Sabtu, 28 November 2009

Memahami Matius Bab 5

Khotbah di Bukit (5-7)
Bab 5. Sabda Bahagia, Garam dan Terang Dunia, hukum Taurat

Ucapan bahagia
5:1 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. 5:2 Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:
5:3. "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Pengajaran di luar rumah ibadat mungkin diawali di suatu bukit, dimana Tuhan Yesus diikuti oleh orang banyak karena keajaibannya. Jelas rumah ibadat tidak akan cukup untuk menampung begitu banyak orang. Bukit tersebut sekarang ini sangat dikenal dengan nama bukit be-attitude dengan “gereja delapan sabda bahagia” yang berbentuk segi delapan. Tempatnya di pinggir danau atau laut Galilea, terasa tenang dan rindang karena pepohonan. Penulis masih bertanya-yanya dalam hati mengapa bukit tersebut tidak disebut sebagai bukit delapan sabda bahagia. Ataukah delapan sabda bahagia ini hanya dikenal dan sudah biasa di telinga orang Indonesia saja? Mungkin para ahli kitab suci perlu menjelaskan tentang hal ini.

Miskin di hadapan Tuhan bagi penulis dapat diartikan bahwa kita bukan apa-apa, tidak ada artinya, begitu kecil dan tidak berarti di hadapan Tuhan. Sekaya apapun kita, hal tersebut tidak berarti bagi Tuhan, Sang Maha Kaya. Kita diajarkan untuk bisa menjadi rendah hati, tidak sombong, tidak haus pujian, menerima segala sesuatu dengan apa adanya. Setiap hari, setiap waktu, kita selalu berhadapan dengan Tuhan. Apabila kita dapat menyadari bahwa kekayaan yang selama ini telah kita kumpulkan dengan susah payah, sebenarnya tidak berarti di hadapan Tuhan, dan sewaktu-waktu Tuhan pun dapat “menghapuskan” kekayaan itu melalui suatu kejadian dalam waktu sekejap. Kalau kita meninggal, nyatanya kekayaan tersebut tidak kita bawa ke liang kubur. Yang terjadi ya terjadilah dan tidak perlu disesali karena tidak akan kembali begitu saja. Kelekatan duniawi sepertinya dapat menjadi batu sandungan sewaktu mengikuti jejak Tuhan Yesus.

Tulus Ikhlas, berani melepaskan diri dari keterikatan materi duniawi. Disitulah kita akan merasakan Kerajaan Sorga. Tidak punya rasa kuatir tentang apapun. Hanya yang bersangkutan saja yang dapat merasakan dan menikmati, karena susah untuk diungkapkan. Ada peribahasa Jawa :”Ora duwe apa-apa, ora butuh apa-apa, ning malah duwe apa-apa” yang kurang lebih berarti tidak punya apa-apa, tidak menginginkan apa-apa, tetapi malahan mempunyai apa-apa.

Kita bisa membayangkan sewaktu kita berada di atas puncak gunung, atau di dalam perahu di tengah laut, jauh dari mana-mana. Betapa kita begitu kecil, begitu tidak berarti dibanding dengan apa yang dapat kita lihat pada waktu itu. Betapa hebat dan indahnya ciptaan Tuhan, dan betapa sering kali kita baru bisa menyadari, mengakui Sang Pencipta yang begitu maha.
Lagu “Hanya debulah aku” sering menyadarkan penulis di waktu Pra Paskah bahwa kita betul-betul bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tidak berarti, begitu kecil. Sering kali penulis merasakan berubah suara sewaktu menyanyikan lagu tersebut. Belum sampai menangis lho, walaupun sering mengeluarkan air mata tanpa dapat ditahan.

Yang menjadi batu sandungan dalam hidup kita, kenyataan bahwa semakin kita kaya akan semakin besar rasa kekuatiran kita. Jangan-jangan begini atau jangan-jangan begitu. Keterikatan atau kelekatan kepada apa yang kita miliki, yang kita kumpulkan dengan susah payah, sering menghunjam ke dalam hati kita. Mau tidak mau, sadar tidak sadar harus kita akui bahwa kekayaan nyatanya akan meningkatkan nilai gengsi kita di masyarakat. Dan tidak dapat kita pungkiri bahwa gengsi itu kenyataannya mahal.
Kita lebih sering lupa bahwa kita lahir dalam keadaan telanjang dan sewaktu meninggal hanya berpakaian seperangkat atau hanya kain kafan, dikuburkan atau dibakar. Sama dengan orang lain yang sering kita sebut miskin menderita perlu dikasihani. Siapkah kita menjadi orang biasa seperti orang kebanyakan?

5:4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berdukacita yang bagaimana yang akan mendapatkan kebahagiaan, yang mendapatkan penghiburan? Penulis lebih sering bingung sendiri menerima ajaran ini. Yang dapat penulis tangkap adalah dukacita, merasa prihatin karena melihat kebenaran diabaikan, cintakasih yang semakin meluntur, kedamaian yang semakin menjauh, hilangnya harapan untuk lebih baik. Masyarakat atau rakyat biasa semakin menderita dan semakin susah hidupnya. Orang berdukacita mendapat penghiburan adalah hal yang biasa, namun belum tentu merasakan kebahagiaan. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa orang yang masih punya kepedulian dalam kehidupan ini akan menerima Roh Penghibur itu sendiri. Peduli dan prihatin akan kemiskinan dan penderitaan yang melanda, lingkungan hidup yang mulai terusik, penjajahan di segala bidang. Peduli kepada kaum lemah dan papa, kelaparan dan kehausan, orang-orang yang tersingkir dan terabaikan.

Mari kita bayangkan apabila di sekitar kita ada banyak kejadian yang memprihatinkan, kita lihat dengan mata kita sendiri. Tetangga kita mengalami musibah, kelaparan, kehausan, tanpa pakaian, tidak punya tempat berteduh, dianggap sebagai sampah masyarakat, mengalami kebanjiran, kebakaran. Masih adakah kasih di hati kita? Kalau kita masih mempunyai hati nurani dan dapat berkarya, semestinya ikut berduka, prihatin dan muncul rasa ingin membantu secara ikhlas sesuai kemampuan. Membantu tidak selalu berbentuk materi dan uang, karena masih bisa yang lain. Mungkin saja kita hanya bisa membantu dengan tenaga, atau dengan kata-kata hiburan dan nasihat, atau malahan hanya dengan doa.

Terus kita membayangkan bahwa hal tersebut menimpa kita. Kita ingin meratap dan menangis karena terkena dukacita. Tanpa kita duga teman tetangga dengan sukarela menolong kita sesuai kemampuannya, penghiburan akan terjadi. Kita merasa bahwa kita masih punya teman, tetangga yang peduli kepada kita. Kita merasa tidak ditinggalkan sendirian. Ada rasa kelegaan walaupun belum bisa menghilangkan dukacita yang kita alami. Beruntunglah kita yang menjadi murid Yesus, walaupun kita menangis dalam kesesakan, Sang Penghibur sendiri yang membawa kelegaan. Kita bisa bertanya kepada diri sendiri mengapa berdukacita, dan akan ada jawabnya. Jika setiap jawaban kita tanyakan kembali, maka pada tahap tertentu kita akan menyadari bahwa kita harus berbuat sesuatu.

Penulis sering menganggap bahwa sukacita tidak ada bedanya dengan dukacita. Secara matematis dukacita adalah sukacita yang nilainya minus. Besaran nilai tersebut tergantung kita mengukurnya. Yang jelas jika nilainya positif kita anggap sebagai sukacita dan jika nilainya negatif kita sebut dukacita. Dalam pengembaraan hidup ini, kedua nilai tersebut akan kita lalui silih berganti. Jadi hidup ini mestinya kita nikmati dengan penuh sukacita karena Sang Penghibur sudah mengajarkan begitu. Siapkah kita mempunyai rasa prihatin dan peduli terhadap penderitaan karena ketidak benaran? Atau siapkah kita menjadi penghibur bagi orang lain?

5:5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Pada umumnya kita percaya bahwa orang yang lemah lembut pasti banyak kawannya, disukai. Biasanya lemah lembut berkaitan dengan mau mengalah tidak ingin menang sendiri, tidak mudah marah ataupun tersinggung, sopan dan punya rasa empati. Orang yang mau menyapa orang lain, siapapun mereka. Dimana bumi dipijak disitu dia mendapatkan kawan dan disenangi dalam pergaulan. Ajaran Jawa menyebutkan agar bisa “ajur ajer,” yang berarti bisa menyesuaikan diri di tempat manapun dan kapanpun. Bumi seakan-akan dapat direngkuh, dirangkul dalam tangannya. Seluruh isi bumi seakan menjadi milik kita karena mereka dapat bersekutu dengan kita. Pergi kemanapun setiap orang mau menerima atau paling tidak mau diajak tegur sapa. Apabila masih ada satu dua yang tidak suka, hal tersebut biasa dan lumrah. Sebaik apapun kita, sejujur apapun kita, pasti masih ada orang yang tidak suka. Bisa saja karena iri, merasa tidak bisa meniru. Bahasa ekstrimnya, selama Sang Roh Kejahatan masih boleh berkarya, hal tersebut pasti tetap akan dialami dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita membuat topeng lemah lemut. Sering kali topeng tersebut kita pasang di wajah kita, kemudian kita copot kembali tergantung situasi. Biar orang lain menyangka bahwa kita termasuk orang yang lemah lembut. Yang jelas bila kita selalu memakai topeng, pada titik tertentu karena ego kita, topeng tersebut secara tidak sadar akan kita buka sendiri. Maka akan terlihatlah wajah kita yang sebenarnya. Orang lain akan mulai beranya-tanya, siapakah kita sebenarnya. Dan umumnya mereka akan berbicara tentang kita di belakang kita. Syukur jika yang dibicarakan yang baik-baik, lha kalau yang sebaliknya? Budaya berbicara negatif di belakang nyatanya susah untuk diubah.

Coba kita bayangkan apabila kita tidak mempunyai teman seorangpun dan mereka menjauh dari kita, tetangga sebelah tidak mau bertegur sapa karena melihat egoisme kita, kesombongan kita yang maunya ingin menang sendiri. Kelemah lembutan harus diberikan kepadaku, namun bukan menjadi kewajibanku. Sewaktu mereka sedang berkumpul, begitu kita datang mereka membubarkan diri satu persatu dengan segala macam alasan. Ada orang ngobrol, kita merasa bahwa mereka sedang membicarakan kekurangan kita. Sehari dua hari masih dapat bertahan, lama kelamaan akan menekan kita dan rasanya ingin cepat pindah dari tempat tersebut. Tempat tersebut rasanya tidak ada damai, tidak ada ceria dan kita menjadi orang yang tersingkir. Tempat yang kita pijak dan kita huni terasa semakin panas. Siapkah kita berubah menjadi orang yang lemah lembut?

5:6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Kelihatannya arti kebenaran saat ini sudah berkembang. Kebenaran menurut seseorang atau kelompok orang belum tentu menjadi kebenaran bagi yang lain. Kebenaran dengan segala macam alasan, dan akhirnya saling berebut untuk mengaku yang paling benar. Mencari benarnya masing-masing jelas akan sulit menemukan titik temu. Terus orang Jawa mengatakan “becike kepiye?” baiknya bagaimana untuk mencari jalan tengah. Mungkin dapat dikatakan bahwa benar dan salah begitu tipis perbedaannya atau malahan ada gradasi atau tingkat kebenaran. Mungkin seperti batasan perbedaan siang dan malam, terus diambil kesepakatan batas antara siang dan malam. Benar dengan nilai seribu mestinya lebih tinggi dengan benar nilai seratus. Begitu nilai kebenaran tersebut kita anggap menuju minus, maka kita menyebut itu salah. Yang menjadi batu sandungan, sering kali kita begitu gampang untuk tidak membenarkan orang lain. Begitu lancar menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Yang dapat penulis tangkap dari perkataan Tuhan Yesus adalah kebenaran yang hakiki, yang datang dari hati nurani paling dalam. Mungkin secara ekstrim, kebenaran yang sempurna itu hanya milik Tuhan.

Dalam keadaan lapar dan haus, yang sangat kita butuhkan adalah makan dan minum; bukan yang lainnya. Pada waktu itu yang kita butuhkan adalan makanan dan minuman, sesederhana apapun. Muncullah ungkapan enak makan enak minum, bukan makanan dan minuman yang enak. Segala makanan dan minuman menjadi enak dan memuaskan kalau kita lapar dan haus. Yang penting sesuatu yang dapat dimakan dan sesuatu yang dapat diminum, atau sesuatu yang dapat memuaskan rasa haus dan lapar, bukan materi yang lainnya. Demikian juga orang yang lapar dan haus akan kebenaran mempunyai risiko duniawi dan bertentangan dengan orang lain yang merasa juga bahwa ia juga benar.

Bagaimana rasanya hati kita apabila sesuatu yang salah kita pertahankan dengan segala macam alasan? Mungkin saja ada yang tetap merasa tenang dengan kedegilannya, namun ada juga yang merasa dikejar-kejar oleh dirinya sendiri bahwa telah salah, mengakui kesalahan sebagai suatu kebenaran. Apabila orang tersebut berani mengakui kesalahan di hadapan lawan bicara dan haus akan kebenaran, disitulah kepuasan akan menjalar dalam hati sanubari.

Menurut penulis, kebiasaan mencari benarnya masing-masing harus kita ubah dengan mencari salahnya masing-masing. Dengan menemukan kesalahan atau ketidak benaran, barulah kita bisa menemukan kebenaran itu sendiri. Jika ketidak benaran, kesalahan, kekeliruan kita kumpulkan terus kita pisahkan, barulah sisanya tinggal kumpulan kebenaran. Sekecil apapun kebenaran yang kita miliki dan segala macam kesalahan yang pernah kita kumpulkan kita buang, pasti sisanya tinggal yang benar. Tuhan Yesus lebih tegas mengajari kita untuk berpegang kepada kebenaran; katakan benar apabila memang benar adanya dan katakan salah apabila memang salah adanya. Hati dan jiwa akan merasa lebih plong, lega, karena berani berpihak kepada kebenaran. Benar dan salah tidak mengenal keberpihakan dan toleransi.

Pengalamaan berkeliling ke luar negeri dengan tawaran-tawaran manis seks bebas dari lawan jenis kelihatannya sangat menarik dan susah untuk ditolak. Kapan lagi bisa diulangi kalau tidak dimanfaatkan, kan jauh dari keluarga? Pada malam hari sewaktu perenungan diri, ada perasaan puas dan bersyukur bahwa perbuatan tidak benar itu dapat ditekan dan tidak terjadi. Dari sisi kedagingan memang ada rasa penyesalan, namun dari sisi rohani ada rasa kepuasan yang tidak dapat diukur. Tawaran suap terasa manis karena dapat meningkatkan taraf hidup duniawi, biarpun dibalik itu pasti ada yang dirugikan. Kita masih dapat berdalih bahwa itu bukan suap, tetapi ucapan terima kasih, atau kesetia-kawanan atau bahasa lain yang lebih lembut. Menolak tawaran tersebut memang terasa pahit dari sisi kedagingan, namun memberikan kepuasan tersendiri dari sisi rohani. Jadi kitapun kalau mau, dapat membuang yang keliru baru memilih yang benar, dan disitulah kita akan mendapatkan kepuasan secara rohani. Mungkin kalau tidurpun bisa mendengkur dengan enak sekali. Penulis merasa yakin bahwa ketika kita berpihak kepada ketidak benaran, ada perasaan was-was di dalam hati, dan muncul di benak kita “jangan-jangan ....” Terus akal budi ini mulai berpikir mecari-cari alasan untuk pembenaran diri. Bisakah tidur nyenyak?
Siapkah kita berpihak kepada kebenaran?

5:7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Murah hati dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang dengan sukarela berbuat sesuatu bagi kepentingan orang lain. Berbuat sesuatu ini biasanya lebih ditekankan kepada tindakan membantu kebutuhan orang lain, seperti menolong dengan bantuan tenaga, memberi uang atau barang maupun pinjaman tanpa membungakan dan tidak mengejar-ngejar agar segera dikembalikan. Berbuat sesuatu dapat juga berbentuk nasihat yang diminta, urun rembug, mengerjakan sesuatu demi kebersihan, keindahan secara sukarela tanpa disuruh. Sewaktu kita berbuat sesuatu, orang lain yang menerima dampaknya akan dengan suka hati bermurah dengan ucapan terima kasih, pujian, doa semoga Tuhan yang membalas.

Tuhan Yesus memberi janji bagi orang yang murah hati, karena akan beroleh kemurahan dari Tuhan. Kemurahan Tuhan dapat berbentuk apa saja dari Tuhan, mungkin secara rohani dan mungkin juga secara jasmani atau malahan kedua-duanya. Kalau kita renungkan, sering kali kemurahan-Nya sungguh tidak terduga, malahan sering kita abaikan. Itu kan hal yang lumrah-lumrah saja. Percayakah kita akan kemurahan Tuhan? Rasanya belum pernah mendengar bahwa orang yang bermurah hati mengalami hidup “menderita.” Sama dengan seorang donatur yang menjadi miskin karena berderma, belum pernah tahu.

Belajar untuk bermurah hati dengan ikhlas memberikan pengalaman hidup yang begitu indah, sewaktu penulis mendapat kemurahan Tuhan yang begitu berlimpah. Semakin bermurah hati, rasanya kemurahan Tuhan juga semakin berlimpah-limpah. Sewaktu ngobrol dengan isteri tentang membantu tetangga yang kekurangan, dalam keterbatasan ekonomi keluaga, muncullah kesepakatan. Kesepakatan tersebut suatu pertanyaan yang harus kita jawab sendiri :”Apakah dengan membantu tersebut, keluarga kita menjadi tidak bisa makan?” Selama masih bisa “makan,” apa salahnya jika bisa membantu orang lain? Membantu tidak berarti memenuhi segala kebutuhan yang kita bantu, namun yang penting jangan dianggap bahwa hal tersebut menjadi bagian hutang yang harus dibayar atau dikembalikan.

Kelihatannya ada benarnya bahwa di dunia ini yang penuh dengan kedagingan mengajarkan kepada kita bahwa, rezeki tidak bisa dikejar dan tidak dapat ditolak. Demikian juga dengan musibah yang tidak pernah diharapkan, namun tidak dapat dihindarkan. Musibah tersebut dapat kita sebutkan sebagai rezeki yang nilainya negatif. Batas titik nol dari rezaki tersebut kita tentukan, kalau diatas nol kita sebut rezeki yang positif. Di bawah nol kita sebut rezeki yang negatif dan lebih populer disebut musibah atau kesialan. Siapkah kita untuk menjadi orang yang murah hati?

5:8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Pengalaman mengajarkan bahwa untuk hidup suci bukanlah soal yang gampang. Gangguan kedagingan begitu menggelora mempengaruhi kehidupan kita, seakan-akan menggoda dengan segala kenikmatannya. Yang muncul hanya segala macam hawa nafsu yang mengajak kita melupakan Tuhan. Seakan-akan Tuhan memang tidak menjanjikan dunia yang memberikan kenikmatan duniawi. Kesucian hati rasanya hanya memberikan kekalahan duniawi, harus selalu mengalah kepada orang lain, tidak boleh berpikir negatif dan banyak lain lagi, sehingga emosi harus betul-betul dapat dikendalikan. Pikiran, hati dan jiwa harus betul-betul murni, bersih. Penulis merasakan bahwa hal ini suatu pelajaran yang begitu berat, yang terus menerus harus selalu diasah. Penulis merasakan jatuh bangun untuk menuju ke kesucian hati, karena godaan kedagingan, ego dan sejenisnya. Sebagai contoh, begitu mencoba berdoa, banyak pikiran lain yang mengganggu sehingga Tuhan seakan-akan begitu jauh dan terasa bahwa tidak terjadi komunikasi dengan Tuhan. Bibir berbicara dalam doa, namun hati dan pikiran melayang-layang di tempat lain. Mungkin Tuhan bertanya :”Dar, kamu sekarang ini sedang berbicara dengan siapa? Coba lihatlah Aku anak-Ku, yang sedang kamu ajak bicara ini, dengan hati yang murni. Berbicaralah dengan hatimu, anak-Ku.”

Seringkali hati kita terisi dengan pikiran tentang orang lain dan kita ingin mengkritiknya, menyalahkan karena tidak sesuai dengan kata hati kita. Rasanya kitalah yang paling benar. Pada saat-saat seperti itu hanya bayangan-bayangan orang lain yang terlihat. Bayangan “wajah Tuhan” seakan-akan tertutup di balik bayangan wajah orang lain. Sewaktu Tuhan ingin memasuki hati kita, pada saat itu kita menolak dan meminggirkan Dia ke samping. Entar dulu Tuhan, sekarang ini emosiku yang harus didahulukan.

Namun pengalaman hidup menunjukkan bahwa sewaktu kita bertobat dengan sepenuh hati, dan ingin hidup lebih baik dengan mengikuti perintah-Nya, ada perasaan lega yang tidak dapat dilukiskan. Rasanya Tuhan malahan selalu mengajak berbicara lebih dahulu. Mata hati kita seakan-akan “memandang” Tuhan yang sedang memberi tahu, mengingatkan, menyapa dengan halus. Mungkin setiap pagi atau malahan pagi dan sore kita dapat menyanyikan lagu menyapa Tuhan :”Selamat pagi Bapa, selamat pagi Yesus, selamat pagi Roh Kudus. Terima kasih atas anugerah-Mu, semalam telah berlalu. Ku memuji, ku bersyukur, ku muliakan Nama-Mu. Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, terima kasih.” Wajah Tuhan Yesus seakan-akan ada di hadapan kita dan kita bisa berbicara seperti dengan seorang sahabat dekat yang kita hormati dan kita segani.

Yang jadi batu sandungan adalah bagaimana mempertahankan kemurnian atau kesucian hati ini. Si Pengganggu sering kali menawarkan sesuatu yang begitu menarik, yang dapat melupakan dan melunturkan kesucian hati. Sebagai contoh, pada zaman sekarang ini adalah sarana komputer dan internet yang dapat merangkum dunia dengan segala isinya. Jika salah pilih, dengan sarana ini maka kita akan semakin terjerumus ke dalam godaan setan, lupa waktu, lupa keluarga dan lupa ngobrol dengan Tuhan. Siapkah kita menjadi orang yang suci hati?


5:9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Begitu kita dibaptis, rasanya pada saat itu juga kita sudah betul-betul menjadi anak-anak Tuhan. Maklum, sewaktu penulis dipermandikan sudah duduk di bangku sekolah SMP.Yang muncul dari hati pada saat itu hanya rasa bahagia, gembira dan dapat berdamai dengan siapapun juga yang kita jumpai pada hari itu. Semua orang mengucapkan selamat dan kita dijadikan keluarga besar umat Kristiani. Mungkin di tempat tertentu malah dipestakan.

Namun setelah itu kita lebih sering menjadi anak-anak yang bandel dan membangkang. Pokoknya hari Minggu ke gereja, hari lainnya entah kemana. Hari Minggu menjadi anak Allah dan hari lainnya menjadi anak dunia kembali. Mungkin ungkapan Jawa dari orang tua kita cocok sekali :”Inggih-inggih ora kepanggih.” Ya bapak, ya ibu, namun setelah keluar dari rumah, kita sudah lupa dengan pesannya. Ach, bapak-ibu tidak tahu saja, sekali-kali kan tidak apa-apa tidak menurut orang tua.

Tuhan Yesus menjanjikan bahwa kalau ingin disebut sebagai anak-anak Allah, bawalah damai kemanapun kita berada. Damai kelihatannya gampang diucapkan, namun cukup sulit untuk dilaksanakan. Kelihatannya perlu tahapan untuk belajar damai ini. Berdamai dengan diri sendiri rupanya menjadi pelajaran awal yang harus dikuasai lebih dahulu. Belajar damai dengan diri sendiri secara tidak langsung belajar damai dengan Tuhan, melalui permenungan dan pertobatan. Roh Kudus akan berkarya dalam hati kita, apabila kita bisa berdamai dengan Tuhan. Berdamai dapat diartikan secara gampangnya adalah saling memaafkan atas segala kesalahan dan kembali hidup rukun. Kalau “bertemu” Tuhan Yang Maha Benar dan Maha kasih, siapakah yang berbuat salah? Disini jelas kitalah yang telah berbuat salah dan dosa kepada Tuhan. Namun karena Tuhan begitu Maha Pengampun, begitu kita mengakui segala kesalahan dan bertobat dengan sepenuh hati dan tidak berbuat salah lagi, maka kita akan kembali menjadi anak-anak Tuhan. Di Mata Tuhan, kesalahan tersebut dapat saja terjadi karena pikiran kita, perkataan kita ataupun karena perbuatan kita.

Jika kita sudah dapat berdamai dengan Tuhan melalui diri sendiri yang berubah, maka kita dapat mengembangkan diri ke tahap selanjutnya. Sebagai gereja basis, tahapan kedua harus belajar damai dengan keluarga dan seisi rumah. Di Mata Tuhan, seisi rumah mempunyai tingkat yang sama, tidak ada yang lebih besar ataupun yang lebih kuasa. Tidak ada yang lebih kecil ataupun lebih lemah. Seringkali kita menganggap enteng apabila dalam keluarga sendiri, merasa segalanya gampang diselesaikan, mudah diatur, apalagi kalau kita menjadi kepala keluarga. Ucapan minta tolong, pujian, maaf dan terima kasih dalam keluarga rasanya sangat sulit untuk diucapkan. Seringkali kita merasa lebih gampang berkomunikasi dengan orang lain, apalagi menyangkut tentang iman. Kita merasa lebih gampang berdoa bersama dengan teman-teman di lingkungan, dibandingkan berdoa dan membaca Kitab Suci bersama keluarga. Disinilah hambatan yang sering muncul untuk memulai berdamai dengan keluarga, melalui komunikasi dan persekutuan doa yang paling kecil. Kita sering lupa dengan janji suci pada saat sakramen pernikahan, menjadi satu daging membentuk keluarga baru yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita. Kita bisa dan rasanya lebih mudah untuk mengundang anggota lingkungan bahkan pastur dalam persekutuan doa. Kitapun rasanya lebih mudah mendatangi undangan persekutuan doa rutin di lingkungan, dibandingkan persekutuan doa di dalam keluarga. Mestinya kita harus lulus dahulu dari ujian dalam keluarga, barulah kita menapak ke tahap selanjutnya.

Tahapan ketiga adalah yang lebih luas, karena membawa damai di masyarakat yang lebih luas, dengan segala macam hambatan. Membawa damai kelihatannya juga harus siap mengalah, biarpun kebenaran tetap harus ditegakkan. Sering kali kita membenarkan diri dengan kata-kata “maklumlah masih manusiawi” walaupun dengan baptisan kita diubah menjadi manusia baru dan anak-anak Tuhan. Hambatan besar memang hanya datang dari diri sendiri, apakah siap menjadi pembawa damai di keluarga, di cakupan yang lebih besar, di masyarakat ataupun lingkungan paroki.

Mari kita bayangkan perbedaan suatu kehidupan yang penuh damai dan kehidupan yang penuh percecokan. Kedamaian rasanya sudah seperti hidup di sorga, menjadi anak-anak Tuhan, Sang Raja Damai. Sedangkan konflik, percekcokan, perseteruan dan sejenisnya rasanya seperti hidup di neraka, dimana memang Iblis selalu mengharapkan terjadinya perselisihan. Perselisihan sendiri tidak mesti model perang terbuka berhadap-hadapan. Bisa jadi perselisihan diawali dengan perbedaan pendapat, prinsip, budaya, adat istiadat ataupun sifat-sifat yang dibawa dari lahir. Kita sering lupa bahwa kita diciptakan memang begitu unik dan berbeda dengan yang lainnya. Batu sandungan tanpa disadari muncul sewaktu kita menginginkan seseorang atau kelompok merubah sikap atau perilaku yang sudah dibawa sejak kecil. Kita sendiri sering lupa untuk merubah diri sendiri. Mestinya kita masing-masing berubah sendiri menjadi lebih baik dan pada waktunya siap menjadi pembawa damai. Marilah kita belajar dan berkarya untuk membawa perdamaian dengan penuh kasih, dimanapun kita berada. Kelihatannya memang harus terus belajar dan belajar melalui proses kehidupan sehari-hari. Anak-anak Allah yang sedang berkumpul mestinya penuh damai lahir batin. Siapkah kita menjadi pembawa damai?


5:10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Kembali ke atas, lapar dan haus akan kebenaran dapat menimbulkan penganiayaan karena melawan yang tidak benar. Teraniaya dalam pikiran, hati ataupun tubuh maupun mata pencaharian, bisa dialami karena membela kebenaran. Pertanyaannya, siapkah kita mempertahankan kebenaran dengan segala macam risiko di dunia tersebut? Tuhan Yesus sendiri mengambil risiko itu demi kebenaran yang hakiki. Tuhan Yesus memberi janji yang indah, yaitu akan mempunyai atau menjadi pemilik Kerajaan Sorga. Kerajaan Sorga selama masih hidup di dunia yang dapat dirasakan dalam hati, atapun kerajaan Sorga setelah dipanggil Tuhan untuk menghadap-Nya. Kita pasti ingat doa Bapa Kami, datanglah Kerajaan-Mu diatas bumi seperti didalam surga. Mempertahankan kebenaran nampaknya suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hidup ini memang aneh, berpihak kepada kebenaran yang berarti berpihak kepada Tuhan, koq dianiaya. Benar masih bisa direkayasa menjadi salah dan salah itu sendiri malahan menjadi benar. Tetapi itulah hidup, bahwa kebenaran sering menjadi musuh bagi orang-orang yang tidak benar. Karena kebenaran, seseorang atau sekelompok orang bisa dibuat “miskin” di hadapan dunia. Maka kebenaran itu perlu “dianiaya” agar tidak berkembang. Mungkin ada benarnya ungkapan Jawa yang mengatakan “sing waras ngalah.” Sebab kalau melawan dan tidak mau mengalah berarti sama tidak warasnya. Mari kita bertanya ke dalam diri sendiri, saat kapan kita merasa gelisah dan deg-degan, apakah sewaktu melakukan kebenaran atau sebaliknya?
Siapkah kita menjadi pembawa kebenaran?


5:11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Tuhan Yesus kelihatannya mengajarkan kepada kita, untuk belajar tersenyum dengan hati yang bersih apabila karena Dia kita dicela, difitnah dan dianiaya. Tuhan Yesus mengajar agar kita tidak marah dan membalas segala celaan dan fitnahan dengan kemarahan. Tuhan Yesus bagaikan pelatih olah raga yang mengajarkan sportifitas, untuk tetap bermain cantik biarpun dikasari atau dirugikan oleh lawan; Biarkan saja kan ada wasit yang akan menghukum mereka. Kadang-kadang memang dalam pertandingan kita akan diganggu dengan segala macam cara, agar emosi kita naik dan tidak dapat konsentrasi mengembangkan permainan. Tuhan Yesus sepertinya berkata :”Tenang! Tenang! Jangan emosi, biarkan saja, jangan dilawan dengan kemarahan, teruslah berkarya! Lihatlah Aku yang selalu dicela dan dianiaya serta difitnah. Contohlah Aku.”

Mungkin para katekis, guru agama ada baiknya menekankan ajaran ini kepada para katekumen. Bahwa menjadi pengikut Kristus itu harus siap lahir batin untuk dicela dan dianiaya. Dicela dan dianiaya dalam segala hal dalam kehidupan di dunia ini. Harus kita sadari bahwa dunia ini sejak sebelumnya memang sudah terisi, diduduki oleh Roh Jahat yang menguasai segala tempat dan mereka pintar bersilat lidah. Mereka bisa menuduhkan apa saja, kalau perlu disiapkan para saksi palsu. Apalagi bila bisa menggerakkan massa yang diisi dengan dogma-dogma. Mungkin disini kita bisa belajar kepada Santo Stephanus martir pertama yang rela dan bersedia menjadi tumbal.

Jika direnungkan, sebenarnya yang dicela, dianiaya dan diolok-olok sebenarnya bukan kita, tetapi Tuhan Yesus sendiri. Coba, kalau kita tidak menjadi pengikut Kristus, jangan-jangan kenikmatan duniawi ini semuanya bisa kita raup. Siapkah kita menjadi pengikut Kristus yang konsekuen?


5:12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."
Jadi ada betulnya apabila kita menyanyikan lagu :”Disini senang, disana senang, dimana-mana hatiku senang.” Hati dan jiwa yang selalu bersukacita biarpun hidup dalam kesengsaraan (kata orang karena kemiskinan) karena Tuhan, akan mendapat upah yang bukan main hebatnya. Upah yang sangat diharapkan oleh semua orang yang beriman kepada Tuhan. Sorga! Beranikah kita selalu bersukacita dan bergembira di dunia ini, walaupun akan mengalami “penganiayaan” karena menjadi pengikut Tuhan Yesus? Penganiayaan tidak selalu secara phisik, tetapi bisa terjadi secara non phisik karena tekanan batin, dicela dan diolok-olok. Bisa secara langung ataupun tidak langsung, mungkin melalui gosip atau cara lainnya lagi

Penulis membayangkan jika kita berniat jalan-jalan naik gunung karena di atas sana sangat indah pemandangannya. Untuk menuju kesana jelas dimulai dari langkah pertama, langkah kedua dan seterusnya. Yang kita hadapi adalah jalan yang naik turun, bukit terjal arus sungai, gangguan binatang, onak duri dan sebagainya. Namun kalau semua itu kita tempuh dengan penuh sukacita dan kita nikmati, segalanya seperti tidak ada masalah. Wajar saja kalau merasa penat dan beristirahat, sesekali terpeleset namun tidak menyerah. Bangkit kembali sambil memandang ke atas bahwa tujuan akhir sudah dekat. Begitu sampai tujuan, upah keindahan pemandangan sudah membentang di depan kita. Segala hambatan dan rintangan yang kita lalui seperti tidak ada artinya. Orang Jawa menyebutnya “lumaku tumuju”, berjalan dan berjalan maka akan sampai.

Namun apa yang akan terjadi, bila sebelum berangkat kita sudah mengeluh duluan? Segalanya akan terasa berat dan tak tertahankan. Ach ... sengatan panas matahari bukan main, jalannya tidak bagus, jangan-jangan .... dan sebagainya. Bisa-bisa baru setengah perjalanan sudah menyerah dan tidak melanjutkan pendakian. Pemandangan keindahan alam raya tersebut jelas tidak akan dialami langsung. Paling-paling menikmati gambar atau photo dari orang yang sudah pernah sampai di sana. Ujung-ujungnya terus berkhayal. Siapkah kita menjadi pelaku dan pembawa sukacita?

Ajaran delapan sabda bahagia ini sering kali membuat bingung penulis. Bagaimana mungkin di dalam kondisi “kalah di dunia” bisa berbahagia? Berbahagialah orang yang miskin, berdukacita, lemah lembut, lapar dan haus, murah hati, suci hati, pembawa damai, dan dianiaya. Dimanakah letak bahagianya? Secara umum dan manusiawi, bahwa hampir setiap orang akan merasakan tertekan, terhina, menderita, sedih, sakit hati dan perasaan-perasaan lain, campur aduk. Mungkin Tuhan Yesus tidak berbicara persis seperti itu, biarpun ada suatu penghiburan yang memerlukan pencerahan tersendiri. Penulis lebih mudah memahami apabila mereka ini memperoleh berkat Allah karena kalah di dunia, walaupun demi kebenaran dan kebaikan. Kekalahan ini akan diganti oleh Allah sendiri yang begitu setia dengan janji-Nya, yaitu berkat kemenangan surgawi. Tiada berkat yang lebih besar kecuali berkat dari Tuhan sendiri. Dan berkat inilah yang membahagiakan, yang menjadi harapan untuk menuju ke kebahagiaan kekal.

Garam dunia dan terang dunia
5:13. "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.
Garam, biarpun sedikit namun sudah bisa membikin masakan menjadi lebih sedap dan nikmat rasanya; Lha kalau terlalu banyak malahan menjadi tidak enak karena keasinan. Garam juga dapat untuk mengawetkan, seperti untuk membuat ikan asin atau telur asin yang lebih tahan lama. Di Jawa Barat terkenal dengan asinan, walaupun rasanya asam segar.

Jika kita membayangkan sedang memasak sayur dalam suatu wadah, panci atau kuali, garam sebagai penambah rasa akan kita masukkan sedikit demi sedikit, atau langsung secukupnya. Garam tersebut akan campur dan merata ke seluruh sayur tersebut, selain bumbu-bumbu yang juga dimasukkan. Banyaknya garam untuk masakan yang lain mestinya akan berbeda, sesuai kebutuhan. Garam memang hanya diperlukan untuk sepanci dan sepanci, yang dibatasi oleh besarnya wadah. Jika wadah atau panci semakin besar dan yang dimasak semakin banyak, maka kebutuhan garam juga akan semakin banyak. Rasanya, tidak ada kebutuhan lain dengan garam kecuali disebar di sekitar dimana kita akan tidur di hutan atau tempat terbuka. Garam tersebut sebagai pengusir binatang melata, termasuk jenis ular.

Jika garam kita anggap sebagai bumbu seperti yang lainnya, maka bumbu-bumbu itu akan bercampur menjadi satu, yang akan menghasilkan masakan yang lezat. Semua jenis bumbu memberikan kelezatannya masing-masing, tetapi garam menjadi faktor yang utama dan selalu dibutuhkan. Bumbu yang lainnya kadang-kadang tidak diperlukan, disesuaikan dengan kebutuhan.

Jika kita membayangkan zaman Tuhan Yesus, jelas garam bubuk atau garam bata seperti sekarang ini belum ada. Mereka mencari garam dari laut dan kebetulan ada Laut Mati atau Laut Asin. Mereka mengambil batu-batu yang terendam di laut tersebut, yang sudah diselimuti garam. Jika memasak, batu tersebut tinggal dicelupkan beberapa saat sesuai kebutuhan. Lama kelamaan kandungan garam pada batu tersebut habis juga. Yang dilakukan hanyalah membuang batu tersebut untuk membikin jalan agar tidak becek atau licin. Diceritakan bahwa batu-batu yang terserak di depan rumah di Israel sana, memang berasal dari bekas batu garam.

Kelihatannya Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita agar menjadi orang yang berguna di tengah-tengah keluarga, lingkungan atau paroki sampai masyarakat luas. Kita mengenal istilah, saling manggarami atau mungkin yang lebih cocok adalah saling membumbui. Saling membumbui agar semakin enak, guyub, menyatu. Sekecil apapun kegunaan garam itu, namun dapat dirasakan oleh masyarakat terbatas di sekitar kita, sehingga mereka langsung atau tidak langsung akan mengakui bahwa kebenaran kasih Tuhan Yesus itu ada artinya di tengah-tengah kehidupan ini. Karya apa saja yang dapat kita lakukan di tengah-tengah masyarakat terbatas? Rasanya sangat banyak sekali yang dapat kita lakukan, sekecil apapun hasil karya itu.

Tanpa berkarya sama saja menjadi tidak dikenal, diabaikan atau malahan menjadi omongan dan akhirnya dilupakan dan tersingkirkan. Atau malahan kita sendiri yang sebenarnya menyingkirkan diri, kemudian menjadi eksklusif. Pada tahap ini kelihatannya kita diajar untuk menjadi garam dalam satu wadah, satu iman, satu aliran atau satu komunitas yang mempunyai “selera dan tujuan yang sama.” Garam yang kita pakai atau kita manfaatkan sudah seharusnya secukupnya sesuai kebutuhan agar enak rasanya. Yang lain bisa menjadi cabai, merica, ketumbar, asam, bawang dan sebagainya. Terus muncul ucapan keinginan supaya besuk membuat lagi yang sesuai selera seperti itu. Jika garam yang kita masukkan terlalu banyak, maka akan “keasinan” dan membuat bosan, jangan-jangan rasanya malah ngelantur kemana-mana.

Kita mungkin bisa menilai seorang pengkotbah dengan selera kita masing-masing. Sang pengkotbah akan kita nilai bagus, sesuai dengan kebutuhan kita dan waktunya tepat. Namun jika dia mulai ngelantur, jangan-jangan kita akan mengubah penilaian kita yang bagus tadi. Disinilah sulitnya untuk menjadi garam yang pas bagi komunitas. Yang satu merasa kurang asin namun yang lainnya merasa keasinan. Sesuai selera kita, kita bisa mengatakan ikan asin yang mana yang enak atau telur asin yang seperti apa yang sesuai dengan selera kita.

Yang jelas, garam pasti akan melebur dan larut menyatu, susah untuk dipisahkan kembali. Sering kali dalam kehidupan ini kita menjadi tidak tahu, mengapa masakan ini begitu enak dan nikmat. Apakah garamnya atau bumbu-bumbu lainnya, atau sebenarnya karena semua sudah menyatu saling melengkapi. Namun satu hal memang harus diakui bahwa tanpa garam, masih ada sesuatu yang kurang. Dan hanya Tuhan Yesus yang mengajarkan supaya kita bisa menjadi garam. Disinilah nilai kelebihan yang diberikan garam. Biarlah yang lainnya menjadi bumbu-bumbu sesuai kebutuhan dan garam yang menyempurnakan.

Jika kita melihat pada Ulangan 2:13 dan Bilangan 18:19, kelihatannya ada bagian dan tugas khusus bagi para imam yang disebut sebagai perjanjian garam. Sering kali garam yang sudah diberkati dimanfaatkan juga untuk pengusir roh jahat. Nabi Elisa juga menyehatkan sumber air dengan garam, yang sebelumnya sering membuat wanita hamil keguguran (2 Raja. 2).

5:14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 5:15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 5:16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."
Kelihatannya Tuhan Yesus menyiratkan bahwa menjadi garam saja masih kurang cukup. Yang umum memang untuk kebutuhan dapur dalam wadah atau bejana yang terbatas. Menjadi garam adalah tahap permulaan yang harus dilalui dan dijalani secara nyata. Jika garam kita sudah bisa menggarami dalam keluarga atau kelompok internal, barulah berkarya yang lebih luas tanpa pamrih. Berkarya dengan suatu pamrih di tengah masyarakat yang heterogin, campur aduk, di belakang hari akan dapat menjadi suatu batu sandungan. Bekerja keras tidak cukup, maka harus bisa bekerja dengan cerdas. Inipun masih kurang, yang harus dilengkapi dengan bekerja ikhlas.

Jika kita sudah bisa menjadi garam, Tuhan Yesus masih menambahkan agar menjadi terang dunia yang bercahaya di depan orang. Terang memang mempunyai cakupan yang lebih luas, yang dapat menerangi siapa saja tanpa pandang bulu. Terang memang tidak pernah memilih siapa yang harus menerima cahayanya. Seperti terangnya sinar matahari, memberikan cahayanya bagi siapa saja yang membutuhkan. Yang tidak mau menerima cahaya panasnya, biarlah mereka bersembunyi atau berteduh atau menggunakan payung, namun mereka tidak akan terhindar dari terangnya. Orang tidak pernah memuji matahari namun memuji dan memuliakan Sang Pencipta. Mungkin peribahasa Jawa :”sepi ing pamrih rame ing gawe” ada kecocokan dengan ajaran Tuhan Yesus. Menjadi terang kebenaran dan kebaikan dengan penuh kebersihan hati, tanpa pamrih akan dapat dilihat oleh orang lain sebagai buah ajaran dan murid Tuhan Yesus. Dengan demikian, mau tidak mau orang lain akan mengakui akan kebesaran Allah Bapa melalui ajaran Tuhan Yesus Sang Putera. Hal ini mengingatkan penulis akan salah satu pesan Bunda Maria di Medjugorje :”Jadilah contoh.”

Jadilah contoh yang baik kelihatannya tidak ada padanannya, karena yang mengakui orang lain, bukan diri sendiri. Contoh tidak pernah promosi diri, biarkan mereka menilai kelebihan yang diejawantahkan sesuai seleranya masing-masing. Terang akan menyinari siapa saja dan apa saja, dan yang tadinya gelap akan menjadi kelihatan. Jangan sampai mereka memuji terang yang kita berikan, namun silahkan langsung memuji Bapa yang di sorga, karena semuanya itu dari Bapa. Menjadi panutan berarti harus mau melakukan perbuatan itu sendiri secara nyata dan dapat dilihat dan dirasakan orang lain. Perbuatan baik dan benar sesuai ajaran-Nya, seharusnya mencuci hati, jiwa dan pikiran kita, sehingga perbuatan tersebut keluar memancar begitu saja. Perbuatan baik dan benar tersebut dilakukan bagaikan kita bernafas setiap saat. Kita tidak pernah berpikir dan menghitung bagaimana bernafas dengan baik. Segalanya berjalan begitu saja, selama kita masih bisa bernafas.

Didalam kehidupan sehari-hari, sering kali ego kita mempengaruhi diri untuk segera meloncat lebih jauh. Kita lebih sering lupa untuk berproses setahap demi setahap, selangkah demi selangkah. Sering kali kita ingin langsung menjadi terang agar bisa dilihat dan dirasakan orang lain. Menjadi garam kita nomor duakan, bahwa nanti juga akan sampai ke sana. Zaman sekarang ini banyak orang tidak bisa menerima ungkapan “biar lambat asal selamat.” Katanya itu kuno sudah ketinggalan zaman. Yang penting sekarang ini kalau bisa segalanya cepat namun selalu selamat. Jika tidak selamat, itu merupakan risiko yang harus dihadapi. Kemudian mengevaluasi bagaimana caranya bisa semakin cepat dan selamat. Malahan secara umum yang mungkin tanpa disadari, yang terjadi adalah ya menjadi garam ya menjadi terang, saling bergantian atau bersamaan.

Satu hal mungkin yang perlu kesepakatan bersama, bahwa kita manusia ini selalu berproses dan berubah. Sesuai kodratnya, ada yang bisa berproses cepat namun ada juga yang lambat. Mestinya berproses dan berubah menuju ke yang lebih baik dan benar. Dan proses ideal itu sendiri sebenarnya tetap melewati tahapan-tahapan yang alami. Jika ada tahapan yang terlewati, pasti ada sesuatu yang kurang yang mungkin baru terasa atau kelihatan setelah beberapa lama. Memang ada peribahasa “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui” yang mungkin sekarang ini lebih dikenal dengan istilah efektif dan efisien. Mau tidak mau dibutuhkan kecerdasan.
Tuhan, ubahlah aku menjadi lebih baik. Ajarilah aku menjadi garam dan terang seperti Engkau.


Penjelasan dan penggenapan Hukum Taurat

Yesus dan hukum Taurat
5:17. "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. 5:18 Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. 5:19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. 5:20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Tekanan Tuhan Yesus akan hukum Taurat atau kitab para nabi begitu tegas, yang mau tidak mau mengajarkan kita untuk lebih mendalami Kitab Suci. Harapannya agar kita tidak terjerumus kepada hal-hal yang dapat mengakibatkan kita terperosok ke jalan yang salah, yang sebenarnya sudah tertulis dalam Kitab Suci. Harus diakui bahwa kebanyakan orang Kristen Katolik begitu lemah akan pendalaman Kitab Suci dibandingkan saudaranya yang Kristen Protestan. Jangan-jangan malahan banyak keluarga Katolik yang tidak mempunyai Kitab Suci, bahkan belum pernah membacanya. Mungkin ada juga yang beranggapan bahwa Kitab Suci Perjanjian Lama sudah tidak perlu, karena ada Kitab Suci Perjanjian Baru, yang merupakan ajaran Tuhan Yesus.

Memang kadang-kadang aneh, kita mengaku sebagai seorang Kristen, dimana Firman Tuhan ada di dalam Kitab Suci, namun kita malas untuk membacanya. Lha terus bagaimana kita mengenal akan Firman Tuhan? Mungkin akan ada yang menjawab bawa setiap minggu kita sudah mendengarkan bacaan Kitab Suci, dan itu sudah cukup. Tuhan Yesus sendiri kan pernah mengatakan bahwa pokok ajaran-Nya Hukum Kasih. Mengasihi Allah dan mengasihi sesama menjadi inti, yang dapat dijabarkan begitu luasnya. Dan jabaran tersebut ada di dalam Kitab Suci. Kita lupa bahwa bacaan di gereja telah dipilih sedemikian rupa, yang selalu diulang-ulang setiap tiga tahun dan yang terbacakan itu hanya sepersekian dari seluruh isi Kitab Suci.

Dengan mendalami isi seluruh Kitab Suci, diharapkan kita menjadi lebih baik dalam menjalani hidup ini, dibandingkan dengan para ahli Taurat dan orang Farisi. Setidak-tidaknya mulai berproses cukup membaca Kitab Suci apa adanya, seperti atau kita anggap membaca buku cerita yang menarik. Memang tidak perlu dihafal namun lebih dimaknai dan dihayati, mana yang perlu di dalam kehidupan kita sehari-hari. Lama kelamaan kita akan tahu bahwa ajaran ini dan itu, penyelesaian masalah kehidupan, obrolan petuah orang lain, sebenarnya ada di dalam Kitab Suci.

Sebenarnya ada juga hal yang membingungkan, mengapa Tuhan Yesus agak begitu gemas dengan para ahli Taurat dan kaum Farisi. Jangan-jangan mereka ini saking ahlinya malahan menjabarkan Taurat secara kebablasan. Mencari celah-celah kesempatan yang tidak tertulis secara nyata. Kemudian membuat aturan-aturan untuk dilaksanakan oleh masyarakat Yahudi. Siapa yang berani meragukan, membantah atau menentang para ahli di bidangnya? Lama kelamaan di dalam prosesnya malah semakin jauh dari inti ajaran Taurat. Kelihatannya ada perbuatan-perbuatan para ahli Taurat dan orang Farisi yang dicela oleh Tuhan Yesus. Kemungkinan besar kemunafikan atau “Nato” (No action talk only) yang pinter ngomong berapi-api, mempengaruhi orang banyak sehingga hanya bisa mengiyakan, namun dalam kehidupan sehari-hari sering jadi omongan. Perkataan dan perbuatannya tidak seiring sejalan, namun mempunyai seribu satu macam alasan yang sulit dibantah. Jangan-jangan kitapun terbawa arus, sadar atau tidak sadar sering mengikuti kelakuan mereka.

Kita sering membaca atau mendengar bagaimana para ahli hukum saling bersilat lidah tentang Undang-Undang Dasar dan undang-undang dibawahnya. Yang satu mengatakan penjabarannya mestinya begini dan yang lainnya mengatakan harusnya begitu. Ujung-ujungnya kita dibuat bingung oleh para ahli ini, yang mana yang benar. Koq semuanya masuk akal?

Siapakah ahli Taurat dan kaum Farisi pada zaman sekarang ini? Bagaimana kalau kita buta huruf? Disinilah perlunya pendalaman Kitab Suci bagi siapa saja yang mau mendengarkan dan melaksanakan amanat-amanat yang dianjurkan Kitab Suci. Makanya di gereja sering dilantunkan kata-kata :”Berbahagialah orang yang mendengarkan Sabda Tuhan, dan tekun melaksanakannya.” Dan dijawab : ”Sabda-Mu adalah jalan, kebenaran dan hidup kami.”

Tuhan Yesus menegaskan bahwa Dia menggenapi apa yang sudah ada sebelumnya, yang berarti bahwa ajaran dalam Taurat sudah betul dan dapat menjadi pegangan kita, walau belum komplit. Hal-hal yang belum jelas menurut pandangan kita, telah digenapi oleh ajaran Tuhan Yesus sendiri. Yang agak belok diluruskan kembali, yang terputus-putus disambung kembali. Kelihatannya Tuhan Yesus selalu menghargai adat, budaya yang ada, selama tidak bertentangan dengan ajaran-Nya.

Secara bodoh, penulis menangkap ajaran Sepuluh Perintah Allah sebagai inti dalam Hukum Taurat yang harus kita taati dan kita lakukan. Kita bisa melihat dalam Sepuluh Perintah Allah bahwa belum tertulis secara jelas untuk mengasihi sesama manusia, seperti yang diajarkan Tuhan Yesus. Mungkin disinilah bangsa Yahudi mempunyai alasan untuk menduduki tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan oleh Yahwe. Kita bisa membaca betapa zaman dahulu terjadi saling bunuh membunuh untuk saling mempertahankan dan memperebutkan wilayah. Padahal ada tertulis jangan membunuh yang bisa dijabarkan menurut selera kita. Kita diwajibkan menghormati bapak dan ibu kita, yang bisa dijabarkan sebagai orang tua yang melahirkan kita. Namun disisi lain mungkin bisa juga bapak ibu angkat yang memelihara kita, atau malahan bapak tiri atau ibu tiri yang mengasuh kita. Atau bisa juga kita menjadi anak masyarakat atau anak negara yang berkewajiban memelihara kita, sampai pada batas waktunya.

Batu sandungan yang sering dialami adalah mencoba menjabarkan secara rinci, yang kadang-kadang malah melenceng dari inti ajaran tersebut. Kita mengenal ajaran tentang jangan bersaksi berdusta, namun di Jawa ada istilah dora sembada yang kurang lebih berdusta demi kabaikan. Jangan-jangan penjabaran yang seperti itu yang menjadi tanda tanya bagi penulis sampai saat ini, mana ajaran inti Allah dan mana yang ditambahkan oleh manusia.

Dalam benak penulis muncul pemikiran bahwa Tuhan Yesus lebih menekankan perbuatan nyata daripada wacana yang diomongkan dan ditulis saja. Dan itu berlaku bagi siapa saja, beragama atau tidak beragama, tahu Kitab Sucinya atau tidak sama sekali. Perbuatan nyata yang didasari semangat cinta kasih dalam kebenaran dan kebaikan. Dan itu sepertinya begitu universal yang hampir semua orang tahu dan mengerti. Maka setiap insan yang berani mengaku sebagai orang beragama, hidupnya harus lebih benar dan lebih baik, selaras antara pikiran, perkataan dan perbuatan.

Ada satu hal yang perlu kita renungkan tentang “sebelum semuanya terjadi” yang bagi penulis berarti sampai akhir Tuhan Yesus berkarya nyata di dunia. Memang pada waktu itu belum ada Kitab Suci Perjanjian Baru, dan masih berpegang kepada Taurat dan Kitab para nabi. Tuhan Yesus kelihatannya akan melakukan penyempurnaan inti ajaran yang sepertinya mendua atau dapat ditafsirkan macam-macam, menjadi lebih simpel namun tegas. Dan ajaran iman dan perbuatan tersebut tertulis di Kitab Suci Perjanjian Baru. Jika tidak percaya dipersilahkan untuk membaca Perjanjian Baru sampai selesai dan merenungkannya.

5:21. Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. 5:22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. 5:23 Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, 5:24 tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. 5:25 Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 5:26 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.
Ajaran jangan membunuh yang ada di dalam Taurat, kelihatannya lebih dijabarkan atau diperjelaskan lagi oleh Tuhan Yesus. Membunuh bukan hanya berarti membikin orang mati secara phisik dan tidak hidup lagi. Membunuh dapat berarti banyak sekali; mulai dari kemarahan, perkataan menghina (kafir), mempermalukan orang lain dan perbuatan yang dapat “mematikan” kehendak, kreativitas, harapan, ide-ide, rezeki orang lain dan jenis-jenis lainnya lagi. Orang tersebut pasti masih mengingat perlakuan yang dikenakan terhadapnya. Dalam hukum sehari-haripun seseorang dapat mununtut ke pengadilan kepada orang yang telah “berbuat yang tidak menyenangkan” terhadapnya.

Tuhan Yesus menegaskan, sebelum kita menghadap-Nya, entah di Gereja entah dalam doa, agar berdamai dahulu dengan orang yang telah kita “matikan” tersebut. Tuhan Yesus mengajak kita untuk pemurnian hati dengan sepenuh jiwa sebelum menghadap-Nya. Segala kemarahan, perkataan dan perbuatan yang mematikan tersebut harus ditebus lebih dahulu sampai lunas, sehingga yang bersangkutan menganggap impas dan tidak ada ganjalan dalam hati. Saling berdamai! Berarti tidak ada permusuhan sama sekali. Hidup rukun, aman damai, sejahtera dan sentosa. Inilah surga sejati di dunia yang sebenarnya didambakan oleh hampir semua orang. Pertanyaannya, mengapa tidak ada damai di dunia ini?

Penulis malah bertanya-tanya, apa yang terjadi apabila kita menghadap Tuhan dalam keadaan diisi dendam, sakit hati dan sejenisnya. Atau sebaliknya, bahwa masih banyak orang lain yang sakit hati kepada kita dan kita tidak menyadarinya. Jangan-jangan Tuhan memalingkan muka atau menegur kita, agar berdamai dahulu. Sayangnya, teguran Tuhan seringkali tidak kita dengar secara jelas, walaupun mungkin suara tersebut bergaung dalam hati nurani yang terdalam.

Namun kata “jahil” ini yang menakutkan bagi kita semua, balasannya api neraka yang bernyala-nyala. Kelihatannya para hierarki atau ahli Alkitab perlu menjelaskan secara gamblang tentang arti jahil ini dari bahasa aslinya. Sebab kata jahil ini bagi sekelompok orang atau masyarakat merupakan ungkapan yang biasa diucapkan. Jangan-jangan para hierarki ikut andil dan ambil bagian sewaktu saudara kita terperosok ke dalam neraka, hanya karena kata jahil. Ungkapan jahil bagi orang Jawa lebih mendekati usil, mencari-cari sesuatu yang dapat merugikan orang lain. Tangannya jahil, mulutnya jahil. Penulis tidak tahu apakah kata jahil tersebut diambil dari kata jahilliyah (?) yang mungkin kurang lebih tidak mengenal Allah. Tidak percaya kepada Allah atau menyepelekan Allah, ekstrimnya meniadakan Allah, barulah dapat diterima jika hukumannya api yang menyala-nyala.

Pada dasarnya semua orang tidak mau masuk neraka, dan anehnya semua orang ingin masuk surga namun tidak siap untuk mati. Padahal untuk ke sana harus melalui kematian yang tidak bisa ditolak. Mungkin kekawatiran itu muncul karena jangan-jangan ...... api yang menyala-nyala malahan menunggu. Aneh kan?

Kita diajar untuk berani berkata “maaf” dengan tulus hati, sekecil apapun kesalahan tersebut. Termasuk pelajaran berat sekali untuk tidak marah, iri dengki yang dapat berkembang menjadi benci, antipati sampai mematikan orang lain. Inilah ajaran kasih yang diajarkan Tuhan Yesus. Kalau ajaran kasih ini kita amalkan bersama-sama, mestinya dunia ini bisa penuh dengan kedamaian. Tetapi nyatanya .... .....?

Yang namanya sakit hati, dendam karena “dibunuh,” sekecil apapun, mau tidak mau akan menimbulkan benih rasa benci, yang dapat bertumbuh menjadi ingin membalas, simpati dan empati menjadi antipati. Buahnya membalas ingin mematikan, kalau bisa. Perlu perjuangan panjang dan butuh proses waktu untuk mengubahnya menjadi mengampuni dan memaafkan. Mungkin perlu memahami doa Bapa kami dengan kebeningan hati.

5:27. Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. 5:28 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. 5:29 Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. 5:30 Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. 5:31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. 5:32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.
Disini Hukum Taurat juga diuraikan lebih dalam, atau malahan dikembalikan pada inti ajaran. Berzinah melalui mata dan anggota tubuh lainnya dan masuk ke dalam hati pikiran kita, sudah berbuat dosa. Kebanyakan kita pasti pernah merasakan bagaimana melihat wanita cantik atau pria tampan. Pikiran kita melayang yang lebih jauh dengan berandai-andai, sampai kepada keinginan dalam hati apabila bisa memilikinya. Kelihatannya kita sudah disebut sebagai penzinah, dan disuruh mencungkil mata kita atau memotong tangan kita. Secara tidak langsung Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita untuk setia dan mengasihi tubuh kita ini. Bagaimana jadinya kalau mata dicungkil atau tangan dipotong, biarpun hal tersebut lebih dimaksudkan sebagai ungkapan. Tuhan Yesus mengharapkan kita menjadi orang yang seutuhnya bersih mulus, murni lahir batin dan dapat melihat bahwa semua manusia pada dasarnya cantik dan tampan. Kita hanya dapat memuji, alangkah indahnya ciptaan Tuhan.

Topeng kedagingan yang menutupi roh-lah yang membedakan seseorang cantik atau tampan dan yang lainnya kurang. Dan nyatanya kecantikan itu sendiri sangat subyektif yang mungkin sangat dipengaruhi oleh tempat, situasi, kondisi maupun budaya. Sering kali kita mendengar bahwa kulit putih hidung mancung wajah setengah bule itu cantik menurut kita. Namun ada juga orang bule yang mengatakan kulit coklat kepanasan, hidung tidak mancung malah lebih cantik. Operasi plastik zaman sekarang ini bisa merubah tubuh, warna kulit dan wajah. Namun tetap tidak bisa merubah hati, jiwa dan akal budi, jika yang bersangkutan tidak merubah diri sendiri.

Setiap orang pasti mempunyai kelebihan, disamping kelemahan atau kekurangan. Pada umumnya kelebihan atau kekuatan yang ditonjolkan, sedangkan kekurangannya dicoba untuk disembunyikan. Jangan-jangan kekurangan itulah yang malahan mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang tertentu. Mungkin diperlukan usaha tertentu, bagaimana kekurangan diproses menjadi suatu kekuatan, sehingga rasa percaya diri meningkat. Semakin orang menjadi dewasa, maka mereka akan menilai kecantikan tersebut dilihat dari pancaran yang keluar dari orang yang kita nilai. Pancaran dan aroma yang dibuat oleh hati, jiwa dan akal budi, yang terungkap melalui tingkah laku sehari-hari

Penulis belum tahu bagaimana seorang buta “melihat” lawan jenisnya. Apakah disini yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus, bahwa tanganpun dapat berbuat zinah? Zinah sepertinya dapat dilakukan melalui pikiran, perkataan dan perbuatan nyata. Pelecehanpun jangan-jangan bagian dari zinah. Penulis betul-betul kagum dan hormat kepada seorang perempuan cantik yang tetap mendampingi dan melangsungkan pernikahan dengan calon pacarnya, yang mengalami kecelakaan pesawat, dimana setelah operasi berkali-kali wajah dan tubuhnya menjadi berbentuk tidak karuan. Orang sering menyebut seperti monster, padahal belum pernah sekalipun melihat dan apa itu monster.

Selanjutnya Tuhan Yesus menegaskan bahwa suami tidak boleh menceraikan isterinya, kecuali si perempuan telah berbuat zinah. Begitu juga orang yang mengawini perempuan yang telah diceraikan tersebut, juga akan dianggap berbuat zinah. Betapa berat tanggungan laki-laki yang meninggalkan isterinya tersebut, termasuk yang akan mengawininya kemudian. Disini Tuhan Yesus betul-betul menekankan betapa sakral nilai suatu perkawinan. Kita diminta untuk berpikir seribu kali sebelum melaksanakan suatu perkawinan, karena perkawinan harus dibawa sampai mati, apapun yang akan terjadi di dalam perjalanan hidup. Kita diminta untuk betul-betul menyadari akan arti perkawinan dengan segala macam risiko problem rumah tangga. Rumah tangga bukanlah proyek coba-coba, karena keduanya telah memilih pilihannya sendiri dan siap menghadapi gelombang kehidupan, untung atau malang.

Keterbukaan dari awal, saling mengetahui dan menyadari kekurangan dan kelebihan, kelihatannya perlu dilakukan. Tidak ada seorangpun yang sempurna dan menjadi pilihan ideal. Setiap orang diciptakan dengan keunikannya masing-masing. Unik ketemu unik dan bersatu, akan membentuk keunikan baru dalam keluarga tersebut. Memang perlu adaptasi dari kedua belah pihak, yang memerlukan waktu untuk saling mengerti. Bisa sebentar bisa lama, tergantung mereka berdua untuk menyadari dan memaklumi pasangannya. Apabila segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki keluarga tersebut dipersatukan dan diolah dengan bumbu cinta-kasih, mestinya akan menjadi baik.

Permasalahan yang selalu muncul adalah, setiap orang mencari dan menonjolkan kesalahan pasangan dan secara tidak langsung mengemukakan benarnya masing-masing. Bukan sebaliknya, dengan mengemukakan salah dan kekurangan diri sendiri masing-masing. Jika berani mengemukakan kekurangan, maka pasangan tidak perlu memojokkan karena sudah diakui sendiri. Selanjutnya akan timbullah senyum di dalam diri kita. “Iya ya, dia kan pilihanku sendiri yang harus aku sadari bahwa tidak ada yang sempurna.” Dalam keadaan apapun tetap bersatu karena sudah menjadi pilihannya. Sakramen pernikahan adalah janji suci dari kedua belah pihak. Rasanya, sebenarnya disaat setelah menikah kita baru belajar untuk mengasihi pasangan. Saat-saat pendekatan sebelumnya barulah mencintai dengan segala macam persyaratan. Aku mencintai dia karena ..... begini dan begitu. Mencintai yang secara tidak langsung ingin memiliki, ingin menguasai karena ada suatu yang menarik perhatian. Jika tidak seperti yang aku harapkan, lebih baik pisah. Kadang-kadang penulis merasa kasihan kepada Allah. Sewaktu menikah sering mengatakan sudah kehendak Allah dia itu jodohku; namun sewaktu ingin berpisah berujar lagi bahwa sudah kehendak Allah dia bukan jodohku.

Kelihatannya Tuhan Yesus pada waktu itu mengajar hanya untuk kaum laki-laki saja. Apakah hal tersebut ada hubungannya dengan budaya bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagi ibu rumah tangga? Dan semua itu sudah kodratnya yang tidak bisa disangkal lagi? Laki-laki dengan kodratnya yang mempunyai kelebihan dan kekurangan, demikian juga perempuan dengan kodratnya yang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tidak ada sisipan tentang bagaimana sikap seorang perempuan yang baik dan benar. Ataukah sebenarnya yang diajarkan tentang zinah saja, kemudian dijabarkan oleh Matius sesuai budaya yang berlaku.

Bagaimana dengan laki-laki yang merasa perempuan atau perempuan yang merasa laki-laki? Mungkin disinilah perjuangan diri melawan kehendak dari dalam, walaupun sudah kodrat. Zaman sekarang sudah umum melawan kodrat, namun tetap dengan risiko tidak akan bisa menjadi laki-laki sejati atau wanita sejati. Mungkinkah suatu ketika nanti hal tersebut dapat diatasi dengan rekayasa kedokteran?

5:33. Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. 5:34 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, 5:35 maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; 5:36 janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun. 5:37 Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.
Jangan bersumpah, jika ya katakan ya dan jika tidak katakan tidak. Kitapun dilarang untuk bersumpah demi apapun. Kita diajar untuk menjadi orang yang Jujur bukan pembohong. Mungkin dalam kehidupan sehari-hari kita sering “berbohong” biarpun kecil-kecilan, dengan alasan agar tidak terjadi percekcokkan ataupun karena keberpihakan yang lebih menguntungkan. Harus penulis akui bahwa pernah berbohong dengan isteri sewaktu membeli burung perkutut. Harga Rp. 50.000,- mengaku hanya Rp. 10.000,-. Hal itu masih untung tidak dijual oleh isteri untuk memperoleh keuntungan. Coba kalau dijual antara Rp.20.000,- sampai Rp. 40.000,-. Kan sudah menguntungkan menurut isteri! Kedagingan inilah yang membuat kita merasa sangat sukar untuk mengatakan ya atau tidak dengan ketegasan. Kita diajak untuk berani tegas mengatakan ya atau tidak dengan segala risiko. Sering kita berlindung dibalik ungkapan Jawa “dora sembada”. Berkata tidak sesuai dengan kenyataan dengan alasan agar tidak terjadi perselisihan, atau yang dapat menimbulkan peristiwa lebih besar. Ketidak tegasan berarti si jahat sudah menang satu langkah. Seringkali kita sudah menduga terlebih dahulu, jangan-jangan ........, daripada .... .

Dalam kebiasaan sehari-hari, sering kali kita mendengar seseorang secara tidak sadar berkata dalam sumpah “Demi Allah.” Padahal sumpah demi apapun supaya dihindarkan, apakah demi langit, demi bumi, demi Yerusalem ataupun demi kepala sendiri.

Sebagai permenungan, sewaktu membuat tanda salib kita sering mendengar kata-kata “Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”. Kalau kalimat tersebut kita singkat dapat menjadi Demi Allah yang konotasinya lebih mendekati sumpah. Demikian juga dengan “Atas nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.” Jika disingkat dapat menjadi Atas nama Allah yang konotasinya seperti mewakili Allah dalam segala hal. Mungkin para hierarki gereja perlu menjelaskan kata-kata atau kalimat yang baik dan benar sewaktu membuat tanda salib. Kita memang masih bisa berlindung atas nama budaya, bahasa dan adat istiadat. Jangan-jangan kita ini memang senang menambah-nambah dari kata aslinya, biar lebih sreg dan manteb. Mungkin kita pernah mendengar ungkapan ngrungokke, niteni, nirokke, nambahi, ngurangi. Mendengar, menandai, meniru, menambah dan mengurangi.

Sepertinya makna membuat tanda salib dengan benar tidak pernah diajarkan oleh gereja, sehingga setiap orang boleh berkreasi bebas sesuai kebutuhan. Semuanya tergantung dari seniornya, entah itu orang tua atau katekis atau bahkan pastornya. Karena sudah dianggap biasa, maka nilai-nilai rohani dan sakral menjadi luntur. Pasti pernah ada ajaran atau perintah gereja dalam hal membuat tanda salib khas katolik. Paus Innocent III (1198–1216) mungkin salah satu yang pernah menginstruksikan dan memaknai pembuatan tanda salib.

Penulispun pernah mendengar cerita dari seorang pastor dari Itali, bahwa kata dalam tanda salib “dan” pernah menjadi salah satu gara-gara untuk memutuskan hubungan gereja barat dengan gereja timur.

5:38. Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. 5:39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. 5:40 Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. 5:41 Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. 5:42 Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.
Mata ganti mata, gigi ganti gigi kelihatannya ajaran Taurat yang begitu kejam dan harus dibalas yang setimpal. Hal tersebut sepertinya menjadi kewajiban, yang mungkin didasari jangan sampai diinjak-injak oleh orang lain. Penindasan harus dilawan agar mereka dapat menghargai hak orang lain dan lebih manusiawi dalam bertindak. Sejarah peperangan bangsa Israel sewaktu memasuki tanah terjanji, dikelilingi oleh bangsa-bangsa lain yang ingin mengusirnya bisa menjadi salah satu alasan.

Pada zaman penjajahan Romawi, sepertinya ada kewajiban bagi orang Yahudi untuk mengantar membawa barang penguasa sejauh berkisar satu mil. Selanjutnya akan digantikan orang lain sejauh satu mil, dan begitu seterusnya. Untuk menarik simpati bahwa kita ikhlas, Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita mengalah untuk mengantar sampai dua mil. Demikian juga dengan pakaian yang diinginkan orang lain. Jika direnungkan kadang-kadang lucu dan menggelikan; di lemari banyak pakaian malahan ada yang sudah tidak disentuh lagi. Yang kita pakai hanya satu stel yang kita sukai, padahal banyak orang yang kekurangan pakaian. Apa yang akan kita perbuat?

Namun Tuhan Yesus mengajarkan kelembutan yang bukan main mengagetkannya. Belajar untuk berani mengalah, rendah hati, sabar hati tanpa dipengaruhi emosi yang meledak-ledak. Di ajaran awal kita diajak untuk selalu dapat melihat dan menjadi anak-anak Allah. Jika kita betul-betul menjadi anak-anak Tuhan, dalam ketidak berdayaan kita, maka Tuhan sendiri yang akan menolong kita. Tuhanlah Sang Maha Hakim yang akan memberikan jalan keluar dan keadilan bagi kita maupun bagi penindas kita.

Masih ada suatu ajaran yang sulit yang harus kita lakukan. Menjadi orang yang murah hati dengan rasa keikhlasan yang tinggi. Sering kali kita berpikir dua kali, apa untung ruginya untuk dapat memberi dengan ikhlas, atau meminjamkan sesuatu kepada orang lain. Pikiran “jangan-jangan ….” selalu menjadi batu sandungan, dan akhirnya kita memilih-milih siapa yang akan kita bantu, apabila kita mampu menolong mereka. Ajaran di atas memang ajaran Illahi yang betul-betul sulit untuk dilaksanakan. Penulis harus mengakui hal tersebut dan kita masih bisa bersilat lidah untuk pembenaran diri. Satu hal kita lupa dengan ungkapan tidak ada seorangpun penderma yang menjadi jatuh miskin karena berderma. Kita juga sering lupa mengapa mereka meminta dan meminjam kepada kita. Di mata mereka, kita dianggap mempunyai nilai lebih yang layak untuk diminta dan dipinjam. Jika dianggap sama dan selevel, maka mereka tidak akan meminta atau meminjam. Di sini kita berpikir positif bahwa mereka bukan pemeras dan perampok. Secara umum sebenarnya tidak ada orang yang ingin jatuh miskin, kecuali karena niat dan kaul miskin. Tanpa prasangka buruk, kita bisa melihat seorang imam yang berkecukupan menurut pandangan kita, walaupun kita mendengar bahwa dia melakukan niat dan kaul selibat, melarat serta taat. Kita masing-masing kan masih bisa menjabarkan istilah selibat, melarat dan taat sesuai selera pribadi.

Kata-kata kalimat di atas menurut penulis adalah kata-kata Illahi, karena susah bagi manusia untuk melakukan hal tersebut. Tetapi itulah ajaran Tuhan Yesus yang harus kita lakukan, jika kita ingin selalu bersama-Nya. Ungkapan Jawa wani ngalah dhuwur wekasane, zaman sekarang ini diubah menjadi wani ngalah dhuwur rekasane.


5:43. Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. 5:44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. 5:45 Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. 5:46 Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? 5:47 Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? 5:48 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
Disini Tuhan Yesus merubah paradigma lama yang hanya mengasihi sesama kelompok, sesama agama atau sebangsa. Tidak mengherankan kalau bangsa Israel yang masih berpegang teguh kepada Kitab Suci Perjanjian Lama masih membenci musuh-musuhnya. Jangan-jangan perang di sana tidak akan pernah selesai, karena ajaran untuk membenci musuh. Tetapi Tuhan Yesus lebih tegas mengajarkan untuk mengasihi yang tanpa batas, termasuk “musuh-musuh kita.” Kita malahan diminta untuk mendoakan yang menganiaya kita. Suatu ajaran Illahi yang menakjubkan, karena pada dasarnya Tuhan, Allah Bapa kita adalah Sang Maha Kasih kepada siapapun, tanpa membedakan kepada yang benar maupun yang salah. Matahari dan hujan maupun yang lainnya diciptakan bagi siapa saja, tanpa terkecuali.
Sesuai ajaran-Nya, kita harus belajar memberi salam atau say hello kepada siapa saja yang kita temui. Masalah salam kita tidak diterima oleh yang bersangkutan, itu bukan lagi masalah kita. Kita sudah mencoba melaksanakan ajaran Tuhan Yesus, itu yang lebih penting. Jangan-jangan Tuhan sendiri selalu memberi salam kepada kita setiap waktu, namun sering kali kita abaikan salam-Nya. Pernahkah kita merasakan salam dari Allah?

Tuhan mengajar kita agar menuju ke sempurna seperti Bapa di sorga. Menjadi anak-anak Allah yang betul-betul berbeda dengan anak-anak dunia biasa. Kita menyadari bahwa menuju ke kebenaran dan kebaikan yang sempurna bukanlah hal yang mudah. Namun paling tidak kita diajar untuk berubah dan berubah menuju ke kesempurnaan. Dan batu sandungan sering muncul tanpa kita sadari, sewaktu kita membandingkan dan merasa bahwa kita lebih baik dari orang lain. Di sini kita akan kendor untuk berubah dan berubah menuju yang lebih baik. Kita memaklumi bahwa ajaran “Kasih” menjadi akar seluruh ajaran yang lain. Ada suatu lagu yang begitu bagus, kalau kita renungkan dan kita kembangkan : “Ajarilah kami Tuhan, bahasa cinta kasih ……………. “

Mungkin kalau dihitung tidak pernah ketemu dengan pas dan masih kurang, apa yang diharapkan Tuhan Yesus kepada kita. Berubah menjadi baik dan benar, mengasihi, mendoakan, jujur, mengalah, murah hati, ikhlas, tanpa pamrih, tidak membeda-bedakan, tidak mendendam, tidak cemburu, sabar, sederhana, lemah lembut, bijaksana, penolong, penyayang, pengampun, ..... dan masih banyak lagi, pokoknya yang positif.

“Aku berkata kepadamu ...” yang diucapkan Tuhan Yesus berkali-kali, menyiratkan betapa kuasa yang ada pada-Nya. Betapa Dia menjabarkan, menjelaskan dengan tegas dan menggenapi seperti yang Tuhan kehendaki. Sepertinya kita diharapkan untuk berubah dan berubah tanpa pernah bosan. Bukan berubah menjadi dewasa dan tua dalam umur, namun berubah menjadi lebih baik dan benar. Memang merubah kebiasaan atau paradigma bukanlah sesuatu hal yang gampang, jelas akan menimbulkan pro dan kontra. Jika ingin lebih maju, pada dasarnya ya harus siap berubah dan mulai melangkah ke depan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, suatu ungkapan yang pernah menggelora. Untuk mencapai suatu tujuan mulia, harus siap mengatasi segala macam rintangan dan hambatan, maju terus pantang mundur. Kita mungkin masih bisa mengingat sewaktu kebiasaan menghadiri resepsi pernikahan dengan membawa kado. Bertapa ramainya pro dan kontra sewaktu muncul perubahan menghadiri resepsi dengan membawa amplop berisi uang. Mungkin beberapa orang sekarang ini malahan menganggap aneh kalau kita datang membawa kado berisi barang pecah belah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar