Minggu, 29 November 2009

Memahami Matius Bab 19

Bab 19. Perceraian, Berkat, Orang muda kaya, upah mengikut Tuhan Yesus

Perceraian
19:1. Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. 19:2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka di sana.
19:3. Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" 19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita tentang tidak dikehendakinya suatu perceraian dalam keluarga. Yang perlu kita sadari adalah bahwa tidak ada satupun manusia yang sempurna secara lahir batin. Tidak ada satupun manusia yang sama secara lahir dan batin, makanya dikatakan bahwa dari sidik jari dan “rajah” telapak tangan susah sekali diketemukan yang sama persis. Itulah keunikan manusia ciptaan Tuhan.

Niat ingin bersatu dengan calon pasangan, mestinya juga harus sudah diperhitungkan bahwa calon pasangan tidak sama dengan kita, sehingga untung dan malang dalam kehidupan ini akan selalu menyertai kita. Untung dan malang tidak selalu dari sisi materi, namun dapat juga dari sisi yang lain. Unik ketemu dengan unik akan membuahkan keunikan baru tersendiri. Itulah kehidupan suatu keluarga, dalam bahasa Jawa isteri sering disebut “garwo” sigarane nyowo (dua jiwa yang bersatu menjadi satu daging). Senangku ya senangnya dia, bahagiaku ya bahagianya dia; kesulitanku ya kesulitannya dia juga. Mau saling berbagi dalam segala hal untuk dirasakan bersama-sama, sehingga dapat mensyukuri segala keadaan yang dialami. Mestinya kalau sudah berani mengambil keputusan untuk menikah, berarti sudah siap dengan segala risiko yang akan dihadapi bersama-sama. Yang tadinya bebas menjadi bebas dalam ikatan karena terikat tali perkawinan. Saling menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna dan ideal lahir batin. Berani menerima dan mengemukakan kekurangan dan kelebihan masing-masing, yang kalau disatukan akan bisa saling mengisi, menguatkan dan dapat memaklumi pasangan. Jika menghadapi kesalah pahaman sampai tingkat percekcokan dan pertengkaran, obatnya hanyalah berani mencari dan mengatakan kesalahan diri sendiri masing-masing. Pada umumnya malah mencari benarnya masing-masing dan menyalahkan kekurangan pasangan. Segala kekurangan diri sendiri kalau bisa malah ditutup-tutupi.

Yang sudah dipersatukan Allah jangan diceraikan manusia, dan ujung-ujungnya menyalahkan Allah sendiri. Sewaktu kita akan menjalin cinta dengan seseorang, biasanya kita lupa akan Tuhan. Yang terbayang hanya kelebihan calon pasangan, yang bisa memberikan kebahagiaan. Jika terjadi ketidak-cocokan dan ingin bercerai, kita menganggap itu takdir, sudah kehendak Tuhan. Kita sering lupa bahwa janji perkawinan, kitalah yang mengucapkannya tanpa ada tekanan dari manapun. Kasihan Tuhan yang dijadikan kambing itam dan dianggap mencla-mencle.

Mungkin pada saatnya perlu diselenggarakan suatu kursus bagaimana mengelola perkawinan menjadi suatu keluarga yang baik dan benar. Beberapa pengajarnya keluarga-keluarga yang pernah mengalami pahit getir perkawinan, namun dapat mengatasinya dengan damai dan berjalan mulus. Entah mereka keluarga kaya ataupun keluarga miskin sederhana, yang bisa menjadi panutan untuk orang lain. Perkawinan bukan hanya teori namun pengalaman hidup yang memang begitu unik dan menarik.

“Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan laki-laki dan perempuan,” yang dapat penulis pahami adalah menyiratkan bahwa laki-laki dan perempuan sebenarnya diciptakan bersama-sama. Selama ini kita mengenal atau mendengar dari Alkitab bahwa Adam diciptakan lebih dahulu, baru kemudian Hawa dicipta dari rulang rusuk Adam. Mungkin buku-buku kepercayaan lain yang bukan berasal dari Timur tengah mempunyai versinya sendiri. Dan semuanya itu misteri yang sulit untuk dibuktikan secara ilmiah. Hal ini mengingatkan penulis bersama sahabat sewaktu komunikasi rohani. Manusia ciptaan pertama sebut saja Roh hu Alam jaraknya beribu-ribu tahun dengan Adam dan Hawa versi kaum Uhrzani Kasdim. Laki-laki disebut saja Alma dan perempuan disebut saja Huma dan mereka diciptakan bersama-sama. Jadi, perempuan bukan dari bagian rusuk laki-laki. Benua pada zaman itu masih menjadi satu, belum terpisah seperti zaman sekarang ini. Dalam perkembangannya, dari zaman ke zaman, dari tempat, keadaan, iklim dan musim serta lain-lainnya, proses pertumbuhannya bisa berbeda-beda. Beda warna kulit, rambut, tubuh dan sebagainya. (110806)

Dalam hal ini bukan sekali-kali penulis mengganggap keliru Kitab Kejadian. Malahan betapa hebatnya mereka dapat menceritakan “sangkan paraning dumadi” yang begitu simbolik. Makna dan pesan tentang legenda Adam dan Hawa yang harus kita lihat secara rohani, bukan sebagai sejarah. Mungkin karena budaya umumnya pada waktu itu, perempuan sepertinya menjadi nomor dua dan laki-laki menjadi nomor satu. Sehingga hampir semua legenda atau dongeng lebih menonjolkan peran laki-laki dari pada perempuan. Perempuan seakan-akan hanya dijadikan penggenap, wadah yang baik untuk melanjutkan keturunan Yang jelas kodrat laki-laki dan perempuan memang berbeda, yang sudah dari sononya.


19:7 Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" 19:8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. 19:9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."
Kelihatannya Tuhan Yesus menekankan bahwa perceraian itu tidak dikehendaki Allah. Kalimat tambahan kecuali karena perbuatan zinah, hal itupun tidak dikehendaki Allah.. Dan perceraian itu sendiri disebut perbuatan zinah. Dari zaman sebelum Musa, sepertinya perkawinan tidak pernah cerai. Kita bisa melihat cerita Adam dan Hawa, sampai Abraham dan Sara. Satu hal mungkin yang menjadi tanda tanya kita bersama bahwa di zaman dahulu laki-laki mempunyai isteri lebih dari satu. Dan nyatanya dalam Alkitab memang tidak ditulis secara jelas bahwa seorang laki-laki itu hanya boleh mempunyai satu isteri. Yang tertulis tidak diperbolehkan adalah bercerai.

Mungkin ini hanya gurauan, yang menyebutkan bahwa pada zaman dahulu kala, contoh yang dilihat secara nyata para manusia awal adalah jenis binatang seperti ayam, kambing, sapi, kuda dan sejenisnya. Binatang tersebut cukup dengan satu pejantan dan banyak betina. Contoh jenis burung merpati yang setia malahan tidak ditengok, atau binatang laut mimi dan mintuna yang selalu berduaan.. Jangan-jangan banyak hal-hal lain juga dibuat sedemikian, sehingga kita tidak tahu lagi yang mana sebenarnya perintah Tuhan dan mana yang dibuat oleh manusia. Sepertinya Tuhan Yesus ingin mengembalikan ke yang sebenarnya dan menyempurnakan Kitab Suci Perjanjian Lama. Penulis tidak tahu persis, seberapa banyak ajaran Allah yang dijabarkan oleh orang Yahudi menurut selera mereka. Jangan-jangan zaman sekarang inipun ajaran Tuhan Yesus dijabarkan dan malahan keluar dari inti pokok ajaran.

Dari ajaran tersebut di atas, alangkah baiknya apabila calon pasangan itu lebih dahulu saling mengenal secara mendalam, kelebihan dan kekurangan calon pasangan, agar dikemudian hari tidak terjadi “perceraian” karena sesuatu hal, yang sebenarnya merupakan risiko perkawinan. Alangkah indahnya bila suatu perkawinan dapat langgeng sampai batas akhir atau ada yang meninggal salah satu dan penuh suka cita. Saling mempercayai tanpa rasa cemburu, saling menghormati akan janji perkawinan yang sudah diikrarkan. Berselisih paham dalam keluarga adalah lumrah bagaikan sambal pedas namun dibutuhkan. Dalam batas tertentu karena ketidak cocokan atau perselisihan, mungkin ada baiknya untuk pisah ranjang sementara waktu, sambil merenungkan sewaktu masih pacaran sampai janji suci pernikahan. Terus berani merenung melihat diri sendiri, kekuranganku dan salahku dimana. Mengapa aku mempertahankan kekuranganku sebagai kebenaran? Selama ego pribadi yang ditonjolkan, maka yang disebut cinta atau mengasihi pasti penuh dengan syarat. Ironisnya syarat tersebut hanya berlaku bagi pasangan, dan tidak berlaku bagi diri sendiri.

19:10 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." 19:11 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. 19:12 Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
Siapakah yang dikaruniai Roh pengertian? Pemikiran para murid pada saat itu jelas dapat diterima akal karena budaya yang berkembang pada waktu itu. Ajaran Tuhan Yesus tentang perceraian dapat dianggap terlalu radikal, bertentangan dengan kebiasaan yang sudah ada. Dalam perkawaninan harus selalu dilandasi dengan niat untuk mau mengalah dari kedua belah pihak. Bukan sebaliknya, malahan berebut mencari menang dan benarnya masing-masing.

Dan Tuhan menjelaskan bahwa tidak semua orang akan menikah. Pertama memang akan ada orang yang hidup selibat dari sejak lahir, dan mengapa itu terjadi, hanya Tuhan saja yang tahu. Kedua karena perbuatan seseorang yang menjadikannya tidak menikah, mungkin karena patah hati, ditinggal mati sang pacar yang sangat dicintai, dikebiri orang lain atau hal lainnya lagi. Dan ketiga ada juga karena kemauan diri sendiri demi Kerajaan Sorga. Mungkin mereka ini termasuk para pertapa, pastor, bruder atau suster yang merelakan dirinya hidup selibat demi orang banyak. Dan kita diajak untuk mengerti dan memahami hal perkawinan tanpa perceraian maupun hidup selibat.

Hidup berkeluarga mempunyai liku-liku kesusahannya sendiri, demikian juga hidup selibat mempunyai aneka kesusahannya sendiri. Sepertinya Tuhan Yesus sangat menghargai orang-orang yang hidup selibat karena Kerajaan Sorga, yang kelihatannya berani melawan kodrat kebutuhan biologis kenikmatan dunia. Berani keluar dari jalur dan kebiasaan orang hidup pada umumnya. Kita harus salut dan memberi hormat serta mendoakan, agar Tuhan selalu mendampingi, menguatkan dalam karya-karya mereka.

Yesus memberkati anak-anak
19:13. Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. 19:14 Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." 19:15 Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ.
Tuhan Yesus menekankankan lagi bahwa Kerajaan Sorga adalah milik orang-orang yang seperti “anak-anak kecil” yang pasrah dan percaya dengan orang tuanya, pelindungnya. Yang bersih dari segala dendam, syak wasangka, yang selalu tahu diri untuk mengalah kalau kalah dari yang “lebih besar.” Anak kecil selalu patuh dan taat kepada orang tuanya, merengek atau memohon sesuatu kepada orang tua kalau menginginkan sesuatu. Tahu diri kalau permintaannya ditolak atau diganti dengan yang lain setelah dijelaskan. Percaya bahwa orang tuanya akan selalu melindungi, tidak akan meninggalkannya, percaya bahwa mereka dan kakak-kakaknya mengasihinya sepenuh hati. Anak kecil akan asyik bermain, selama dia masih bisa melihat bapak atau ibunya di dekat situ. Dia akan siap menangis atau teriak memanggil apabila orang tua tidak kelihatan. Anak tersebut secara alamiah begitu percaya tanpa kawatir kepada pelindung yang mendampingi.

Dan Tuhan Yesus mau “meletakkan tangan-Nya” atas mereka, yang kita kenal selama ini sebagai berkat dan doa. Menurut penulis, kitapun dapat menumpangkan tangan atas anak-anak kecil, sebagai berkat orang tua atau berkat sesepuh. Yang jelas bukan berkat pastor yang memang tertahbis.
Pada waktu itu para murid mungkin berpikir demi kepentingan Tuhan Yesus. Jangan sampai mengganggu Tuhan Yesus hanya karena untuk perkara anak-anak kecil saja. Mungkin Sang Guru perlu beristirahat atau ada yang lebih penting dari itu, atau Dia akan segera pergi lagi.

Pertanyaannya, bagaimana kalau di gereja kita banyak anak-anak kecil yang diajarkan mengenal gereja dengan mengikuti Misa Kudus, dan suasana menjadi begitu gaduh? Apa yang harus kita perbuat? Bagaimana kalau banyak umat dan pastornya “tidak suka” dengan anak-anak yang berisik? Salah siapakah itu? Bagi penulis, Tuhan Yesus pasti tahu dan memaklumi situasi dan keadaan anak-anak kecil. Hanya bagaimana mengajar anak dalam mengikuti perjamuan Ekaristi, terserah dari orang tua masing-masing. Anak dijajah orang tua atau orang tua yang dijajah anaknya. Pasti yang keliru mendidik bukan orang lain.

Orang muda yang kaya
19:16. Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" 19:17 Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah." 19:18 Kata orang itu kepada-Nya: "Perintah yang mana?" Kata Yesus: "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, 19:19 hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." 19:20 Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" 19:21 Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." 19:22 Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Tuhan Yesus menjelaskan bahwa hanya Satu yang baik, dan itu Allah sendiri. Jadi kita-kita ini sebenarnya tidak ada yang baik di hadapan Tuhan. Pasti ada kekurangannya kalau hal tersebut kita sadari dengan betul-betul. Kitapun selalu menilai anak-anak kita bahwa mesti ada saja yang kurang, karena tidak sesuai dengan “selera” kita.

Tuhan Yesus mengingatkan kepada kita untuk selalu menuruti perintah Tuhan, yang kita kenal dengan Sepuluh Perintah Allah. Apabila kita mau melakukan perintah Tuhan tersebut dengan sepenuh hati, kelihatannya itu sudah cukup bagi Tuhan. Kita sudah akan masuk ke dalam hidup dan mendapatkan hidup. Namun kalau ingin lebih sempurna lagi, Tuhan mengajarkan belaskasihan kepada orang miskin dengan semua harta kekayaan kita dan ikut Tuhan Yesus sendiri. Hal ini seperti suatu panggilan gereja untuk jadi pelayan Tuhan secara total. Kita bisa membaca cerita orang-orang kudus, yang meninggalkan kekayaannya dan melaksanakan niat kaul melarat, taat dan selibat. Berani meninggalkan harta duniawi untuk menerima karunia harta sorgawi, dan hanya yang terpanggil saja yang akan lulus..

Memang cukup berat dan penulis merasakan bahwa pemuda kaya tersebut seperti penulis. Banyak alasan atau argumentasi yang dapat kita sampaikan kepada manusia, namun tidak dapat mengelak dari pertanyaan Tuhan di dalam hati nurani yang paling dalam. Hampir semua orang yang menginjak dewasa berangan-angan ingin menjadi kaya, paling tidak ya berkecukupan. Sebenarnya kalau berani jujur dengan diri sendiri, lebih sering kita rasakan bahwa pada dasarnya kita serakah dalam kekayaan dan kenikmatan dunia, sehingga kita mempunyai andil, sekecil apapun, yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Kita masih bisa menyalahkan yang miskin, mengapa mau menjadi miskin, mengapa tidak berusaha lebih sungguh, mengapa dan mengapa.

Jika kita ditanya, mengapa ingin hidup kaya, kitapun masih mempunyai seribu satu macam alasan dan latar belakang. Namun pada saatnya nanti kita akan bingung dengan jawaban yang kita buat sendiri, sewaktu terbentur sentuhan Tuhan. Dia bertanya mengapa dan terus mengapa. Yang jelas apabila kontrak kita di dunia ini sudah habis, segalanya akan ditinggalkan. Dibagi-bagikan oleh yang masih hidup, entah sebagai warisan ataupun model lainnya. Jangan-jangan malah perang saudara karena saling berebut warisan.

19:23. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. 19:24 Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."
Kekayaan macam apapun, biasanya secara langsung atau tidak langsung, dapat menimbulkan kesombongan dalam diri kita. Kita merasa lebih dibandingkan dengan yang dibawah kita. Godaan untuk mengeluarkan kesombongan betul-betul sangat kuat, yang dapat dipicu oleh kejadian kecil saja. Sadar atau tidak, kita mengharapkan pengakuan di sekitar kita. Jika perlu, untuk memperoleh pengakuan tersebut kita siap mengeluarkan biaya.

Marilah kita yang merasa kaya ini bersedih hati, karena sangat sukar untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Orang-orang kecil lebih mudah memberikan belas kasih, anggaplah persepuluhan dari kekayaannya yang sedikit, anggaplah dari seribu rupiah sampai seratus ribu rupiah. Mereka akan dengan sukarela mengeluarkan seratus sampai sepuluh ribu rupiah. Seperti perokok yang menawarkan dengan ikhlas rokoknya kepada orang lain.

Kita yang mengaku kaya rasanya akan sangat berat memberikan hanya perlimapuluhan saja dari yang seratus juta sampai mungkin satu milyard rupiah bahkan satu trilyun rupiah. Uang dua juta sampai dua puluh juta rupiah akan kelihatan begitu besar kalau disumbangkan. Apalagi kalau sampai duapuluh milyard rupiah dari yang satu trilyun. Rasanya betul juga kalau kita semakin kaya malahan semakin pelit mengeluarkan kelebihan kita bagi yang miskin dan menderita. Mungkin banyak alasan yang dapat kita kemukakan. Dan kita selalu lupa dengan yang sembilan puluh persen lebih sudah berada di tangan kita. Kita hanya mengingat-ingat yang dua persen yang tadinya akan kita sumbangkan. Koq besar juga ya, apa bisa ditawar? Ujung-ujungnya, karena kekayaan tersebut, kita menjadi bertambah kawatir meninggalkan sang Mamon. Jangan-jangan ..... .

Penulis merasa terharu dan memuji Tuhan sewaktu isteri bercerita tentang seorang ibu-ibu yang membeli beras untuk keluarga miskin. Ibu tersebut masih mengontrak kamar sepetak dan bersebelahan dengan pengontrak lainnya. Hebatnya ibu tersebut masih bisa membagikan berasnya untuk tetangga di sebelahnya, yang belum mampu membeli sendiri. Dia memberi dari kekurangannya! Dialah murid Yesus pada saat itu! Kita malahan hanya memberi dari sedikit sekali kelebihan yang ada.

Sewaktu di Yerusalem, penulis dan rombongan diberitahu oleh pemandu tentang pintu untuk jalan onta. Pintu tersebut memang pas untuk jalan keluar masuk seekor onta. Apabila onta membawa beban barang bawaan, maka agar bisa jalan keluar atau masuk, barang bawaannya harus dilepas dahulu.

Upah mengikut Yesus
19:25 Ketika murid-murid mendengar itu, sangat gemparlah mereka dan berkata: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" 19:26 Yesus memandang mereka dan berkata: "Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin." 19:27 Lalu Petrus menjawab dan berkata kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?" 19:28 Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. 19:29 Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal. 19:30 Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu."
Namun Tuhan Yesus karena begitu kasihnya kepada manusia, Dia masih memberikan janji bahwa segala sesuatu tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Hal tersebut mengatakan kepada kita bahwa siapapun boleh kaya raya seperti Ayub, dengan catatan bahwa jangan sampai meninggalkan ajaran Tuhan dan harus melakukannya melalui perbuatan nyata. Jangan mengabdi kepada Mamon dan menganggap bahwa uang yang berkuasa. Tidak semua hal bisa dibeli dengan uang dan materi.

Penyelamatan kelihatannya bukan karena usaha manusia, tetapi lebih karena Karunia Tuhan, karena kebaikan dan maha kasihnya Tuhan. Seperti dikatakan tidak ada manusia yang baik kecuali Tuhan. Makanya, sebenarnya manusia ini tidak dapat menilai atau menghakimi seseorang, karena kita tidak pernah tahu seratus prosen tentang seseorang tersebut; Anggaplah menilai anak sendiri yang begitu dekat dengan kita. Yang dapat kita lihat paling lapisan luarnya saja yang kelihatan. Dan proses perubahan seseorang dari awal sampai akhir hidupnya, apakah menuju positif atau negatifpun tidak dapat kita ikuti secara lahir batin.

Bagi para rasul yang kesetiaannya tidak diragukan, oleh Tuhan Yesus sudah dijanjikan akan mendapat upahnya di sorga. Janji tersebut berlaku juga bagi kita, apabila mau “meninggalkan” segala sesuatu karena berpihak kepada Tuhan Yesus. Berbakti atau melayani Tuhan Yesus kelihatannya begitu pribadi, yang tidak ada kaitannya dengan hubungan personal dalam keluarga. Ikatan roh kita kepada Tuhan sepertinya bagai sambungan hand-phone super canggih ke sentral telepon. Setiap kegiatan yang dilakukan melalui handphone tersebut akan dicatat di sentral telepon dan tidak ada yang terlewat, sekecil apapun. Pada waktunya kita akan ditagih sesuai kegiatan yang telah kita lakukan. Biarpun keluarga kita masing-masing membawa hanphone, tidak mungkin kita mengawasi sampai detail apa yang telah mereka lakukan. Tagihan mereka akan berbeda besarnya dari yang kita pakai, sesuai kesibukan masing-masing.

Berpihak kepada Tuhan Yesus berarti sama dengan berpihak kepada kebenaran dan belas kasih yang tidak bisa ditawar lagi. Menawar kebenaran dan belas kasih sama saja dengan menoleh ke belakang. Kebenaran dan belas kasih berlaku bagi semua orang, termasuk di dalam keluarga. Apabila di dalam keluarga kita tidak mengenal kebenaran dan belas kasih, Tuhan Yesus mengatakan “tinggalkan, termasuk ladangmu.” Dalam perjalanan hidup sehari-hari nyatanya tidak segampang itu, namun Tuhan Yesus mau menegaskan bahwa untuk berpegang kepada kebenaran dan belas kasih itu tidak pandang bulu.

Ayat 30 ini cukup membingungkan, namun yang dapat penulis pahami adalah bahwa pandangan Tuhan sangat berbeda sekali dengan pandangan kita manusia. Yang hebat menurut kaca mata kita belum tentu hebat di Mata Tuhan, yang jelek di mata kita belum tentu jelek di Mata Tuhan. Dari dahulu sampai sekarang Tuhan tidak pernah membedakan manusia ciptaan-Nya. Semua tergantung kepada belas kasih Tuhan. Yang terdahulu dapat menjadi yang terakhir atau sebaliknya. Kerendahan hati dapat mengalahkan kesombongan. Yang terdahulu sering tersandung karena merasa lebih senior dalam segalanya, dan itu tanpa disadari menjadi bibit kesombongan, minta dinilai lebih dibanding ang senior.

Ada seorang buta berjalan bergandengan tangan dengan seorang yang masih normal. Mereka ngobrol tentang segala macam, dan akhirnya mereka berdua sampai ke tempat tujuan. Kira-kira, siapa menuntun siapa dan siapa yang lebih dahulu sampai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar