Minggu, 29 November 2009

Memahami Matius Bab 6

Bab 6. Hal Sedekah, Berdoa, Berpuasa, Harta dan Kekuatiran

Hal memberi sedekah
6:1. "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. 6:2 Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 6:3 Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. 6:4 Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita dilarang melakukan kewajiban agama di hadapan orang lain, dengan kata lain jangan sampai dilihat atau diketahui orang. Bersedekah merupakan salah satu kewajiban agama, untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Upah Bapa di sorga baru diberikan kepada orang yang melakukan kewajiban agamanya tanpa diketahui oleh orang lain. Pikiran penulis membayangkan kepada kehidupan sehari-hari, sewaktu mendekati masa Paskah maupun Natal. Pengurus gereja di paroki mengirimkan amplop sumbangan, yang nantinya semua nama penyumbang akan ditulis dan akan menerima ucapan terima kasih secara tertulis. Rasanya hal tersebut memang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus dan memang sudah mendapat upahnya, dengan ucapan terima kasih tadi. Kelihatannya Tuhan memang mengajarkan suatu keikhlasan dalam memberikan sedekah, tanpa harus berpikir :”Akan dipakai apa sedekah tersebut, siapa yang akan menggunakan, apakah sedekah tersebut sampai kepada tujuan atau tercecer di jalan dsb.” Sering kali kita bersedekah atau memberi dikatakan dengan ikhlas, walaupun sering juga tidak bisa kita pungkiri bahwa ikhlas tersebut dengan syarat. Contoh yang sederhana saja, sewaktu kita akan memberi seseorang sejumlah uang. Tulus ikhlas, syaratnya jangan untuk berjudi, minum beralkohol, ngrokok dan lain sebagainya. Syarat lainnya yang umum, orang yang akan kita beri harus dapat menyentuh hati kita.

Janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat oleh tangan kananmu, seolah-olah seluruh bagian tubuh yang lain ini tidak merasakan kehilangan atau ada yang kurang, karena apa yang diperbuat oleh si tangan kanan. Ikhlas lahir batin dan melupakan apa yang pernah disedekahkan, melupakan bahwa pernah melakukan sedekah kepada seseorang. Sering kali penulis membayangkan seorang perokok, yang hampir tidak pernah menghitung berapa biaya yang pernah dikeluarkan setiap hari, setiap bulan sampai setahun. Bagi penulis, merokok seperti menjadi kebutuhan yang hampir sama dengan makan dan minum, biarpun tidak merokok juga tidak apa-apa. Sekarang bagaimana caranya merubah paradigma bahwa sedekah juga menjadi suatu kebutuhan dan bukan kewajiban. Tidak pernah berpikir untung rugi di kemudian hari karena berbuat sedekah. Bersedekah tidak pernah berpikir negatif akan dipakai apa hasil sedekah tersebut. Terserah yang menerima sedekah. Secara sederhana, mungkin kita bisa mengatakan bahwa bersedekah bagaikan seorang perokok yang bertemu dengan seseorang, kemudian menawarkan rokoknya. Menawarkan rokok atau mengeluarkan rokok ke atas meja sewaktu berkumpul bersama, sudah menjadi kebiasaan para perokok. Pada zaman sekarang ini, “sedekah” malahan juga dimanfaatkan untuk promosi yang perlu diketahui oleh masyarakat banyak. Jika perlu, bisa masuk surat kabar atau malahan televisi. Pasti ada maksud dan alasan tertentu dari sisi pemasaran.

Sedekah di perjamuan atau perayaan Ekaristi, yang sering kita sebut kolekte, ada imam yang mengatakan harus ikhlas dan pantas. Jika dalam kantong saku ada uang satu juta rupiah, pantaskah memberi sedekah seribu rupiah? Atau ikhlaskah kita menyumbang lima ratus ribu rupiah? Mungkin hanya hati kita sendiri yang bisa mengatakan ikhlas dan pantas tersebut. Banyak alasan atau argumentasi yang dapat kita kemukakan untuk pembenaran diri.

Hal berdoa
6:5. "Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 6:6 Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
Berdoa disini yang penulis tangkap adalah berdoa pribadi, berbicara dari hati ke hati dengan Tuhan, Allah Bapa atau yang kudus. Berbicara berarti terjadi dialog antara kita dengan Yang Kudus. Kita bicara Tuhan mendengarkan, terus gantian memberi waktu kepada Tuhan untuk bicara dan kita mendengarkan. Dan doa sendiri mestinya tulus karena kita berhadapan dengan Yang Maha Tahu.
Tuhan Yesus meminta untuk masuk dalam kamar dan menutup pintu. Yang dapat penulis tangkap adalah masuk ke dalam kamar hati dan jiwa yang paling dalam, dan menutupnya dari segala macam pikiran, yang memerlukan konsentrasi karena sedang berbicara dengan Yang Tersembunyi. Jadi dimanapun kita berada, kita tetap bisa “berbicara atau ngobrol” dengan Tuhan, dengan catatan tanpa perlu diketahui oleh orang lain. Apabila dilihat dari lama waktu berbicara dengan Tuhan, rasanya Tuhan tidak pernah menentukan, apakah satu hari, satu jam, satu menit ataupun bahkan hanya satu detik. Yang jelas kalau lama-lama akan bosan sendiri atau malahan sudah tidak konsentrasi pada doa. Penulis merasa yakin bahwa Tuhan akan “menjawab” doa-doa kita.

Sering kali kita merasakan ada suatu jawaban yang secara spontan muncul di dalam hati kita. Hanya kita lebih sering merasa bingung, jawaban dari siapakah itu? Apakah dari diri kita sendiri, dari Tuhan, dari Setan atau dari yang lain-lainnya. Disinilah kita belajar memilah-milah mana jawaban yang dari Tuhan. Yang pasti jawabnya mengandung kebaikan, kebijakan, kebenaran kasih dan sejenisnya yang baik-baik. Jawaban Tuhan belum tentu sepaham dengan kita, bahkan seringkali kita tidak sepakat dengan kehendak Tuhan. Ego kedagingan kita tidak mengharapkan jawaban yang itu.

Doa menurut hemat penulis pada intinya bukan gerak tubuh, namun gerak hati dan jiwa yang paling dalam. Dari gerak hati dan jiwa memang bisa menggerakkan tubuh secara spontan dan tidak dibuat-buat. Dalam hal tertentu, sepertinya ada dorongan hati dan jiwa yang terekspresikan melalui bahasa tubuh. Dimana saja, kapan saja, tanpa batas ruang dan waktu, kita tetap bisa berbicara kepada Tuhan. Secara tidak sadar, kadang-kadang kita berdoa di WC atau kamar kecil, sewaktu mengalami kesulitan membuang hajat. Penulis teringat pesan Bunda Maria di Medjugorje, bahwa kita diharapkan dapat berdoa dengan hati, bukan hanya dengan bibir. Mungkin pada tahap tertentu, suatu ketika kita akan mengubah bahasa antara aku dan Engkau menjadi kita. Sewaktu kita menerima Tubuh Kristus, kita sudah menyatu, manunggal dengan Tuhan sendiri. Kalau Tuhan berada di dalam diri kita, apakah hal tersebut bukan berarti Tuhan beserta kita? Terus sewaktu kita mau makan atau minum, doa kita dalam hati secara ekstrim bukankah berbunyi :”Tuhan, mari kita makan dan minum. ..... ..... Ya, Tuhan, untuk kita nikmati bersama.”

Sering kali kita jumpai di rumah makan bahwa orang-orang pengikut Kristus akan berdoa lebih dahulu sebelum makan. Hal tersebut dapat kita lihat dari sikap duduk dan menunduk diam, ataupun dengan membuat tanda salib dan tunduk sebentar. Memang, sering kita berargumentasi bahwa itulah ciri-ciri kekristenan yang perlu diketahui orang lain. Ciri-ciri bahwa kita adalah murid Yesus dan berani mengungkapkannya. Secara guyon, siapa tahu bahwa ada orang lain disitu yang seiman, selanjutnya saling berkenalan. Jangan-jangan salah satunya yang akan membayari apa yang telah kita makan dan minum.


6:7 Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. 6:8 Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.
Kelihatannya Tuhan Yesus mengajarkan doa-doa yang singkat, to the point. Kita dapat berbicara dengan Tuhan dimana saja, termasuk di tempat keramaian umum. Rasanya agak aneh jika di tempat umum kita “berbicara” panjang lebar kepada Tuhan, yang seakan-akan Tuhan tidak tahu dan kita melaporkannya, mengadu dan memohon. Jangan-jangan orang lain melihat kita sedang melamunkan sesuatu atau sedang menggumam. Dari hati ke Hati yang mungkin tidak memerlukan tata bahasa ataupun penghormatan khusus.

Atau malahan kita menyiapkan diri menulis doa untuk acara nanti. Terus kita baca lagi kita renungkan, terus diedit ditambah dan dikurangi. Merasa kurang bagus belum seperti puisi yang mengalir dan belum kelihatan benang merahnya. Kita rombak lagi sampai rapi. Nach, teman-teman pasti memuji doa yang kita susun begitu apik. Jika teman-teman saja memuji doa yang begitu indah, mestinya Tuhan juga puas dengan laporan kita. Dan Tuhan, kita anggap sama seperti teman-teman kita yang lain. Namun, jangan-jangan Tuhan malahan memalingkan diri dan lebih senang mendengarkan doa yang gratul-gratul, terputus-putus dan tidak bagus tata bahasanya, menurut ukuran manusia.

Doa-doa panjang kelihatannya hanya terjadi di tempat-tempat tertentu, yang memungkinkan kita mendaraskan doa dan pujian secara bersama. Di dalam gereja, sembahyangan di lingkungan, persekutuan doa dan sejenisnya.
Memang ada sedikit ganjelan kedagingan sewaktu doa bersama. Karena sering mengikuti kebiasaan doa panjang yang disusun sedemikian rupa seperti diluar kepala, mengalir seperti sungai, terus menjadi acuan. Jika dengan doa pendek rasanya seperti diomong bahwa tidak bisa berdoa. Banyak orang tidak siap dan tidak mau sewaktu diminta untuk memimpin doa, jawabannya selalu tidak bisa. Mau berdoa apabila sudah disediakan teks tertulis dan tinggal membaca. Mungkin hal ini sama dengan membaca doa. Aneh bukan?

Doa sering dikatakan adalah ungkapan puji syukur dan permohonan. Mungkin orang lain mengatakan terdiri dari pujian, ucapan syukur, pertobatan dan permohonan. Jadi, tidak ada salahnya apabila dalam suatu saat berdoa hanya memuji Tuhan saja. Pada saat lainnya hanya mengucap syukur dan terima kasih. Pada waktu lain lagi hanya mengaku atas segala dosa dan minta dikasihani, kemudian berdoa hanya memohon sesuatu. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, yang tidak pernah ketinggalan adalah doa permohonan. Secara kelakar, sebenarnya kita-kita ini tidak ada bedanya dengan “pengemis.” Bedanya, Tuhan tidak pernah bosan mendengarkan permintaan kita, sedangkan kita yang bosan mendengarkan suara pengemis.


6:9. Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, 6:10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. 6:11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya 6:12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; 6:13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.) 6:14 Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. 6:15 Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."
Kelihatannya Tuhan Yesus sendiri yang memperkenalkan kepada kita sebutan Allah adalah Bapa. Allah yang rasanya begitu sangat jauh tak terjangkau dan menakutkan, diperkenalkan sebagai Bapa yang terasa begitu sangat dekat dan bersahabat. Doa Bapa kami mengajarkan kepada kita untuk selalu menguduskan Nama-Nya sebagai urutan pertama; Menguduskan dengan menyembah, memuji dan memuliakan karena Kasih-Nya, kebesaran-Nya, segala alam ciptaan-Nya yang tak terukur. Kemudian agar Kerajaan-Nya datang di bumi, yang sebenarnya sudah datang melalui kedatangan Tuhan Yesus Kristus Sang Raja Damai. Dan sekarang ini kita masih memerlukan kedatangan Sang Raja Damai, agar bumi yang tanpa kedamaian ini menjadi damai. Tuhan Yesus-pun menghendaki agar bumi ini suasananya menjadi seperti gambaran sorga, yang penuh kasih, damai dan persatuan para kudus yang memuliakan Tuhan. Kita yang mengaku sebagai anak-anak Allah mempunyai kewajiban untuk membawa damai, kasih dan persatuan tersebut. Sisanya akan diselesaikan sendiri oleh Tuhan, melalui permohonan karena kelemahan kita yang bukan apa-apa ini. Rasanya tidak lucu dan tidak enak jika Tuhan Yesus berkata :”Kalian ini hanya omong saja meminta Kerajaan-Ku datang dan jadilah kehendak-Ku. Lha kalian berbuat apa, agar semuanya terjadi? Hayo! Berkaryalah, berbuatlah sesuatu demi untuk terlaksananya permohonanmu itu. Aku yang akan menyelesaikan sisanya. ”

Selesai pujian dan permohonan yang lebih besar, barulah Tuhan Yesus mengajarkan untuk permohonan yang lebih pribadi. Permohonan rezeki untuk hari ini yang cukup saja. Jika setiap hari memohon rezeki yang cukup, rasanya memang sudah tidak perlu berpikir untuk hari-hari selanjutnya. Secara tidak langsung Tuhan Yesus mengajarkan agar kita selalu berdoa setiap hari. Dan bukan mohon rezeki untuk sebulan atau setahun, setelah itu istirahat dulu untuk tidak memohon rezeki.
Tidak dapat dipungkiri karena kedagingan kita, kita sudah memandang jauh ke depan dengan segala rencana dan kekuatiran agar tidak menderita di kemudian hari. Kita kumpulkan rezeki hari ini sebanyak-banyaknya, besok demikan juga dan besoknya begitu juga. Apakah ini yang disebutkan bahwa iman kita begitu lemah dan penuh kekuatiran? Pasti ada jawabannya di hati kita masing-masing.

Kalau kita perhatikan kalimat doa tersebut di atas belum berhenti, namun dilanjutkan dengan mohon pengampunan atas segala kesalahan kita, dengan janji bahwa kitapun mengampuni yang bersalah kepada kita. Kesalahan atau dosa ini bagaikan bunga dari hutang-hutang kita yang begitu besar, yang tidak akan “lunas” kalau kita sudah mati, sebelum kita bayar. Mari kita bayangkan kalau kita meminjam kepada seseorang untuk keperluan sesuatu. Begitu senangnya waktu kita menerima, namun begitu segannya waktu mau mengembalikan. Kadang-kadang yang kita bayar baru bunganya saja, belum termasuk hutang pokoknya.
Pertanyaan dalam hati adalah, apakah betul aku sudah mengampuni kesalahan orang lain, seperti yang aku janjikan kepada Tuhan, ataukah sebenarnya hanya bibirku saja yang bicara. Di sinilah yang paling berat dalam doa Bapa Kami.

Dan kata-kata akhir selanjutnya dalam kalimat tersebut agar jangan dibawa ke dalam pencobaan, tetapi mohon dibebaskan dari yang jahat. Kita mengakui bahwa iman kita atau lebih jelas bahwa kedagingan kita begitu lemah. Di dalam kelemahan hawa nafsu dan keserakahan ini, kita hanya bisa bersandar kepada-Nya. Sendirian kita tidak akan kuat melawan sang pencoba dan yang jahat. Mereka lebih kuat dan lebih pintar dari pada kita.

Pengalaman hidup menyatakan bahwa kepinginnya hati yang paling dalam sich tidak kesana (pencobaan), namun tubuh ini ingin tahu seperti apa itu, biar bisa dipakai untuk cerita pengalaman. Kita sebenarnya sudah tahu bahwa “sesuatu itu” tidak baik, namun toch tetap kita lakukan juga. Untuk itu kita mohon dibebaskan dari segala yang jahat.
Penulis tidak tahu mengapa ada dalam kurung kalimat penutup ini (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.). Namun yang jelas suatu pengakuan bahwa Bapa di sorga yang mempunyai Kerajaan, kuasa dan kemuliaan. Bagaimana jadinya kalau melawan atau berseberangan dengan Sang Penguasa Kerajaan yang Mulia ?

Dari hal tersebut di atas, rasanya akan lebih baik kalau kita berdoa Bapa kami dengan pelan-pelan dan kita resapkan setiap kata. Jangan-jangan hati kita sendiri menjadi tidak berani berdoa dengan benar dan ditambahi : Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun belajar dan mencoba mengampuni yang bersalah kepada kami. Namun ayat selanjutnya Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan, bahwa Bapa akan mengampuni kita apabila kita juga lebih dulu mengampuni orang lain. Jangan-jangan Tuhan hanya akan tersenyum kecut dan sedih, sewaktu mendengarkan doa “Bapa kami” kita yang belum mengampuni orang lain. Dalam komunikasi rohani kami, Tuhan Yesus malah mengatakan bahwa kami semua sebenarnya belum bisa berdoa Bapa Kami. Jika kita berani jujur dengan diri sendiri, kita lebih banyak berdoa dengan bibir, dibandingkan doa dengan hati. Hal ini mengingatkan penulis akan Vassula yang diminta belajar doa Bapa kami oleh Tuhan Yesus sampai semalam suntuk baru benar. Vassula adalah penulis buku True life in God yang diterjemahkan dalam buku Hidup Sejati dalam Allah.

Kita diajarkan doa singkat yang berisi pujian, syukur dan permohonan. Doa singkat yang sebenarnya memerlukan pemahaman dan renungan dengan hati. Dan penulispun masih harus banyak belajar bagaimana berdoa dengan benar.

Hal berpuasa
6:16. "Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 6:17 Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, 6:18 supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Sampai dengan saat ini, penulis pribadi belum tahu penjabaran puasa yang paling baik; Mulai kapan sampai kapan, apa saja yang tidak boleh dan apa saja yang boleh pada saat puasa tersebut. Yang dapat penulis tangkap adalah niat untuk lebih mengasihi Tuhan lebih dari segalanya. Mengasihi Tuhan dapat diungkapkan melalui kasih kepada sesama dan segala ciptaannya. Dalam mengasihi Tuhan melalui sesama ini, kita harus berani melepaskan segala-galanya pada waktu itu. Gampangnya melepaskan diri dari hawa nafsu untuk menuju sikap batin yang bersih melalui pertobatan. Tradisi gereja kelihatannya selalu menyatukan antara berpuasa, berdoa dan berderma.

Namun demikian Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kalau berpuasa, jangan sampai diketahui orang bahwa kita sedang puasa, agar ganjaran hanya datang dari Bapa di sorga, bukan upah pujian duniawi. Pertanyaannya, bagaimana kalau kita sedang bertamu atau mendapat undangan atau menerima tamu? Apakah mesti menolak sajian dengan berkata :”Terima kasih, jangan repot-repot, kebetulan sedang puasa.” Atau kita terima dengan secukupnya, tidak seperti orang yang sedang kehausan atau kelaparan? Namun akhirnya kembali kepada hati masing-masing orang, yang menurut dirinya lebih baik. Tuhan sudah lebih tahu akan niat kita maupun dengan segala godaannya. Yang penulis lakukan selama ini, adalah menerima segala kebaikan sang tuan rumah, biarpun dalam hati “ngomong” kepada Tuhan :”Maaf Tuhan, niatku terganggu oleh kedaginganku.”

Apabila gereja memberi kewajiban puasa yang lebih lunak, Bunda Maria dalam “penampakannya” di Medjugorje malahan meminta untuk lebih keras berpuasa; Bukan setahun dua kali, malahan seminggu dua kali pada setiap hari Rabu dan Jumat. Berpuasa demi dunia yang kacau balau, carut marut yang tanpa kedamaian dan persatuan ini.

Menurut pendapat penulis, puasa adalah niat hati, jiwa dan pikiran untuk melakukan mati raga, untuk suatu tujuan “niat ingsun arep pasa kanggo .....”. Bahasa Jawa “mateni hawa nepsu babahan hawa sanga” yang berarti mati dari hawa nafsu yang keluar dari sembilan lubang di tubuh ini, dua telinga dua mata dua lubang hidung, satu mulut, satu lubang kemaluan dan satu lubang anus.

Mungkin selama ini secara umum kita agak bias dengan kebiasaan puasa saudara kita, yang dilaksanakan hanya pada siang hari. Biasanya pada malam hari makanan malah berlimpah, anggaran belanja naik. Apakah secara umum yang dimaksud dengan puasa ajaran gereja bukan berarti sehari semalam? Kelihatannya para hierarki perlu menjelaskan secara gamblang, bukan hanya ikut-ikutan karena kebiasan masyarakat di sekitar kita. Yang ditangkap oleh orang awam ini adalah puasa pada siang hari, yang makan kenyangnya cukup sekali. Pada hari biasa, makan pagi, siang dan malam selalu kenyang. Malam hari tidak masuk hitungan puasa, jadi bebas-bebas saja.

Zaman sekarang malahan ada puasa kelompok atau puasa perorangan, untuk menuntut sesuatu kepada penguasa atau pemerintah. Istilah kerennya demo mogok makan.

Hal mengumpulkan harta
6:19. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. 6:20 Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. 6:21 Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.
Kembali kepada doa “Bapa kami” yang hanya meminta rezeki untuk hari ini, Tuhan Yesus menekankan lagi jangan mengumpulkan harta di bumi untuk tujuh turunan. Harta di sorga lebih penting walaupun tidak berwujud nyata saat ini. Kasih dan damai dan persatuan merupakan harta-harta yang tidak akan rusak oleh ngengat dan karat serta tidak tercuri. Harta rohani dengan mengikuti perintah Tuhan menjadi yang nomor satu. Pengalaman dengan “dimana hartamu, disitulah hatimu” selalu terjadi dengan harta di bumi. Sewaktu berdoa di persekutuan doa atau gereja, bibir ini mengatakan doa “Bapa kami” namun pikiran sering sudah melayang, apakah rumah tadi sudah dikunci atau kompor sudah dimatikan atau yang lainnya lagi. Memang begitu sulit menghindari kekuatiran dan kelekatan duniawi ini. Keikhklasan, apa yang akan terjadi terjadilah, merupakan pelajaran yang sulit untuk ditempuh. Dari satu sisi, mungkin lebih bahagia orang miskin dibanding dengan orang kaya. Orang miskin tidak pernah kawatir kecurian karena memang tidak punya, dibandingkan dengan orang kaya. Jangan-jangan semakin kaya malah semakin kawatir.

Jika kita membayangkan sewaktu masih muda dan tidak mempunyai apa-apa, jalan kaki dengan pakaian seadanya mungkin bisa kita nikmati dengan santai. Rumah isinya hanya beberapa yang tidak begitu mahal dan tingkat kekawatiran kita tidak besar. Semakin lama harta kita bertambah, inginnya memiliki segalanya. Sadar tidak sadar lama kelamaan kita malah tergantung dengan apa yang kita miliki. Mungkin kita tidak siap dan mengeluh sewaktu listrik mati, kendaraan mogok. Kita menjadi kebingungan sewaktu HP ketinggalan atau hilang. Meninggalkan rumah dalam waktu agak lama, membikin hati tidak tenang, jangan-jangan ..... . Itulah jeratan harta duniawi yang membikin kita sering terperosok dan terseret semakin dalam, yang sebenarnya malah mengganggu kedamaian dan ketenangan hati.

Harta di sorga yang dapat penulis tangkap adalah kumpulan perbuatan baik dan benar tanpa pamrih, sesuai ajaran-Nya. Siap menerima aniaya dunia karena mengikuti perintah Tuhan. Delapan Sabda Bahagia bagi penulis adalah sebagai salah satu ajaran yang diberikan untuk mengumpulkan harta di sorga. Berbuat baik dan benar yang tidak lagi menjadi kewajiban, namun berubah menjadi suatu kebutuhan yang memang harus dilakukan.

Kalau kita pikirkan dengan dalam, banyak ungkapan yang sangat mengena. Makan sepiring sudah cukup, dua piring kekenyangan, mengapa mesti bikin banyak-banyak; jangan-jangan malahan menjadi basi. Punya pakaian satu lemari, paling yang dipakai juga hanya satu pasang yang dianggap paling cocok. Jangan-jangan banyak pakaian yang tidak pernah lagi disenggol karena nilainya sudah dianggap kurang. Mungkin hal ini hanya berlaku bagi yang mampu, tidak kekurangan sandang dan pangan. Rasanya, semakin banyak kita mempunyai sesuatu, semakin banyak pula sesuatu itu yang tidak kita sentuh, karena ada yang baru yang lebih menarik perhatian. Seringkali kita malahan sudah lupa dengan sesuatu yang kita miliki tersebut. Padahal di luar, mungkin masih banyak saudara kita, tetangga kita yang membutuhkan sesuatu yang tidak kita sentuh tadi. Apa yang akan kita lakukan dengan barang-barang itu? Apakah ini yang disebut nafsu kedagingan yang umum kita sebut keserakahan? Dan nyatanya kalau meninggal tidak dibawa juga, terserah kepada yang masih hidup. Mau dijual mau dibuang atau mau dibagikan, sudah tidak bisa ikut campur, biarpun dahulu semasa hidup yang mengumpulkan.

6:22 Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; 6:23 jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.
Kita dapat belajar banyak dari hal mata ini. Mata yang merupakah salah satu indera, dapat dipakai untuk melihat segala macam. Dari matalah pertama kali segala sesuatu yang dekat atau jauh dapat kita rasakan. Melihat dan mengagumi seluruh alam raya yang menjadi ciptaan Tuhan serta melestarikannya. Juga dapat melihat segala sesuatu yang dapat menimbulkan rangsangan, yang tidak dikehendaki Tuhan (Mat.5:27). Bagi manusia normal (bukan tuna netra) dari pandangan matalah seluruh syaraf-syaraf akan bekerja, sesuai dengan hati dan pikiran yang menggerakkannya. Jadi, jika mata ini dipergunakan untuk hal-hal yang baik, maka seluruh tubuhpun akan terbawa dengan baik. Meskipun apa yang kita lihat dapat “mengetarkan hati” namun apabila selalu dilihat dari segi baiknya, maka hikmahlah yang kita dapatkan. Apabila kita pelajari dengan tekun, sorot dan gerak mata seseorang dapat kita perkirakan akan menggambarkan pribadi orang tersebut. Pancaran sinar dan gerak mata seringkali mengisyaratkan sesuatu, apakah itu positif ataupun negatif menurut perasaan kita.

Namun jika mata ini sudah diisi dengan kejahatan, ketidak benaran, apapun yang kita lihat dapat menimbulkan rangsangan negatif, rangsangan yang jahat. Terang saja sudah disebut dan ditafsirkan gelap, betapa gelapnya yang memang sudah gelap. Gelap mata mesti selalu dihubungan dengan hal-hal yang tidak baik dan tidak benar serta lupa diri. Di siang hari jika mata kita meramkan, maka yang terlihat hanya kegelapan. Apalagi jika di malam hari yang gelap, anggaplah lampu listrik padam, maka mata meram sama saja dengan mata melek; yang terlihat hanya gelap gulita alias tidak bisa melihat apa-apa.

Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun mengenal istilah mata hati yang mungkin lebih dekat dengan hati nurani yang terdalam atau mungkin jiwa. Tuhan Yesus lebih menekankan bahwa mata kita harus bisa menjadi pelita bagi tubuh kita. Sinar mata yang memberikan kesejukan, kedamaian, bersahabat, menyenangkan banyak orang.

6:24 Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."
Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan agar kita juga tegas memilih, mengabdi kepada Tuhan atau kepada Mamon. Memilih Allah sejati atau allah-allah palsu. Mamon lebih sering dihubungkan dengan uang, maka sampai muncul istilah “keuangan yang kuasa.” Memang secara umum harus diakui bahwa uang sangat memegang peranan penting dalam kehidupan dunia saat ini. Segala macam kebutuhan yang kita perlukan lebih sering diperoleh dengan uang. Apapun dapat dibeli dengan uang, termasuk manusia ini juga kadang-kadang dapat dibeli dengan uang. Kata-kata “ya” dapat diganti menjadi “tidak” atau sebaliknya, oleh uang. Jangan-jangan kitapun secara tidak sadar sudah menjadi hamba uang. Begitu berbahayanya pengaruh uang kepada orang-orang beriman, apalagi dikala kita mengalami kesusahan dan membutuhkan biaya.
Pertanyaannya, apakah kita dikuasai oleh uang atau kita yang menguasai uang? Seringkali kita mendapatkan batu sandungan yang disebabkan oleh uang. Lalu kita mencari seribu satu macam alasan untuk pembenaran diri yang dapat diterima oleh akal manusia. Apabila alasan itu begitu sulit dicari, kita masih punya jawaban :”maklumlah, itu kan manusiawi.” Mungkin ada betulnya juga ungkapan, semakin kaya akan semakin jauh dari Tuhan. Orang miskin tingkat sosialnya lebih tinggi. Coba kita bayangkan jika kita punya uang seribu rupiah, dengan mudah kita memberi seratus. Ketika mempunyai seratus ribu rupiah, mulai berpikir sedikit untuk memberikan sepuluh ribu rupiah. Apalagi setelah mempunyai seratus juta rupiah, kelihatannya harus mulai berberat hati untuk memberi sepuluh juta rupiah. Kita lebih sering lupa bahwa kita masih mempunyai yang sembilan puluh juta rupiah. Bagaimana kalu kita mendapat rezeki satu miliar rupiah ?

Apabila kita memilih mengabdi kepada Allah sejati, mestinya kita akan bebas dari kecemasan, kekawatiran. Bebas dari kecemasan berarti penuh dengan sukacita, dimana sukacita sejati tidak dapat dibeli dengan materi. Dan nyatanya, tidak segalanya dapat dibeli dengan uang atau materi. Sebagai contoh ekstrim, nyatanya kekayaan tidak dapat menghidupkan orang meninggal. Nikmatnya makan dan tidur tidak tergantung dari yang enak-enak dan mahal. Enak makan lebih nikmat daripada makan enak; atau tidur nyenyak di mana saja lebih nikmat dari pada kamar mewah namun susah memejamkan mata.

Kita bisa membayangkan apabila kita sedang berjalan di bukit tandus pada siang hari, tidak bertemu warung karena memang daerah sepi. Uang segepok di dalam saku pada waktu itu tidak ada nilainya pada saat kita merasa kehausan dan kelaparan. Mungkin kita akan minum apa saja yang bisa kita minum dan makan apa yang bisa kita makan.

Mari kita renungkan masing-masing dan kita timbang-timbang, seberapa besar kita menjadi hamba Tuhan dibandingkan dengan menjadi hamba Mamon. Ketergantungan kita kepada Allah dibandingkan ketergantungan kita kepada materi dunia. Hanya kita sendiri yang bisa menjawab.

Hal kekuatiran
6:25. "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? 6:26 Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? 6:27 Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? 6:28 Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, 6:29 namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannyapun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. 6:30 Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? 6:31 Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? 6:32 Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.
6:33 Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. 6:34 Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."
Tuhan Yesus begitu tegas mengajarkan untuk tidak perlu kuatir akan hidup kita. Hidup yang benar-benar hidup, lahir batin sehingga bisa merasakan sukacita yang tidak berkesudahan. Tingkat kebutuhan kita akan materi untuk hidup, sebenarnya memang tidak begitu banyak. Cukup bisa berpakaian, bisa makan dan minum, bisa beristirahat dan berteduh. Jasmani yang dikaruniakan kepada kita, bisa kita manfaatkan untuk berkarya sehingga hari ini sudah tercukupi. Kelihatannya begitu simpel dan sederhana, jika tidak mengembangkan keinginan yang menjurus kepada keserakahan.

Namun keinginan kedagingan kita selalu mempunyai alasan, bagaimana kita tidak kuatir, besok makan apa dan berpakaian apa. Ajaran ini memang tidak populer, karena tidak dapat memberikan kemewahan dalam segala hal. Ajaran ini dianggap sebagai pola hidup miskin yang tidak bisa dibanggakan di depan orang lain. Sering kali kita ingin dan memimpikan untuk hidup enak, tidak kekurangan sandang-pangan-papan dan segala isinya. Semua orang akan memandang segan dan menghormati kita, dan kita ingin menjadi orang terpandang yang serba wach. Pokoknya kalau bisa harus lebih dibandingkan orang lain.

Tetapi Tuhan Yesus menekankan bahwa hal tersebut hanya dicari oleh orang yang tidak mengenal Allah. Tuhan Yesus hanya mengajak untuk belajar hidup sederhana, apa adanya dan tidak serakah. Hidup secukupnya karena orang lain juga membutuhkan dan berkeinginan sama dengan kita. Hidup secukupnya dalam pembicaraan sehari-hari yang kadang kala masih bisa dipelintir menurut selera kita. Istana satu sudah cukup, mobil mewah satu cukup dan sebagainya. Terserah kepada pembaca apa bedanya cukup dan kaya.

Menurut penulis, semua jenis kekayaan alam yang ada di dunia ini sebenarnya lebih dari cukup untuk semua orang yang hidup. Banyak jenis makanan yang dapat dinikmati semua orang dan tidak akan ada kelaparan, apabila yang ada itu dapat dibagikan secara merata. Tidak ada penimbunan sebagai persediaan jangka panjang. Kadang-kadang berton-ton bahan makanan malahan tersimpan dan membusuk yang tidak dapat dimakan lagi, menjadi mubazir. Keserakahan secara tidak langsung akan mengurangi jatah orang lain.

Tuhan Yesus memberi jaminan agar pertama kali mencari Kerajaan Allah yang penuh kebenaran, baru mencari kebutuhan hidup sehari-hari. Mencari Kerajaan Allah berarti melakukan perjalanan hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Melakukan kehendak-Nya berarti hidup dalam kebenaran dan kebaikan, saling menghormati, saling mengasihi penuh persaudaraan, saling berbagi yang pada pokoknya yang baik-baik saja. Jika hal tersebut diindahkan, diikuti oleh semua orang, maka yang terjadi adalah kedamaian, kesejahteraan bersama, sehingga rezeki seakan-akan selalu ditambahkan oleh-Nya. Rezeki yang tidak pernah berkesudahan, karena memang Tuhan sudah menyediakan dengan berkelimpahan.

Pengalaman hidup bagi orang yang selalu bersedekah dengan ikhklas tanpa pamrih, nyatanya tidak pernah kekurangan di dalam hidupnya. Kenyataan tersebut memang sangat susah, bila dihitung dengan nalar, namun Tuhan selalu berkarya dengan cara-Nya sendiri. Ada betulnya juga ajaran orang tua dahulu :”Urip iku kudu jujur, lembah manah lan enthengan; Jujur akeh sedulur, lembah manah akeh berkah, enthengan akeh pangan.” (jujur, rendah hati dan ringan tangan, sedulur = saudara, akeh = banyak).

Pertanyaannya, apakah kita tidak pernah merasakan kuatir dalam hidup ini? Berbahagialah orang yang belum pernah mengalami kekuatiran di dalam hidupnya. Karena tidak pernah kawatir akan hidup ini, mestinya penuh dengan sukacita. Permasalahan dalam kehidupan memang harus selalu kita lalui dan lewati. Dan permaalahan tersebut biasanya berkaitan dengan orang lain atau keinginan kita yang berlebih.
.
Kalau dipikir-pikir dengan hati bening, apa sich bedanya punya pakaian banyak dengan hanya punya pakaian satu pasang, yang dipakai juga hanya satu pasang? Pasti ada jawabannya yang bermacam-macam. Makan sepiring cukup, dua piring kekenyangan, mengapa mesti menyiapkan makan banyak? Apa saja sich yang dapat dimakan di dunia ini? Pasti banyak. Mengapa kita mesti tergantung pada makanan tertentu, anggaplah nasi? Mengapa sampai timbul ungkapan, sebelum makan nasi rasanya belum makan? Salah siapa? Betapa begitu banyak jenis umbi-umbian palawija, buah-buahan, sayuran dan jenis padi-padian yang dapat dimakan dan membuat kenyang. Masih ada lagi dari jenis binatang, burung dan ikan.

Jangan-jangan orang zaman dahulu yang dikatakan umurnya panjang-panjang karena makan secara alami. Penulis tidak tahu apakah hitungan hari dalam setahun pada zaman para nabi awal sama dengan tahun sekarang. Diceritakan dalam Perjanjian Lama bahwa umur mereka sampai ratusan tahun.

Kita juga kadang tidak sadar bahwa segelas air Aqua pada waktu awal muncul, bisa lebih mahal dari harga bensin. “Orang Kotaan” mungkin takut minum air sumber langsung dari tanah dibandingkan dengan “orang kampungan.” Mereka merasa kawattir akan segala sesuatu yang dapat terjadi. Jangan-jangan air tanah itu tidak bersih banyak mengandung kuman penyakit. Namun dari satu sisi lain, disitulah kekebalan tubuh dibangun secara perlahan-lahan dan tidak kita sadari.

Tuhan, ajarilah aku untuk tidak kuatir dalam peziarahan hidup ini. Ajarilah aku untuk selalu mensyukuri apapun dengan penuh sukacita, sehingga Kerajaan-Mu benar-benar dapat aku nikmati di bumi ini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar