Minggu, 29 November 2009

Memahami Matius Bab 22

Bab 22. Perumpamaan, Pajak kepada Kaisar, Kebangkitan, Hukum Utama, hubungan Tuhan Yesus dan Daud

Perumpamaan tentang perjamuan kawin
22:1. Lalu Yesus berbicara pula dalam perumpamaan kepada mereka: 22:2 "Hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja, yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya. 22:3 Ia menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang yang telah diundang ke perjamuan kawin itu, tetapi orang-orang itu tidak mau datang. 22:4 Ia menyuruh pula hamba-hamba lain, pesannya: Katakanlah kepada orang-orang yang diundang itu: Sesungguhnya hidangan, telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini. 22:5 Tetapi orang-orang yang diundang itu tidak mengindahkannya; ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya, 22:6 dan yang lain menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya. 22:7 Maka murkalah raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota mereka. 22:8 Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu. 22:9 Sebab itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu. 22:10 Maka pergilah hamba-hamba itu dan mereka mengumpulkan semua orang yang dijumpainya di jalan-jalan, orang-orang jahat dan orang-orang baik, sehingga penuhlah ruangan perjamuan kawin itu dengan tamu. 22:11 Ketika raja itu masuk untuk bertemu dengan tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta. 22:12 Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta? Tetapi orang itu diam saja. 22:13 Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi. 22:14 Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih."
Yang dapat penulis pahami adalah bahwa Raja adalah Allah Bapa sendiri, sedang sebagai pengantin prianya adalah Tuhan Yesus Kristus yang adalah Allah Putera. Sudah sejak awal Tuhan mengutus para nabi untuk mewartakan Kerajaan Sorga, namun banyak orang tidak peduli. Malahan banyak nabi yang dibunuh karena “menggangu” kepentingan mereka di dunia ini. Kelihatannya hal tersebut ditujukan pertama kali kepada bangsa Yahudi, bangsa yang dipilih Tuhan. Bangsa yang mendapatkan undangan khusus. Sampai sekarangpun mereka tidak percaya akan Yesus Kristus.

Karena ketidak-pedulian mereka, maka Tuhan mengundang bangsa-bangsa lain yang mau menerima undangan tersebut. Bangsa-bangsa lain yang tadinya dianggap penyembah berhala dan tidak mengenal Allah. Undangan Tuhan berlaku bagi siapa saja, orang-orang jahat dan orang-orang baik yang mau dan siap menjadi “mempelai Tuhan Yesus.” Untuk itu semua, orang yang ingin datang harus sudah “berpakaian pesta” sebagai ungkapan menyiapkan diri secara pantas secara rohani, lahir batin, melalui pertobatan dan berubah menjadi manusia baru yang cemerlang karena kasih dan suka cita.

Siapapun yang ingin datang dan bergabung, tetapi tidak menyiapkan diri secara bersih dengan pakaian pesta, akan ditolak oleh Tuhan. Bisa kita bayangkan bagaimana kita menyiapkan pakaian yang pantas untuk menghadiri pesta pernikahan. Kalau perlu dimasukkan ke binatu agar tidak kumel dan bau apek. Kadang-kadang sudah dipakai dicopot lagi karena merasa kurang serasi, kurang cocok dan sebagainya. Mengambil yang lain lagi yang dirasakan paling cocok. Lha kalau yang mengundang presiden atau gubernur? Jangan-jangan membeli baru yang serasi dengan pasangan kita, belum lagi uba rampe minyak wangi dan salonnya.

Sebenarnya Allah Bapa ingin mengundang semua orang tanpa kecuali, untuk memenuhi Kerajaan Sorga yang sudah disediakan. Semuanya tergantung kita, apakah mau berubah dan “siap” datang atas undangan-Nya pada perayaan pesta tersebut. Semuanya mau menerima undangan-Nya dengan catatan, namun yang memprihatinkan lha koq hanya sedikit yang datang. Dan hanya mereka saja yang telah siap lahir batin yang akan dipilih.

Yang namanya pesta, mestinya suatu perayaan yang penuh dengan kegembiraan, kebahagiaan, nyanyian dan tarian. Penuh puji-pujian betapa agung dan indahnya Sang Pengantin. Yang namanya menghadiri pesta pernikahan, mestinya datang dengan pakaian yang layak karena akan ikut bersukacita bersama, bukan memamerkan dukacita dan derita.

Kerajaan Sorga akan dikaruniakan Tuhan kepada orang-orang beriman yang mau menerima undangan-Nya dan siap datang dengan pakaian pesta. (9)

Tentang membayar pajak kepada Kaisar
22:15. Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. 22:16 Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: "Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. 22:17 Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" 22:18 Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: "Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? 22:19 Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu." Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. 22:20 Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" 22:21 Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." 22:22 Mendengar itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi.
Kaum Herodian kalau tidak salah kelompok pengikut turunan Herodes yang ingin melepaskan diri dari penjajahan tentara Romawi. Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun rasanya sering mencobai orang lain, kadang dengan pertanyaan dimana jawabannya sudah kita ketahui. Kita berkata memuji dan mengangkat sebagai pembuka pembicaraan yang kalau bisa nanti kita jerembabkan. Kita ingin menjebak dan membuat malu kepada orang lain yang menjadi sasaran kita. Namun, jangan-jangan kita yang akan terperangah dan malu dengan diri sendiri. Mengapa? Karena hanya kita atau kelompok kita saja yang tahu akan jebakan tersebut.

Secara tidak langsung, Tuhan Yesus mengajarkan secara tegas agar kita patuh kepada norma, aturan, tata tertib dari pemerintah dimana kita berada, karena kita bagian dari mereka. Sebagai bagian dari masyarakat, mau tidak mau kita harus tunduk dengan segala kewajiban yang telah disepakati bersama dalam masyarakat tersebut. Kewajiban duniawi ini menjadi bagian dari kehidupan kita, dan kalau aturan atau norma itu belum sesuai dengan keinginan masyarakat banyak, ya tinggal merevisi sesuai keinginan bersama. Menjadi warga masyarakat yang baik dan juga menjadi warga gereja yang baik, dengan mengikuti segala macam aturan yang telah ditetapkan. Dari sisi rohani dan kepercayaan kita, kitapun diminta untuk patuh, setia kepada aturan atau kehendak Tuhan melalui gerejanya.

Tuhan Yesus tidak mau terjebak dan membicarakan masalah politik yang ujung-ujungnya rebutan kekuasaan duniawi. Buntutnya selalu ingin berkuasa dan memerintah orang lain, dengan segala macam topeng pembenaran diri atau kelompok. Lha masalahnya kan bangsa kita ini sedang dijajah? Jawabnya dengan pertanyaan lagi, mengapa sampai dijajah? Mengapa dan mengapa dan mengapa, pada ujungnya nanti akan terlihat inti persolan. Sebab musabab segala kejadian yang dialami dalam hidup ini, entah menyenangkan atau sebaliknya, terpulang kepada pemikiran kita masing-masing.

Pertanyaannya, bagaimana menyatukan atau menyelaraskan kehendak duniawi ini dengan kehendak sorgawi? Mungkin kembali lagi bahwa kita harus cerdik, tulus dan waspada.

Pertanyaan orang Saduki tentang kebangkitan
22:23. Pada hari itu datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang berpendapat, bahwa tidak ada kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya: 22:24 "Guru, Musa mengatakan, bahwa jika seorang mati dengan tiada meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. 22:25 Tetapi di antara kami ada tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin, tetapi kemudian mati. Dan karena ia tidak mempunyai keturunan, ia meninggalkan isterinya itu bagi saudaranya. 22:26 Demikian juga yang kedua dan yang ketiga sampai dengan yang ketujuh. 22:27 Dan akhirnya, sesudah mereka semua, perempuan itupun mati. 22:28 Siapakah di antara ketujuh orang itu yang menjadi suami perempuan itu pada hari kebangkitan? Sebab mereka semua telah beristerikan dia." 22:29 Yesus menjawab mereka: "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah! 22:30 Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga. 22:31 Tetapi tentang kebangkitan orang-orang mati tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah, ketika Ia bersabda: 22:32 Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup." 22:33 Orang banyak yang mendengar itu takjub akan pengajaran-Nya.
Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan di dunia dengan segala aturan budaya yang berlaku, sangat jauh berbeda dengan kehidupan di sorga. Papan minulya kang tanpa siksa atau alam padang atau tempat yang mulia yang tanpa siksa merupakan tempat bagi orang-orang yang dibangkitkan karena perkenan Allah. Semuanya hidup bagaikan malaikat di sorga. Mungkin suasana yang ada hanya kebahagiaan penuh kasih, setiap waktu menyembah serta memuliakan Allah. Roh atau jiwa mereka sudah bersih dari segala “kekotoran” yang pernah dialami sewaktu di bumi, karena kuasa Allah. Mungkin inilah yang disebut pemurnian roh, dicuci bersih dari segala pikiran kedagingan. Yang jelas susah dibayangkan karena memang belum pernah ke sana.

Kita selalu berpikir dan membayangkan sorga sesuai dengan nalar alam pikiran kita. Kalau kita penyayang binatang, maka sorga akan kita bayangkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan segala macam binatang yang rukun hidup bersama. Kicauan burung dan suara binatang menghiasi keindahan yang ada. Kalau kita penikmat kehidupan alam ini, maka sorga kita bayangkan sebagai tempat yang indah mempesona, air sungai yang bening mengalir ke laut jernih, lembah dan gunung yang menghijau dan beraneka warna. Lha kalau kita penikmat kecantikan dan ketampanan, maka sorga kita bayangkan sebagai tempat yang penuh dengan bidadara dan bidadari yang selalu melayani dan menemani kita, dan sebagainya.

Mungkin juga kita pernah mendengar atau membaca pengalaman orang yang pernah “mati” sebentar dan hidup lagi. Pengalaman roh sewaktu meninggalkan tubuh begitu bermacam-macam. Banyak dari mereka menceritakan bagaimana “surga” yang pernah dilihatnya. Menurut pendapat penulis yang belum pernah mengalami, surga adalah papan mulia yang tanpa batas. Apabila benar, yang pernah mengalami melihat surga pasti baru menjelajah di sebagian kecil sekali dari apa yang disebut surga. Mereka sering berbeda pengalamannya, karena tempat mampirnya berlainan.

Jangan-jangan semua orang kudus di sorga menginginkan dan mengharapkan untuk diutus menemui kita manusia ini. Menemui kita untuk mengingatkan tentang kehidupan setelah mati yang dikehendaki Allah. Permasalahannya, siapkah kita bertemu dengan yang kudus? Bisakah kita membedakan yang kudus dengan yang tidak kudus? Percayakah kita dengan apa yang disampaikannya, apa lagi jika berbeda dengan dogma yang kita percayai selama ini? Berubahkah kita apabila sudah bertemu dengan mereka?

Yang jelas penulis percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Allah yang Maha Kuasa, Maha Kasih, Maha Bijaksana, tidak mau membuka aib kita kepada orang lain. Apapun yang Dia mau pasti terlaksana, karena memang maha kuasa. Dia adalah Allah orang “hidup” dan itulah sebabnya Tuhan Yesus mengharapkan kita semua untuk “mati” dari manusia lama dan berubah “hidup” menjadi manusia baru, menjadi anak-anak Allah.

Jangan-jangan bila dijelaskan tentang kerajaan surga sampai mendetail, penalaran kita yang hidup ini tidak pernah sampai. Rekayasa membayangkanpun jangan-jangan melenceng, kembali ke dalam penalaran kita. Makanya Tuhan Yesus tidak pernah bercerita kecuali dengan perumpamaan yang gampang diterima dengan nalar kita yang terbatas. Itupun sering kali masih melenceng dari kehendak perkataan-Nya, dan kita menjabarkan sesuai dengan kemampuan kita. Lha kalau yang menjabarkan itu seorang profesor sesuai bidangnya, jangan-jangan itu sudah harga mati. Padahal sama-sama belum pernah mengalaminya, menengok ke dalam surga. Yang tidak mungkin menurut pandangan manusia, segalanya mungkin bagi Allah.

Hukum yang terutama
22:34. Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka 22:35 dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: 22:36 "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" 22:37 Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 22:38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 22:40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
Disini Tuhan Yesus mengajarkan akan “Hukum Kasih” yang kita kenal dengan simbol “salib” tegak lurus, vertikal dan horisontal. Hukum kasih yang pernah disampaikan oleh nabi Musa melalui sepuluh perintah Allah. Penulis merasa bingung dalam melaksanakan kedua hukum yang diajarkan Tuhan Yesus, bagaimana cara mengetrapkannya? Hukum kedua yang sama dengan pertama? Dalam pemahaman penulis, mengasihi Allah yang diimplementasikan dengan mengasihi sesama.

Tetapi yaitu, sulitnya ada di kasih total, karena masih ingin hidup di dunia, yang sebenarnya tidak akan dipakai lagi setelah kematian. Jika kita renungkan dalam-dalam, seharusnya hidup itu memikirkan Tuhan, yang mempunyai hidup, hidup yang ada di tangan-Nya, yang ada di catatan-Nya. Tetapi mencari Hidup itu sendiri juga sulit, karena biasanya mengasihi itu hanya untuk dirinya sendiri, belum kepada-Nya. Bukan Hidup-Nya yang membuat kita hidup. Persembahan yang paling tinggi itu hidup dan nanti akan bertemu Sang Hidup. Yang kelihatan itu semua hanya kelengkapan sehari-hari, yang nyatanya tidak ada. Mengasihi Allah itu harus bisa melupakan lain-lainnya. Itu siapa, sedang apa, itu untuk apa dan sebagainya. Jadi, kasih itu harus luar dalam semua sama. Mengasihi sesama itu jika kita renungkan prakteknya lebih mendekati menolong, membantu, memberi dan lain-lainnya. Mengasihi Tuhan itu maksudnya lebih dekat dengan meluhurkan Allah, makanya tidak usah melihat kiri kanan, tidak melihat tempat, karena bisa dimana saja.

Tambah membingungkan, harus dibagaimanakan, agar bisa menginjak bumi. Bagaimana sekali dayung dua tiga pulau terlampaui?

Dalam pemahaman penulis dalam kehidupan sehari-hari, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah dengan belajar mengasihi diri sendiri terlebih dahulu. Pertama-tama mengasihi diri sendiri secara rohani yang dampaknya akan menjalar ke jasmani. Kita ini milik Tuhan dan yang diutamakan oleh Tuhan adalah roh kita yang hidup. Kebutuhan jasmani yang kelihatan ini hanya ubarampe, yang tidak bisa memberikan jaminan bagi kehidupan rohani. Hubungan rohani kita dengan Tuhan adalah begitu pribadi dan hanya kita sendiri yang tahu. Dititik inilah yang terasa paling susah mengungkapkan kedekatan relasi dengan Allah sepenuh hati, jiwa dan akal budi. Berdamai dengan Tuhan melalui pertobatan karena kesalahan berada di pihak kita. Mungkin setiap orang bisa menjabarkan dengan cara masing-masing. Bagaimana bisa mengasihi sesama jika tidak bisa mengasihi diri sendiri? Jangan-jangan hanya omong kosong atau topeng belaka.

Setelah bisa mengasihi diri sendiri dalam dan luar, rohani dan jasmani, barulah ke tahap selanjutnya. Caranya atau prosesnya mungkin serentak yang tidak kita sadari, yaitu belajar mengasihi orang lain yang paling dekat dengan kita. Mengasihi keluarga yang dikaruniakan kepada kita, dan apabila sudah berhasil baru meningkat keluar menuju mengasihi sesama yang lebih luas, yang kita kenal di sekitar kita. Bagaimana mungkin mengasihi sesama apabila belum bisa mengasihi keluarga? Terus, bagaimana mungkin bisa mengasihi Allah jika tidak bisa mengasihi sesama.

Mengasihi Allah yang tidak kelihatan mungkin hanya dapat kita lakukan dengan melalui perbuatan nyata mengasihi sesama dan alam ciptaan-Nya. Mungkin saja salah satunya dengan cara ngobrol dengan Tuhan dan bersembah sujud. Anggaplah para pertapa yang mengasingkan diri, menyepi dengan suatu niat atau kaul. Hati, jiwa dan akal budi hanya tertuju kepada Tuhan dengan sepenuh kekuatan. Mengasihi secara total dan terutama kepada Allah, seharusnya mengikuti, melaksanakan apapun yang dikehendaki oleh Allah. Mestinya melakukan tanpa syarat, tanpa pengecualian dengan segala alasan. Disinilah batu sandungan yang menghadang kita karena keinginan jasmani atau kedagingan kita.

Penulis mencoba membayangkan sewaktu muncul kerinduan kepada keluarga yang penulis cintai. Mereka tidak kelihatan karena berada nun jauh di sana. Penulis mengeluarkan gambar photo keluarga dan mengajak mereka berbicara. Seakan-akan mereka berada di hadapan penulis dan dari gambar tersebut mereka sepertinya memberikan sambutan yang terbayang dalam hati penulis. Terjadilah dialog batin yang sangat susah untuk menjabarkannya. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan tradisi yang berlaku di gereja Katolik, yang begitu banyak gambar dan patung orang-orang kudus. Dengan memandang gambar atau patung Tuhan Yesus, Bunda Maria atau orang kudus lainnya, kita mencoba membayangkan mereka. Kita mencoba melihat bayangan dibalik gambar atau patung yang kelihatan tersebut. Lalu terjadilah dialog batin, komunikasi rohani, ngobrol asyik dan hanya yang bersangkutan saja yang tahu. Jangan-jangan bagi orang lain yang tidak tahu dan tidak memahami hal ini, kita sebagai orang Katolik akan dianggap sedang menyembah gambar atau patung. Seterusnya dicap sebagai penyembah berhala.

Kitapun jangan-jangan menganggap kelompok atau suku lain yang bersamadi menghadap batu, pohon atau apapun sebagai penyembah berhala, animisme dan sebagainya. Padahal kita juga belum tahu apa dan bagaimana mereka melakukan upacara pujian tersebut. Jangan-jangan mereka sedang melakukan puji-pujian kepada Allah Sang Maha Pencipta, yang dapat mereka wujudkan seperti itu. Kita yang merasa lebih pintar dan maju terus menghakimi mereka sebagai penyembah berhala.

Dan nyatanya, penulis pernah melihat suatu tempat untuk permenungan jalan salib yang dibuat dari tumpukan batu. Setiap pemberhentian hanya ada tumpukan batu yang diberi nomor, tanpa ada embel-embel lainnya. Mungkin sekarang ini tempat jalan salib tersebut sudah berganti wajah, memakai gambar atau ukiran yang lebih baik.

Suatu pelajaran yang sulit bagi penulis adalah menyatukan hati, jiwa dan akal budi. Dimanakah perbedaan hati, jiwa dan akal budi tersebut? Dimanakah letak nafsu kedagingan yang selama ini paling mempengaruhi kehidupan kita? Kita menyadari bahwa sering kali kita berbuat, bertindak atau berbicara, yang keluar dari gerak atau mulut ini sebenarnya “berbeda” dengan sesuatu yang paling dalam (apakah hati nurani atau jiwa?).

Kelihatannya perlu pendalaman khusus untuk lebih mengenal akan perbedaan antara hati, jiwa, akal budi, batin, roh, pikiran, nafsu, emosi dan sejenisnya. Yang jelas, ada banyak istilah yang artinya berbeda dan mungkin salah kaprah. Ada sakit hati, ada patah hati yang sangat berbeda dengan sakit jiwa dan berbeda pula dengan kehilangan akal. Zaman dahulu ada pelajaran budi pekerti yang menyangkut tingkah laku dan sopan santun yang dapat kita rasakan dengan panca indera. Sakit hati atau patah hati tidak dapat kita lihat, selain yang bersangkutan sendiri yang merasakan. Kita mungkin hanya dapat meraba rasakan apabila yang bersangkutan bercerita tentang sakit atau patah hatinya. Dan yang dipegang atau dijamah selalu di sekitar dada. Bersedih hati mungkin masih dapat kita lihat dari bahasa gerakan yang terpancar dari jasmani dan rona wajah, bahasa tubuh. Sakit jiwa kelihatannya sama dengan gila atau kurang waras atau malahan lebih dekat dengan kehilangan akal budi. Bagi orang yang mengaku waras, orang yang sakit jiwa dapat dilihat dari tingkah lakunya, terus kita sebut tidak waras atau gila atau “ora kebak.” Penulis tidak tahu bagaimana orang yang kita sebut sakit jiwa itu melihat kita yang merasa orang waras.

Dalam agama Katolik, kita pernah mendengar kata “Hati Yesus yang Maha Kudus” atau Hati Kudus Yesus, juga Roh Kudus, Roh hu Allah. Tuhan Yesus tidak pernah sakit hati, karena Hatinya Maha Kudus. Yang jelas bagi penulis, roh yang kudus hanya Tuhan sendiri dan hati yang kudus juga hanya Tuhan sendiri. Maha Kudus sudah mewakili segala macam maha yang kita kenal.

Dalam pemahaman penulis, roh atau jiwa adalah inti kehidupan yang ditanamkan Tuhan sendiri, yang pada awalnya netral dan percaya akan Allah Sang Pencipta. Karena roh yang ditanam Tuhan maka terjadilah benih kehidupan yang akan membentuk janin. Pada dasarnya roh itu sendiri baik karena tanaman Tuhan. Kita juga sering mendengar istilah hati nurani atau hati yang paling dalam, yang bagi penulis adalah roh itu sendiri. Roh bagaikan dibungkus oleh hati yang mengenal baik dan buruk, benar dan salah, yang dapat mempengaruhi perjalanan jiwa, mau dibawa ke mana. Akal budi rasanya lebih dekat dengan kehidupan kedagingan kita sehari-hari, yang mungkin kita sebut dengan pikiran dan perasaan.. Mungkin disinilah Tuhan Yesus mengatakan saat Roh Kegelapan menanamkan benih kejahatan. Benih kegelapan tersebut tertanam dalam akal budi kita. Dengan pandainya Iblis menanam melalui alam lingkungan sekitar kita. Akal budi lebih dekat dengan pikiran atau nalar kita yang bisa merekayasa, bisa bertopeng, yang bisa merasakan dan memperhitungkan. Yang bisa melawan, memberontak, beralasan, mempengaruhi dan sebagainya.

Istilah perang batin yang kita alami, dalam pemahaman penulis adalah perangnya hati dan jiwa dengan akal budi, tinggal mana yang menang, yang akan terpancar melalui perbuatan kita. Hati yang membungkus roh atau jiwa ini rasanya lebih sering berpihak kepada si akal budi. Dalam kenyataannya, sering kali akal budi yang menang, biarpun hati yang paling dalam merasakannya bahwa kesepakatan bertiga tersebut kurang pas. Pemenang atau bahasa halusnya kesepakatan antara hati jiwa dan akan budi, akan menggerakkan seluruh tubuh yang bisa dipengaruhi. Energi atau kekuatan yang ditimbulkan dan tersalurkan keluar, sering kita sebut sebagai perbuatan nyata.

Mungkin, apabila kita bisa menyatukan hati, jiwa dan akal budi secara utuh, maka kekuatan persatuan tersebut bisa teramat dahsyat, bisa mengherankan dan menakjubkan.

Hubungan antara Yesus dan Daud
22:41. Ketika orang-orang Farisi sedang berkumpul, Yesus bertanya kepada mereka, kata-Nya: 22:42 "Apakah pendapatmu tentang Mesias? Anak siapakah Dia?" Kata mereka kepada-Nya: "Anak Daud." 22:43 Kata-Nya kepada mereka: "Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia Tuannya, ketika ia berkata: 22:44 Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kaki-Mu. 22:45 Jadi jika Daud menyebut Dia Tuannya, bagaimana mungkin Ia anaknya pula?" 22:46 Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab-Nya, dan sejak hari itu tidak ada seorangpun juga yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya.
Jika para ahli tidak dapat menjawab, apalagi penulis yang masih mencoba memahaminya. Yang penulis ketahui paling hanya, bahwa ayat tersebut diambil dari Mazmur 110. Namun satu hal yang dapat penulis pahami bahwa Mesias, Yang Terurapi adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Yesus Kristus! Kuasa Allah yang sangat maha, diluar kemampuan nalar manusia untuk memahaminya. Mesias adalah Putera Allah Bapa di surga dan sering menyebutkan DiriNya adalah. Anak Manusia

Bagi penulis, Yesus Kristus sebagai manusia sejati dianggap keturunan Daud karena anak Yusuf, masih dapat diterima akal, walaupun agak aneh. Namun sebagai Tuhan maka Mesias adalah Tuannya Daud maupun semua orang yang percaya kepada-Nya. Disinilah hebatnya Allah yang begitu Maha Besar yang mau dan bersedia turun menjadi begitu kecil dan sederhana. Yang begitu susah diterima akal, nalar manusia, yang sebenarnya memang harus dimaklumi karena akal budi kita tidak ada apa-apanya bagi Tuhan. Itulah misteri Allah, yang namanya misteri ya memang susah dan takkan terungkap sampai kapanpun. Kitapun menyadari akan hal itu, betapa kecilnya kita di hadapan Allah namun susah untuk menerima bahwa kita begitu kecil.

Jika direnungkan, jawaban Tuhan Yesus sepertinya mengajarkan kepada kita untuk merubah paradigma pemikiran bangsa Yahudi pada waktu itu. Nubuat bahwa Sang Mesias akan datang melalui keturunan Daud, suku Yehuda. Hal tersebut disepakati setelah menelusuri sejarah nenek moyang Santo Yusuf menurut Matius ini. Secara daging, Yusuf adalah bapaknya Yesus karena menikah dengan Maria. Namun Yusuf tidak bersertubuh dengan Maria. Jadi mestinya bukan darah daging keturunan Daud. Bahasa yang gampang adalah dianggap sebagi anak Yusuf yang mengasuh sejak kecil. Disinilah misteri kelahiran Anak Manusia yang diberi nama Yesus. Setiap orang pandai yang diakui secara resmi, boleh berandai-andai dengan argumentasinya masing-masing. Dan sering kali pendapat resmi para ahli ini yang menjebak kita, mengungkung kita dalam tempurung. Kebenaran yang hakiki menjadi setengah abu-abu atau malahan terlupakan. Dan yang awam ini percaya saja kepada yang ahli, bahwa mereka selalu benar.

Sebagai contoh, mungkin kita pernah mendengar sewaktu sekolah dulu bahwa matahari kita mempunyai sembilan planet. Seiring perjalanan waktu dan pengetahuan, diketemukan lagi sebuah planet baru setelah Pluto dengan nama Sedna. Kemudian diketemukan lagi planet baru yang kecil. Keputusan para ahli yang bersepakat, sekarang ini matahari malah hanya dikelilingi oleh delapan planet saja. Sedangkan yang dulu kita sebut planet Pluto dimasukkan ke dalam kelompok planet kerdil bersama dengan Sedna. Kira-kira apa yang terjadi di masyarakat yang luas ini dengan pelajaran tersebut?

Mungkin hal ini hampir sama kejadiannya dengan munculnya Tata Perayaan Ekaristi (TPE) baru 2005 yang mengubah model lama. Muncul perbedaan pendapat mengapa begini mengapa begitu. Apalagi bagi masyarakat yang lahir setelah tahun sembilanbelas tujuhpuluhan, yang tidak mengalami misa kudus model lama. Mungkin banyak masyarakat katolik yang tidak tahu bahwa selama waktu itu, kita mempergunakan TPE yang ad experimentum. TPE percobaan resmi yang belum disahkan oleh Vatikan secara konkrit. Kita sudah merasa sangat terbiasa dengan TPE lama yang belum sah, kemudian diganti dengan yang sah malah kaget dan bingung pada awalnya.

Lho kalau begitu selama tigapuluhan tahun TPE kita tidak sah? Jangan-jangan tidak diterima oleh Allah? Bagi penulis sendiri segalanya sah dan diterima oleh Tuhan yang maha bijaksana. Hanya ......., biarlah para ahli yang memberi penjelasan secara tuntas agar tidak semakin salah kaprah. Pasti banyak alasan dari segala macam sudut pandang yang bisa menjelaskan. Atau malahan kita menjadi semakin bingung dengan penjelasan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar