Minggu, 29 November 2009

Memahami Matius Bab 18

Bab 18. Yang Terbesar, Kecaman, Nasihat dan Perumpamaan pengampunan

Siapa yang terbesar dalam Kerajaan Sorga
18:1. Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?" 18:2 Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka 18:3 lalu berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. 18:4 Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. 18:5 Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." 18:6 "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.
Sewaktu penulis masih kecil balita, yang masih teringat adalah kepasrahan dan kepercayaan kepada orang tua. Sewaktu bermain apapun, selama orang tua masih kelihatan, rasanya aman tidak ada kekuatiran karena ada sang pelindung. Begitu menoleh tidak kelihatan, mulailah rasa cemas mengalir bersamaan dengan mengalirnya air mata dan tangisan. Kenakalan anak kecilpun penulis alami. Mulai dari mencuri mangga tetangga, berkelahi, mengintip orang mandi dan lain-lainnya, penulis lakukan. Mencuri karena ingin makan mangga, berkelahi ingin menang atau ingin mengetahui sesuatu yang dilarang, didorong hanya oleh keinginan dan kegembiraan bersama teman. Namun demikian tidak ada perasaan bersalah atau dendam karena kalah.

Sama sekali belum mengenal Tuhan Yesus, tetapi sudah diberitahu bahwa ini salah ini betul, yang itu tidak sopan yang ini tidak boleh dan sejenisnya. Orang tua lebih menekankan atau mengajarkan yang dilarang atau dihindari, yang seringkali menimbulkan tanda tanya mengapa, namun tidak berani bertanya. Harus ini harus itu dan kata jangan lebih banyak dibanding dengan boleh ini boleh itu. Hal-hal yang dapat penulis ingat adalah kepolosan seorang anak kecil dalam bertindak tanpa rasa kuatir, merasa yang paling kecil dan kalahan kalau berkumpul dengan yang lebih dewasa dan siap disuruh oleh yang dewasa. Setiap kali bertengkar sampai menangis, beberapa saat kemudian sudah bersama lagi tanpa rasa dendam atau bersalah. Yang sudah ya sudah.

Semakin besar mulailah terekam masukan dari luar yang bermacam-macam. Mulai perasaan iri, ingin menang, tidak rela, dendam ingin membalas, senang jika lawan kena sial, dan lain sebagainya. Bagaikan komputer yang sudah diisi bermacam-macam program yang bagus dan jelek, termasuk segala macam virusnya. Untuk membersihkannya cukup susah, kecuali dimasuki anti virus yang canggih. Yang paling gampang adalah diinstall ulang seperti semula, segala isinya bersih, bagaikan kembali menjadi anak kecil.

Ajaran Tuhan Yesus untuk bertobat dan menjadi seperti anak kecil rasanya begitu berat. Pelajaran dalam hidup sehari-hari yang kita alami rasanya sangat menempel dan membekas, yang mendorong kita untuk selalu menoleh ke belakang. Kadang-kadang rasanya lebih gampang mengingat kekurangan orang lain daripada mengingat kelebihan orang lain, apalagi kalau kita dibuat sakit hati atau yang menyinggung perasaan kita. Ada orang yang berbicara sesuatu bukan untuk diri kita sendiri, namun kebetulan topiknya sama dengan yang kita hadapi, kita merasa disinggung dan langsung kita masukkan dalam memory otak kita. Disinilah sukarnya untuk menjadi seperti anak kecil lagi yang begitu pasrah, polos tanpa beban.

Seringkali kita menasihati anak dengan cara keliru dan menyesatkan, yang dapat menimbulkan rasa takut, rasa jijik, rasa curiga kepada orang lain maupun rasa-rasa lainnya yang dapat berpengaruh sampai dewasa. Anak-anak kecil ini bagaikan kumpulan masyarakat kecil yang sederhana, percaya dan pasrah kepada yang melindungi, yang lebih dewasa. Dan selalu kalah dalam segala hal oleh kelompok elite yang lebih “pandai.” Sering kali kita suka berkumpul dengan anak kecil yang lucu dan menyenangkan, namun sering kali juga merasa sebel menghadapi anak-anak kecil yang rewel sukar diatur.

Pertanyaannya, sudahkah kita bertobat seperti yang diharapkan Tuhan Yesus? Bertobat yang diikuti dengan berubah total, kembali seperti anak kecil yang begitu polos dan bersih dari pikiran jahat.

Kecaman kepada si penyesat
18:7. Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. 18:8 Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. 18:9 Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.
Kelihatannya ajaran atau kecaman ini begitu keras yang dapat mempunyai arti begitu luas. Kebenaran kelihatannya selalu berdampingan dengan kejahatan, dan kesesatan di dunia ini sepertinya “lebih menang” dibandingkan dengan kejujuran atau kebenaran. Tangan, kaki dan mata kitapun dapat menyesatkan kita dan lebih ekstrim lagi mungkin seluruh tubuh ini dapat menyesatkan kita dari kebenaran dan kebaikan. Paling tidak dari tangan ini kita dapat berbuat sesuatu yang tidak di kehendaki Tuhan. Melaksanakan sesuatu tersebut dapat dimulai dari langkah kaki yang mengajak. Demikian juga dari mata ini masuk ke dalam hati, merangsang untuk berbuat yang tidak baik. Dari mata turun ke kaki dan dikerjakan oleh si tangan.

Kehilangan kaki atau tangan atau mata adalah suatu “penderitaan” sampai mati. Kita akan cacat seumur hidup, yang mungkin tidak akan dipandang sebelah mata oleh orang lain. Kelihatannya Tuhan Yesus lebih menekankan bahwa lebih baik hidup dalam kebenaran walaupun penuh dengan derita dunia yang tiada habisnya. Cara sederhananya, kita harus berani mengekang, mematikan segala hawa nafsu yang menyesatkan, seindah apapun.

Tuhan Yesus menjanjikan bahwa “kehidupan yang akan datang” lebih dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Kita ditantang untuk memilih hasil atau upah yang akan datang, hidup kekal yang tak ternilai atau api neraka yang kekal, melalui kehidupan kita sehari-hari di saat sekarang ini.

Pilih yang seratus tahun di dunia ini, atau yang kekal tanpa batas? Sebagai manusia yang masih penuh kedagingan, biasanya kita akan memilih : lebih baik hidup dengan penuh kemewahan duniawi yang diberkati dan sewaktu mati masuk ke dalam kerajaan sorgawi.

Adakah kemungkinan itu? Namun Ayub-pun pernah mengalami penderitaan hebat dan setelah itu mengalami hidup kaya raya yang berlimpah-limpah. Yang penting, dapatkah kita hidup dalam kebenaran dan kebaikan penuh kasih sesuai ajaran Tuhan. Keselamatan jiwa atau roh lebih penting dan utama, namun demikian yang lain jangan diabaikan.

Perumpamaan tentang domba yang hilang
18:10 Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga. 18:11 (Karena Anak Manusia datang untuk menyelamatkan yang hilang.)" 18:12 "Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? 18:13 Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat. 18:14 Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang."
Tuhan Yesus mengajarkan untuk tidak pernah memandang rendah kepada siapapun, terlebih anak-anak kecil yang lemah, orang-orang kecil yang sederhana yang tidak pernah diperhitungkan. Dan nyatanya seringkali kita memandang rendah orang lain, biarpun tidak secara langsung. Kita merasa lebih dibandingkan mereka, dan menganggap mereka belum pantas untuk mendampingi atau mengganti kita. Kita sering lupa bahwa semuanya didampingi malaikat pelindungnya masing-masing. Kita lupa bahwa yang diatas kita masih banyak, yang mungkin juga merendahkan dan meremehkan kita. Betapa rasanya kalau kita diremehkan orang lain.

Kita lebih banyak lupanya atau malahan tidak perhatian sama sekali kepada domba yang hilang. Kiasan Jawa “ilangan-ilangan endhog siji” (lebih baik kehilangan telor satu) kelihatannya bertentangan dengan ajaran Tuhan Yesus. Kita lebih gampang menyerah untuk kehilangan yang satu dan merasa bosan ngurusi orang yang hilang tersebut. Apalagi kalau sudah membuat jengkel, menyebalkan atau malahan menyakitkan hati. Dari satu sisi, kita lebih segan menegur domba yang sesat, kalau kalau sakit hati dan semakin kabur, yang kadang-kadang dapat membuat domba-domba yang lain merasa dibedakan.

Ironisnya kadang-kadang kita malah berani berselisih paham dengan domba-domba yang masih di kandang, dengan anggapan mereka tidak lari walaupun tercerai berai. Kita lebih merasakan nikmatnya berkumpul dengan segolongan kita yang satu bahasa dan satu aliran daripada mengurusi saudara kita yang murtad. Kita merasa lebih menikmati kemapanan yang kita buat dengan sekelompok orang sealiran.

Pelajaran yang dapat penulis pahami adalah bagaimana menyelamatkan anak-anak domba yang hilang agar kembali ke kandang. Mengajak orang untuk berubah dan berubah menuju yang lebih baik. Yang sudah menjadi domba dipelihara kerukunannya, yang lepas tidak pernah kita lupakan, paling tidak dalam doa permohonan karena kita tidak akan mampu jalan sendiri tanpa Dia. Kelihatannya, persembahan yang paling besar dan berharga kepada Bapa di sorga adalah, membawa satu saja domba yang sesat kembali ke kandang Tuhan.

Allah Bapa mengharapkan agar tidak ada seorangpun yang lepas, biar jumlahnya bulat, atau utuh. Kurang satu berarti tidak utuh lagi, ada yang kurang pas. Agar kembali menjadi utuh dan bulat, maka yang hilang perlu dicari sampai ketemu. Jika perlu harus dilakukan dengan penuh pengorbanan, bekerja mati-matian. Alangkah puasnya jika semuanya kembali utuh dan bulat.

Tentang menasihati sesama saudara
18:15. "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. 18:16 Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. 18:17 Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.
Tuhan Yesus malah mengajarkan untuk berani menegor, namun dengan hati yang bersih. Tidak bisa sendiri ya mengajak para sesepuh. Masih belum bisa juga, ya terpaksa dibawa dalam dialog jemaat bagaimana sebaiknya. Tuhan Yesuspun tidak pernah memaksa seseorang harus selalu mengikuti Dia, walaupun tidak menghendaki seseorang terlepas dan masuk ke dalam kegelapan. Satu hal yang sulit di langkah awal adalah menegor, biarpun secara halus. Kita selalu berpikir jangan-jangan …… tersinggung, salah paham, sakit hati dan lain sebagainya. Apalagi jika tidak bisa membuktikan kesalahannya, baru mendengar kabar yang belum jelas kebenarannya. Lebih merasa sulit lagi apabila yang berbuat salah tersebut orang yang kita tuakan dan kita segani.

Bagi penulis, menegor tidaklah selalu dengan perkataan keras yang memojokkan dan akhirnya menghakimi. Menegor masih dapat dilakukan seperti Tuhan Yesus yang sering memberikan perumpamaan. Jika ngobrol berdua dengan cerita ungkapan atau ayat Kitab Suci tidak merasa, ungkapan tersebut masih bisa kita obrolkan bersama para sesepuh. Kalau perlu dibawa dalam renungan dan sembahyang sewaktu doa lingkungan. Sering kali obrolan ringan kehidupan sehari-hari dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana dapat membuka dialog yang lebih dalam. Pada saat-saat itu umumnya yang dibutuhkan bukan Alkitab namun solusi yang baik namun benar.

Jika tetap tidak sadar, berarti dapat kita simpulkan bahwa yang bersangkutan memang tegar tengkuk atau berkulit tebal. Kita tidak akan disalahkan oleh Tuhan, apabila sudah mencoba menasehati walaupun akhirnya tidak diterima. Mungkin di lain waktu kita coba kembali dengan penuh kesabaran.

Mungkin kita perlu mengenal adat dan karakter saudara-saudara kita yang berbagai macam suku. Ada kelompok yang terbuka dan bisa menerima perkataan keras tetapi benar dan baik. Namun ada juga kelompok yang hanya bisa menerima suara dan nada yang halus, ada juga yang sudah memahami dan mengerti kiasan tidak langsung bahwa itu peringatan. Berkomunikasi yang baikpun mungkin perlu dipelajari, agar setiap ucapan tidak menjadi sia-sia.


18:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga. 18:19 Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. 18:20 Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."
Janji Tuhan Yesus kepada para murid sepertinya menjadi suatu pendelegasian kuasa rohani di dalam Gereja. Emmanuel, Allah beserta kita, betul-betul disampaikan sendiri Oleh Tuhan Yesus, bahwa kita-kita ini yang mengaku pengikut Kristus adalah satu keluarga besar dan kepalanya Tuhan Yesus sendiri. Jadi kesepakatan dalam doa permohonan yang didasari niat yang sungguh-sungguh bersatu di dalam hati, jiwa dan akal budi penuh kepercayan, Allah Bapa selalu mendengarkan dan mengabulkan. Karena Tuhan Yesus pada waktu itu akan selalu bersama-sama dengan kita.

Pengabulan doa permohonan mungkin saja tidak seperti yang kita harapkan, namun tetap dikabulkan. Mungkin kita ini bagaikan pengemis yang memohon sedekah, inginnya seribu rupiah namun hanya diberi limaratus rupiah saja. Berterimakasihkah kita dengan yang limaratus rupiah tersebut ? Dan kalau kita berani jujur, sebenarnya kita memang sama sebagai pengemis tulen. Dalam setiap doa kita hampir tidak lupa untuk selalu meminta, dan memohon.

Berkumpul dalam nama-Nya, mestinya bukan nama atau ego kita masing-masing yang lebih kita tonjolkan. Dalam nama-Nya rasanya lebih tertuju kepada hal-hal yang rohani, yang menyatukan penuh damai dan kasih. Lebih tertuju kepada ajaran-Nya, Firman-Nya yang bisa kita baca dari Kitab Suci. Disitulah secara pribadi kita mulai merenungi diri apakah perbuatan kita sudah sesuai atau belum dengan kehendak-Nya. Perlukah pertobatan lahir batin? Bisakah kita bersyukur dan memberikan pujian atas segala apa saja yang sudah dan sedang kita alami? Apakah yang pantas kita minta kepada Tuhan pada saat itu?

Mari kita bayangkan sewaktu kita berkumpul dalam nama Tuhan Yesus, dan kita semua tiba-tiba dapat melihat-Nya. Tuhan Yesus berada di hadapan kita! Kira-kira apa yang akan kita perbuat? Lebih banyak mendengarkan Dia berbicara mengajar kita atau kita ngobrol sendiri, atau kita saling berkomentar akan ajaran-Nya? Mari kita renungkan sendiri-sendiri. Janga-jangan kita malah tidak ingat lagi akan apa yang mau kita mohonkan. Kita terpesona, kagum, kaget, bingung, bengong, tidak percaya karena seperti mimpi, tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Perumpamaan tentang pengampunan
18:21. Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" 18:22 Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
Bukan main susahnya! Mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali secara matematis sama dengan empat ratus sembilan puluh kali. Angka tersebut berarti sama saja dengan harus mengampuni tanpa batas tanpa bosan-bosannya. Memang kita diajar untuk harus bisa memahami dan memaklumi kelakuan dan perbuatan orang lain. Mengikat dan mengikat tanpa melepaskan. Kita diajak seperti Tuhan Yesus sendiri yang Maha Pengampun dan Maha Rahim. Mengampuni dapat dikatakan membersihkan diri sendiri dari rasa dendam, marah, sakit hati yang terpendam, sehingga tidak mempunyai musuh yang keluar dari hati kita. Pada saatnya nanti, pasti kita akan dengan mantap bisa mengikuti ajaran doa Tuhan Yesus “seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.”

Mungkin kita perlu merenungi diri, masih adakah di dalam relung-relung hati ini suatu ganjalan, sisa-sisa file memory tentang seseorang yang belum diampuni? Jika masih ada, siapkah untuk mengampuni dan membersihkan hati kita sendiri dari sisa kotoran tersebut? Adakah kerugian yang kita rasakan apabila kita mengampuni? Manfaat apa yang aku dapat bila aku mengampuni? Yang jelas kita akan terbebas dari luka batin yang selama ini mungkin malah kita pelihara. Jika yang mengganjal itu sudah kita keluarkan, maka kita akan merasa bebas dari beban, yang sebenarnya telah kita buat sendiri.

Memang tidak mudah mengampuni karena ego kita yang merasa tersakiti, merasa dilecehkan, dipermalukan dan sebagainya. Enak bener dia! Padahal tidak ada sesuatu apapun yang berkurang di dalam diri kita. Yang namanya sakit, maka perlu proses penyembuhan. Agar cepat sembuh, maka perlu dorongan dari dalam diri yang diiringi niat baik dan benar.

Rasa dendam bagaikan virus yang masuk ke dalam tubuh kita dan berusaha mengembangkan dirinya tanpa kita sadari. Dari virus dendam dan rasa iri, dia bisa mengembangkan dirinya menjadi dengki, benci, antipati sampai menginginkan sang lawan mati. Bagaimana cara kita mematikan atau menghilangkan virus dendam tersebut? 490X !!!

18:23 Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. 18:24 Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. 18:25 Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. 18:26 Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. 18:27 Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. 18:28 Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! 18:29 Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. 18:30 Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. 18:31 Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. 18:32 Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. 18:33 Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? 18:34 Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. 18:35 Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu."
Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa Allah Bapa adalah Maha Pengasih dan Maha Pengampun kepada siapapun yang memintanya. Maka dari itu kitapun diajak untuk seperti Dia, yang mau mengampuni kepada siapapun. Seberapapun besar kesalahan orang tetap akan diampuni oleh Tuhan. Belas kasihan menjadi bagian penting dalam kehidupan di dunia ini. Namun harus kita akui, karena kedagingan kita, kita lebih sering menuntut hak kita yang disebabkan oleh kesalahan kecil seseorang kepada kita. Kita rasanya lebih sering lupa bahwa kalau dikumpulkan, maka jangan-jangan kesalahan kita kepada Tuhan lebih besar dari yang kita bayangkan. Kesalahan orang lain kepada kita mungkin hanya satu dua saja dan begitu sederhana.

Jika kita bayangkan sepuluh ribu talenta hutang kita kepada Tuhan, berapa ratus atau ribu kali lipat dibandingkan dengan seratus dinar hutang orang lain kepada kita? Mungkin bisa kita bayangkan bahwa perbandingan kesalahan tersebut bagaikan sebongkah batu besar dengan sebiji pasir atau kerikil.

Dan hebatnya Tuhan tetap mau mengampuni kesalahan dan dosa kita, seberapapun besarnya, apabila kita juga mau mengampuni kesalahan orang lain, sekecil apapun kesalahan mereka. Hal ini mengingatkan kita pada doa “Bapa kami” yang diajarkan Tuhan Yesus. Bapa di sorga akan membalas kita, apabila kita tidak mau mengampuni, dengan tidak akan mengampuni kita juga. Pertanyaannya, siapkah kita ini mengampuni orang yang “bersalah” kepada kita, disengaja ataupun tidak disengaja? Kelihatannya dendam dan iri dengki merupakan batu sandungan yang sangat berbahaya dalam perjalanan kehidupan kita.

Kerajaan Sorga hanya akan dikaruniakan Tuhan kepada orang-orang beriman, yang dengan tulus ikhlas berani mengampuni orang lain yang bersalah kepadanya. (7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar