantara bagaikan Sekretaris Agung yang selalu siap melayani kita.

Disini Matius tidak menceritakan apa yang dibicarakan antara Tuhan Yesus dengan Musa dan Elia. Mungkin Matius lebih menekankan bahwa Anak Manusia berubah rupa yang sulit untuk diceritakan dengan kata-kata. Ketiga murid menerima penampakan Illahi yang menakjubkan dan Allah Bapa berkenan hadir yang dilambangkan dengan awan terang.

Nabi Musa dan Nabi Elia sepertinya mewakili tokoh-tokoh perjanjian lama, yang dalam pemahaman penulis pastilah kedua orang tersebut orang-orang besar pilihan Allah. Musa kita kenal sebagai nabi yang membebaskan umat Israel dari tangan orang-orang Mesir. Nabi yang diberi tongkat ajaib untuk melakukan banyak mujizat yang menakjubkan. Sedangkan Elia kita kenal sebagai nabi yang mengalahkan banyak dukun dalam pertandingan membuat korban bakaran. Elia adalah nabi yang bisa terbang yang diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya.

Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan
17:14. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya kembali kepada orang banyak itu, datanglah seorang mendapatkan Yesus dan menyembah, 17:15 katanya: "Tuhan, kasihanilah anakku. Ia sakit ayan dan sangat menderita. Ia sering jatuh ke dalam api dan juga sering ke dalam air. 17:16 Aku sudah membawanya kepada murid-murid-Mu, tetapi mereka tidak dapat menyembuhkannya." 17:17 Maka kata Yesus: "Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan yang sesat, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu? Berapa lama lagi Aku harus sabar terhadap kamu? Bawalah anak itu ke mari!" 17:18 Dengan keras Yesus menegor dia, lalu keluarlah setan itu dari padanya dan anak itupun sembuh seketika itu juga.
Dalam bahasa ini kelihatannya penyakit ayan hampir sama dengan kemasukan roh jahat. Kitapun sering mengeluh karena sakit yang tidak sembuh-sembuh, padahal segala macam cara sudah mulai kita coba. Para dokter yang kita anggap ahli maupun pengobatan alternatif telah kita tempuh, namun masih tidak sembuh juga. Ujung-ujungnya kita mengeluh kepada Tuhan, dan ingin menuntut mengapa begini, mengapa begitu.

Pertanyaannya, apakah kita sebenarnya sudah pasrah kepada Tuhan secara total lahir batin dengan penuh iman, bahwa Tuhan Yesus adalah Maha Penyembuh. Masih adakah “keraguan” dalam hati kita yang paling dalam? Atau percayakah kita bahwa Tuhan Yesus mempunyai rencana lain yang mungkin berbeda dengan rencana dan keinginan kita? Rasanya disinilah butir-butir penting bahwa Tuhan Yesus dapat berbuat yang tidak mungkin, dimana menurut kita hal tersebut mustahil.

Kedagingan kita biasanya menjadi batu sandungan yang membikin kita kurang percaya dan tersesat. Pernahkan kita bertobat dan mohon ampun, dengan merenungkan diri akan perjalanan hidup kita yang mungkin Tuhan Yesus tidak berkenan? Kepercayaan kita mungkin belum diikuti dengan pertobatan dan pemurnian secara penuh. Memang rasanya masih banyak ganjalan-ganjalan yang menjadi hambatan, yang berhubungan dengan iman kepercayaan, belas kasih yang tidak membeda-bedakan, maupun pertobatan secara total. Gampang diucapkan namun sangat sulit untuk melaksanakannya.

Dalam kehidupan sehari-hari sewaktu keluarga atau kita sendiri sakit, kita berkonsultasi kepada dokter. Sering kali kita ragu dan bimbang akan kemampuan dokter tersebut. Kita melaksanakan perintah dokter tidak dengan rasa percaya, hanya setengah-setengah. Dan hasilnya ..... ..... koq ya tidak ada perubahan. Atau kita datang ke seorang imam agar didoakan. Sewaktu imam berdoa kita ikut berdoa, begitu doa imam tersebut terasa panjang atau lama sekali, muncullah pikiran di dalam hati, koq doanya lama bener. Dan nyatanya belum mengalami kesembuhan.

Penulis agak bingung mengapa Tuhan Yesus mengatakan berapa lama lagi Dia harus tinggal dan berapa lama lagi harus sabar. Apakah hal ini suatu isyarat bahwa hanya sebentar lagi Dia harus menyelesaikan tugas-Nya? Ataukah hal ini berhubungan dengan iman kepercayaan yang harus dapat merubah hidup kita?

Kalau kita renungkan, kita ini memang sering konyol dan aneh. Memang sering kali kita membutuhkan pertolongan Tuhan, jika kita sedang mengalami penderitaan. Jika sedang baik-baik saja, kita lupa untuk bersyukur; ngapain datang memohon-mohon? Tuhan lebih sering kita anggap sebagai pegawai profesional di rumah sakit yang besar. Kadang-kadang Dia kita anggap sebagai dokter, kadang-kadang sebagai ahli jiwa, kadang-kadang sebagai dukun. Yang lebih ekstrim lagi malahan kita anggap sebagai pelayan, badut atau pelawak untuk menghibur kita. Aneh bukan?

17:19 Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka: "Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu?" 17:20 Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu. 17:21 (Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.)"
Kembali Tuhan Yesus “menegur” para murid karena kurang percaya. Inti pengajaran Tuhan Yesus kelihatannya adalah percaya, percaya dan percaya bahwa Dia Yang Maha Kuasa dalam segala hal. Biji “sesawi” yang penulis lihat di Israel nyatanya berbeda dengan jenis sawi yang kita kenal selama ini. Biji tersebut begitu lembut seperti biji tembakau atau malahan lebih lembut lagi. Tuhan Yesus mengumpamakan iman kepercayaan yang begitu kecil saja sudah dapat membuat mujizat. Jangan-jangan kita yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus, sebenarnya belum seperti yang diharapkan oleh-Nya. Iman kita jangan-jangan tidak seperti biji yang berbentuk nyata, namun seperti udara yang tidak kelihatan. Atau seperti embun pagi yang kelihatan begitu berkilau, namun menguap terkena panas matahari. Kelihatannya Tuhan Yesus mengharapkan iman cukup sebesar biji sesawi, yang kalau jatuh ke air tidak meleleh dan mencair atau jatuh ke tanah hilang ditelan bumi. Namun malahan dapat tumbuh berkembang dan akhirnya berbuah.

Dengan iman yang kecil tetapi sungguh-sungguh, maka segala macam gunung dapat kita pindahkan atau kita ceburkan ke dalam laut. Gunung pencobaan, gunung rintangan dan hambatan, yang menghalangi kita untuk melihat di balik gunung tersebut. Di balik gunung pencobaan tersebut sebenarnya yang menunggu kita Tuhan sendiri. Sang Terang akan kelihatan bercahaya sewaktu gunung tersebut kita pindahkan atau kita buang. Penulis belum pernah mendengar cerita bahwa seseorang telah bisa memindahkan gunung betulan. Karena percaya kepada Dia, maka kita bisa mengalahkan pencobaan yang menyelimuti kita.

Ayat 21 dalam kurung kelihatannya menambahkan bahwa, bukan hanya percaya saja yang dibutuhkan, namun juga penuh dengan doa dan mati raga atau puasa, seperti Tuhan Yesus sendiri yang selalu melakukan doa dan puasa. Doa dan puasa adalah salah dua dari senjata keselamatan yang diajarkan Bunda Maria dalam penampakannya di Medjugorje.

Pemberitahuan kedua tentang penderitaan Yesus
17:22. Pada waktu Yesus dan murid-murid-Nya bersama-sama di Galilea, Ia berkata kepada mereka: "Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia 17:23 dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan." Maka hati murid-murid-Nya itupun sedih sekali.
Tuhan Yesus tidak menyebut Aku, melainkan Anak Manusia seperti untuk orang lain. Seperti seorang aktor yang menceritakan perannya, tidak akan menyebut “aku” nanti akan begini dan begitu melainkan nama peran tersebut. Tuhan Yesus kelihatannya lebih menekankan bahwa Dia sebagai manusia sejati yang harus melalui dan mengikuti jalan cerita yang sudah diskenariokan. Jalan ceritanya harus begitu dan tidak bisa dirobah menurut selera kita. Seperti kita nonton film yang terhanyut pada alur cerita, kadang-kadang bergumam berkomentar, kenapa tidak begini dan kenapa tidak begitu, mestinya sesuai dengan keinginan kita yang sesaat pada waktu itu, untuk memuaskan diri sendiri. Masak sich, seorang pahlawan harus mati, harusnya kan menang. Inilah yang membikin sedih karena tidak sesuai dengan harapan kita. Lha kalau Sang Guru sampai menderita dan wafat, kita terus bagaimana? Tiga hari kemudian Sang Guru bangkit kan masuk sorga. Kemudian, apa yang bisa kita perbuat setelah ditinggal Sang Guru? Pasti kita juga akan diperlakukan sama dengan Sang Guru, dikejar-kejar, dianiaya dan dibunuh.. Ilmu dari-Nya rasanya belum cukup, dan keberanian untuk tampil seperti Dia belum dipunyai.

Dalam kehidupan sehari-haripun sering kali kita merasakan kesedihan, ketidak relaan apa bila panutan kita dipindahkan ke tempat lain. Kelekatan yang selama ini terpupuk rasanya tercabik dan kita merasa tidak siap untuk ditinggalkan. Ketergantungan kepada panutan bagaikan kita kehilangan tongkat yang membuat kita tidak bisa berjalan sendiri. Padahal kita diharapkan untuk segera dewasa dan mandiri, melanjutkan karya yang ditinggalkan kepada kita. Sewaktu-waktu kita masih bisa berkonsultasi, menimba pengalaman dengan berbagai cara yang kita ketahui.

Hal tersebut hampir sama dengan mencari pengganti ketua lingkungan yang selama ini dianggap cocok. Kalau bisa, biarlah dia yang menjadi ketua untuk seumur hidup. Alasannya belum siap, sibuk dengan pekerjaan, anak-anak masih kecil, masih ada yang lebih senior dan lain sebagainya. Tongkat kepemimpinan tetap harus berjalan dan pada waktunya harus diestafetkan kepada penerus. Yang menjadi pemimpinpun harus legowo dan yakin bahwa penerusnya pasti bisa melanjutkan, dengan segala kelemahan dan kelebihannya.

Sampai saat inipun masih banyak orang yang tidak percaya bahwa Tuhan Yesus wafat di kayu salib dan tiga hari kemudian bangkit dari antara orang mati. Malahan tidak percaya bahwa Dialah Sang Mesias yang ditunggu-tunggu

Yesus membayar bea masuk Bait Allah
17:24. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" 17:25 Jawabnya: "Memang membayar." Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?" 17:26 Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi bebaslah rakyatnya. 17:27 Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga."
Kelihatannya Tuhan Yesus ingin meluruskan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada waktu itu, khususnya bea dan pajak untuk pemeliharaan Bait Allah. Namun Tuhan Yesus tidak ingin berbantahan dengan pemungut pajak, bahwa sebenarnya Dialah Sang Bait Allah sendiri, yang berkuasa dan wajib disembah serta menerima persembahan. Kuasa tersebut diperlihatkan kepada Simon Petrus bahwa Dia berkuasa atas segala hal, dengan menyuruh Simon memancing ikan di danau Galilea di dekat rumahnya. Uang pembayar pajak berada di mulut ikan yang dipancing.

Dalam pemahaman penulis, kitapun diajar dalam beberapa hal untuk mengalah agar tidak terjadi perbantahan yang hebat, yang akhirnya mendorong kita lebih beremosi yang akan melahirkan kemarahan. Rasanya kitapun sering bermain kata-kata indah demi keuntungan diri atau kelompok kita atau mengambil kesempatan dari ketidak-tahuan orang lain untuk menjadi makanan kita.

Satu hal diajarkan kepada kita agar kita cerdik dan tulus serta waspada dalam hidup ini. Agar tidak menjadi batu sandungan, Tuhan Yesus mau dan rela membayar untuk sesuatu yang tidak seharusnya dibayar. Apa yang harus kita lakukan apabila kita mengajukan izin pembangunan gereja, kita diminta membayar ini dan itu, diminta memenuhi syarat ini dan itu? Dalam kecerdikan harus ada ketulusan, harus ada keikhlasan tanpa gerutuan atau kemendongkolan. Namun kita juga perlu waspada atau hati-hati, apabila itu jerat yang dipasang untuk menjebak kita. Ini yang berat, karena kita merasa tidak rela diperlakukan dengan tidak adil. Keberanian untuk melawan ketidak adilan belum ada karena sudah merasa pasti akan kalah. Umumnya kita akan berlindung di bawah ajaran “mengalah dan mengalah.” Jer basuki mawa bea, ajaran Jawa ini rasanya masih sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar