Minggu, 29 November 2009

Memahami Matius Bab 20

Bab 20. Perumpamaan, Penderitaan Tuhan Yesus, Melayani, Penyembuhan

Perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur
20:1. "Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. 20:2 Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. 20:3 Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. 20:4 Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan merekapun pergi. 20:5 Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. 20:6 Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? 20:7 Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku. 20:8 Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. 20:9 Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. 20:10 Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga. 20:11 Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, 20:12 katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. 20:13 Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? 20:14 Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. 20:15 Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? 20:16 Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir."
Sebagai manusia yang penuh kedagingan duniawi, perumpamaan Tuhan Yesus sepertinya tidak adil dan tidak bisa diterima dengan akal. Kitapun seringkali menuntut ketidak adilan yang kita rasakan, dan lebih sering lupanya bahwa kita juga jangan-jangan telah berbuat yang “tidak adil.” Memang keadilan itu sendiri lama kelamaam menjadi abu-abu, karena mata hati kita tidak mau melihat dengan bening. Paling tidak, yang disebut adil itu mestinya keseimbangan antara hak dan kewajiban yang telah saling disepakati.

Kalau kita sebagai kepala keluarga, inginnya kita menuntut kepada isteri atau anak-anak untuk berbuat begini dan begitu. Demikian juga kepada pembantu rumah tangga. Kita merasa lebih dari mereka; lebih tua, lebih kuasa, yang mencari pendapatan, harus dihormati dan sebagainya. Kita sering lupa bahwa adanya isteri, anak-anak dan pembantu karena kita menginginkan, kita membutuhkan. Demikian juga isteri sering menuntut begini dan begitu, anak-anakpun menuntut yang lain-lain. Kita lebih sering lupa bahwa sebenarnya suami, isteri, anak-anak, pembantu itu tidak ada bedanya di Mata Tuhan. Jarang terjadi kesepakatan yang dibuat secara jelas akan hak dan kewajiban dari setiap individu di dalam keluarga, yang akan selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya umur. Jangan-jangan kata “keadilan” itupun tidak pernah terjadi di dalam hidup kita. Atau malahan “adil” dapat kita terjemahkan menurut selera kita masing-masing.

Bagi penulis, peziarahan hidup kita di dunia ini dilambangkan bagaikan hanya satu hari, dari pagi sampai petang. Ada kelompok yang mulai berkarya pagi-pagi benar, ada yang jam sembilan, siang hari, jam tiga sore maupun jam lima sore. Tuhan Yesus kelihatannya tidak pernah membedakan karya atau beban pelayanan seseorang. Yang penting setiap orang yang mau bangkit berdiri, berubah pikiran (bertobat) dan berkarya nyata di ladang-Nya. Upahnya akan sama, satu dinar yaitu Kerajaan Sorga.

Batu sandungan yang kita alami, sewaktu kita mulai membanding-bandingkan dan mengharapkan lebih. Begitu membandingkan, kita akan terperangkap ke dalam rasa iri, cemburu, kesombongan karena merasa lebih dan minta dihargai berbeda. Yang baru saja berkarya akan sangat berterima kasih atas kebaikan Sang Juragan dan berusaha bekerja tekun, karena waktunya tinggal sesaat lagi. Diberi upah berapapun tetap akan berterima kasih.

Jangan-jangan orang yang terdahulu merasa lebih dibandingkan yang terakhir, dan selanjutnya menuntut lebih dibandingkan yang terakhir. Yang terakhir karena merasa baru saja berkarya, lebih banyak mengalah dan lebih banyak kepasrahan kepada kehendak Sang Juragan. Yang terdahulu merasa lebih baik dan berpengalaman dibandingkan yang terakhir dan secara tidak sadar terkena penyakit kesombongan, lalu “meminta” dihargai berbeda. Lupa kepada perjanjian yang telah disepakati, upah satu dinar. Yang terakhir malah dapat upah lebih dahulu daripada yang pertama.

Berkarya dalam pelayanan tanpa pamrih mungkin hanya gampang untuk diucapkan. Jika pengharapan dipisahkan dari rasa pamrih, mungkin masih agak bisa diterima. Pamrih dan harapan mungkin hanya permainan kata-kata yang tujuannya hampir sama, yang berbeda adalah kadar atau kandungan di balik itu. Pamrih agak berkonotasi negatif, sedangkan harapan agak mendekati positif. Banyak hal kita selalu dicelikkan Tuhan, yang membuat kita terpana.

Dalam pemahaman penulis, kita diajar bahwa bekerja di ladang Tuhan harus jauh dari segala macam pamrih, mengharapkan sesuatu yang duniawi. Kita diajar hanya untuk sadar dan bangkit dari duduk nganggur, kemudian segera mulai bekerja dan bekerja. Tidak usah berpikir bagaimana, apa dan berapa upahnya. Tuhan mahaadil, mahapengasih dan mahapenyayang. Upahnya pasti ada, sesuai dengan kehendak-Nya.

Kerajaan Sorga hanya akan dikaruniakan Tuhan kepada orang-orang beriman yang mau bangkit, berubah dan berkarya di ladang-Nya tanpa pamrih. (8)

Pemberitahuan ketiga tentang penderitaan Yesus
20:17. Ketika Yesus akan pergi ke Yerusalem, Ia memanggil kedua belas murid-Nya tersendiri dan berkata kepada mereka di tengah jalan: 20:18 "Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. 20:19 Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan."
Tuhan Yesus sudah meramalkan akan perjalanan hidup-Nya. Kesengsaraan, kematian di kayu salib dan kebangkitan dari mati demi menebus umat manusia dari kegelapan dosa dan kelemahan. Dengan mantab Tuhan Yesus siap menghadapi apa yang akan terjadi dan harus terjadi di Yerusalem. Seolah-olah Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita tentang kemantaban, kepatuhan dalam menghadapi risiko :”Ayo, lihatlah Aku, ikutilah Aku, berbuatlah seperti Aku tanpa rasa kuatir.” Madep, manteb, mati untuk Tuhan.

Penulis dapat merasakan betapa bingung dan sedihnya para murid mendengar Sang Guru berkata begitu. Mestinya kan dapat menjauhkan diri dari malapetaka tersebut, karena sudah diketahui lebih dahulu. Sudah tahu akan celaka koq nekat meneruskan perjalanan. Jika mempergunakan nalar sehat, kalau di depan sana sudah diketahui akan ada bencana, apakah tidak sebaiknya menghindar agar tidak terkena bencana tersebut. Skenario besar seperti itu kelihatannya belum bisa ditangkap dan dipahami oleh para murid.

Bangsa Romawi yang menjajah orang Yahudi dikatakan sebagai bangsa yang tidak mengenal Allah, karena menyembah berhala. Bangsa yang akan ikut andil dalam penganiayaan Tuhan Yesus. Kita bisa menangkap ucapan Tuhan Yesus karena hal tersebut sudah terjadi sekian ribu tahun yang lalu.

Sama-sama menyembah Allah Yang Maha Esa, sama menerima ajaran kebenaran dan kebaikan mengasihi sesama, sama melakukan ibadat yang diajarkan masing-masing. Mestinya silahkan melaksanakan sesuai anjuran sang guru masing-masing. Namun dalam kehidupan sehari-hari, nyatanya segala macam perbedaan yang muncul tersebut dapat memicu perselisihan dan hukuman mati. Seakan-akan merekalah Sang Hakim yang paling benar, menetapkan diri sebagai wakil Allah. Berebut merasa yang paling benar, kemudian mempengaruhi para pengikutnya. Mungkin secara manusiawi gara-garanya sangat sepele, yaitu takut kehilangan pengaruh, merasa tersaingi, kuatir kehilangan umat atau pengikut. Kelihatannya hal ini akan selalu terjadi dan terjadi, entah sampai kapan, selama kita tidak bisa menghargai perbedaan dan kepercayaan orang lain.

Permintaan ibu Yakobus dan Yohanes
20:20. Maka datanglah ibu anak-anak Zebedeus serta anak-anaknya itu kepada Yesus, lalu sujud di hadapan-Nya untuk meminta sesuatu kepada-Nya. 20:21 Kata Yesus: "Apa yang kaukehendaki?" Jawabnya: "Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." 20:22 Tetapi Yesus menjawab, kata-Nya: "Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?" Kata mereka kepada-Nya: "Kami dapat." 20:23 Yesus berkata kepada mereka: "Cawan-Ku memang akan kamu minum, tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa Bapa-Ku telah menyediakannya."
Sebagai manusia yang penuh kedagingan, kitapun rasanya tidak berbeda dengan ibu Yakobus dan Yohanes serta mereka berdua. Kalau boleh, tempatkanlah aku atau anak-anakku di tempat yang enak. Seringkali kita menginginkan sesuatu yang sebenarnya kita tidak tahu persis akan apa yang kita minta dan segala macam risikonya. Yang penting yang enaknya saja. Jabatan dan hak yang akan kita dapat pasti kita mau, namun kewajiban dan tanggung jawab kalau bisa tidak usah saja atau dikurangi.

Jangan-jangan yang dibayangkan pada waktu iti, seperti kerajaan-kerajaan bumi. Sang raja duduk di singgasana, para pejabat tinggi yang terhormat duduk di sebelah kiri dan kanannya. Semakin dekat duduknya dengan raja, berarti semakin tinggi pengaruhnya. Sudah pasti akan banyak kemudahan, kehormatan, kuasa dan pengaruh, yang akan berkaitan langsung dengan materi dan kekayaan. Siapa yang tidak akan bangga mempunyai anak yang mendapat kedudukan tinggi di sebelah raja?

Meminum cawan Tuhan Yesus sepertinya berisi segala kepahitan, kesengsaraan, aniaya, kerendahan hati dan mengalah demi mengikuti Dia. Betul-betul meninggalkan segala kenikmatan duniawi demi kebenaran dan belas kasih yang murni. Atau malahan sebagai ungkapan bagi mereka berdua bahwa merekapun akan mengalami penganiayan. Sepengetahuan penulis, Yakobus akan menjadi martir pertama diantara para rasul.

Jadi kehidupan kekal sorgawi betul-betul suatu kasih karunia dari Allah Bapa sendiri, bukan karena usaha manusia. Kita hanya bisa berharap-harap cemas, semoga Tuhan tidak lupa dengan kita. Sebagai lakon manusia sejati, Tuhan Yesuspun menjawab diplomatis, merasa tidak berhak untuk memberikan karunia tersebut. Dalam segala hal yang berkaitan dengan misteri surgawi, semuanya ada di Tangan Allah Bapa di surga. Allah Putera yang turun ke dunia pada saat itu sedang berkarya sebagai aktor Anak Manusia.

Sepertinya kita diajar : “Serahkanlah dan pasrahkanlah semuanya kepada Allah Bapa.” Sudah ditebus dari jurang kedosaan saja sudah syukur, koq mau minta lebih. Sudah semestinya kalau kita selalu bersyukur dan bersyukur dalam segala hal, dalam segala berkat, sekecil apapun berkat itu. Mungkin kita perlu belajar kepada pengemis buta, yang selalu mengucapkan terima kasih kepada si pemberi, sekecil apapun pemberian itu.

Bukan memerintah melainkan melayani
20:24 Mendengar itu marahlah kesepuluh murid yang lain kepada kedua saudara itu. 20:25 Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. 20:26 Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, 20:27 dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; 20:28 sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."
Dari kata-kata Tuhan Yesus, yang dapat penulis pahami bahwa dari dahulu yang namanya para penguasa dan pemerintah, sesuai dengan namanya adalah yang berkuasa dan yang memerintah rakyatnya. Berkuasa berbuat apa saja, memerintah sesuai keinginannya. Tuhan Yesus menegaskan bahwa kita tidak boleh seperti itu, malah harus sebaliknya. Kita diminta untuk menjadi seorang pelayan, hamba yang kerjanya melayani orang lain. Bukan hanya sebagai hamba Tuhan, namun lebih rendah lagi dari itu, menjadi hambanya semua manusia.

Hamba yang berbuat baik dan benar, yang belum tentu diterima oleh tuannya yang sedang marah. Hamba yang bagaikan keranjang sampah, yang mau menerima segala macam yang sudah tidak diperlukan dan dibuang. Hamba yang tidak diberi kesempatan untuk membela diri, yang tempatnya paling bawah seperti kesed yang diinjak-injak. Yang lebih tegas lagi hamba yang siap memberikan nyawanya seperti Tuhan Yesus sendiri. Siap menjadi tumbal demi orang lain. Banyak tekanan batin yang harus dihadapi, dirasakan, yang kadang-kadang terasa sakit. Dan itu tidak mudah.

Dalam kehidupan sehari-hari saja, kalau bisa, dilayani oleh yang lain yang lebih “muda.” Kita beralasan, dahulu kan sudah melayani yang lebih “tua” dan sekarang gantian dong. Penulis tidak tahu dari mana asalnya istilah bahwa pegawai negeri itu abdi masyarakat. Apakah betul mereka menjadi abdi masyarakat? Sebutan tersebut kelihatannya tidak nyambung dengan istilah pemerintah atau penguasa. Mungkin perlu dibuktikan secara nyata. Siapkah kita menjadi hamba atau pelayan? Melayani berarti siap tersakiti.

Yesus menyembuhkan dua orang buta
20:29. Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya keluar dari Yerikho, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. 20:30 Ada dua orang buta yang duduk di pinggir jalan mendengar, bahwa Yesus lewat, lalu mereka berseru: "Tuhan, Anak Daud, kasihanilah kami!" 20:31 Tetapi orang banyak itu menegor mereka supaya mereka diam. Namun mereka makin keras berseru, katanya: "Tuhan, Anak Daud, kasihanilah kami!" 20:32 Lalu Yesus berhenti dan memanggil mereka. Ia berkata: "Apa yang kamu kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" 20:33 Jawab mereka: "Tuhan, supaya mata kami dapat melihat." 20:34 Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu Ia menjamah mata mereka dan seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti Dia.
Belas kasihan yang menggerakkan Hati Tuhan Yesus untuk menyembuhkan orang buta. Sekali lagi iman kepercayaan dan usaha untuk “menemui” Tuhan Yesus lebih penting daripada teguran orang lain yang menganggap mereka tidak pantas. Karena buta, yang bisa mereka lakukan untuk menemui Tuhan Yesus adalah dengan berteriak. Dengan berteriak atau berseru keras-keras, harapannya semoga Tuhan Yesus mendengar teriakannya. Penulis teringat akan kata Tuhan Yesus tentang mintalah maka engkau diberi dan selanjutnya. Betapa Tuhan Yesus sangat berbelas kasihan kepada orang-orang kecil dan tersingkirkan, yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Dan Dia bersedia menjamahnya! Jamahan tanpa rasa ragu dan jijik, jangan-jangan membawa virus yang dapat menular. Betapa hebatnya Tuhan Yesus, segala macam penyakit dan kelemahan menyingkir dari hadapannya.

Bagaimana dengan keseharian kita? Mungkin kita sering atau pernah didatangi seseorang yang menderita dan memerlukan belas kasihan kita. Penderitaan mereka bisa macam-macam, mulai dari perut kosong, sakit penyakit, biaya pengobatan, biaya sekolah, masalah keluarga, berjualan sesuatu yang sederhana dan lain-lain. Kita mungkin bertanya :”Apa yang dapat kami bantu?” Kalau hati sedang plong penuh sukacita, rasanya begitu mudah membantu walaupun sekadarnya. Kalau hati sedang ruwet, kepenginnya mengusir, nggak punya uang receh, nggak punya waktu dan seribu satu alasan yang lain. Yang ketiga mungkin menghitung untung rugi, bagaimana kedekatan hubungan selama ini, pengalaman sebelumnya, penampilan pada waktu itu dan yang lainnya. Yang menjadi batu sandungan, seberapa sering hati kita merasa plong, rasa gembira dan bahagia. Mungkin ungkapan “tidak ada seorangpun yang menjadi miskin karena berderma” perlu kita ukir di dalam hati sanubari ini. Berbelas kasih tidak mesti uang atau materi, namun perut kosong karena lapar tidak membutuhkan nasihat pada waktu itu. Yang diperlukan adalah makanan untuk pengganjal perut. Kira-kira apa yang akan terjadi bagi si lapar jika diberi nasihat bahwa bukan hanya makanan yang dibutuhkan namun ada makanan rohani yaitu Firman?
Tuhan Yesus, kasihanilah aku, orang berdosa ini. Sembuhkanlah aku dari segala macam penyakit egoku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar