Sabtu, 28 November 2009

Memahami Matius Bab 4.

Bab 4. Pencobaan di gurun, tampil di Galilea, murid-murid awal, mengajar dan menyembuhkan

Pencobaan di padang gurun
4:1 Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. 4:2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus. 4:3 Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti." 4:4 Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."
Pelajaran kedua adalah Tuhan Yesus melakukan puasa empatpuluh hari empatpuluh malam tanpa makan dan minum sebelum melaksanakan karya-Nya. Mungkin ada perdebatan tentang puasa Tuhan Yesus apakah hanya puasa makan, atau makan dan minum. Apabila melihat di tanah Israel, kelihatannya lebih mudah mencari makanan dibandingkan dengan mencari minum. Tetapi bagi penulis, kedua-duanya, lapar dan haus begitu susah untuk mencari sarana pelepasnya. Terlepas dari perdebatan tersebut, kita hanya akan mencoba merenungkan makna puasa.

Persiapan lahir dan batin kelihatannya menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan, apabila kita ingin berkarya. Berkarya di bidang apa saja, agar kita siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin akan terjadi, baik maupun buruk. Berpuasa berarti melaksanakan niat untuk menahan atau mengekang hawa nafsu. Hawa nafsu dapat berwujud kebutuhan kedagingan yang melalui panca indera kita. Dari mulut, mengekang dari nafsu makan dan minum, namun bisa juga yang keluar dari mulut dalam bentuk ucapan kata-kata. Dari mata mengekang segala penglihatan yang kita anggap tidak pantas. Dari telinga mengekang segala macam suara, dari hidung mengekang segala macam bau-bauan. Dari tubuh lainnya mengekang segala macam gerak keinginan yang lain. Orang Jawa menyebutkan “mateni/ nutup babahan hawa sanga” sembilan lubang hawa nafsu yang ada di tubuh kita.

Mungkin yang gampang terlihat dan kita lakukan selama ini adalah mengekang makan dan minum. Namun bagi penulis, nyatanya mengekang yang diluar makan dan minum malahan lebih susah. Mengekang hawa nafsu melalui mulut, telinga, mata dan hidung nyatanya lebih sulit. Bisakah kita mengekang tubuh dan mulut apabila di sekitar kita banyak tikus dan kecoa berseliweran, cacing dan lalat pada keluar dari sarang? Di sekitar kita pada kentut atau tercium bau bangkai tikus dimana-mana? Sedang santai tiduran terdengar seekor nyamuk berdenging di sekitar kepala kita? Dan itulah contoh sederhana ujian kehidupan kita sehari-hari yang akan selalu kita lewati. Jika kita berhasil atau lulus dengan niat kita, maka rasanya kita sudah melewati satu yahap batu sandungan dan siap menghadapi ujian kehidupan sehari-hari selanjutnya. Dan nyatanya mengarungi kehidupan ini adalah pembelajaran yang tidak pernah ada ujung pangkalnya. Pencobaan demi pencobaan pasti akan menghadang perjalanan ziarah hidup kita, dan semuanya itu harus kita lalui, kita rasakan dan kita tembus untuk mencapai kemenangan.

Kelihatannya ada semacam bias mengenai puasa, dan gerejapun tidak secara gamblang dan nyata menjelaskan bagaimana kriteria puasa orang kristiani yang benar dan ideal. Apakah yang namanya puasa orang kristiani itu secara umum bukan sehari semalam? Yang dikatakan boleh makan kenyang hanya sekali dalam satu hari adalah sehari semalam? Mungkin bias ini karena di sekitar kita yang kita kenal selama ini berpuasa hanya di siang hari. Masalah malam hari akan makan sekenyangnya atau bahkan lebih mewah dari hari-hari biasa, itu cerita lain.

Tuhan Yesus-pun mengalami pencobaan pertama dari Setan untuk merubah batu menjadi roti. Kita bisa membayangkan bagaimana di padang gurun yang begitu gersang, banyak terlihat batu-batu berserakan yang bentuknya hampir seperti roti. Dalam keadaan lapar, akan terbersit di benak kita, alangkah enaknya kalau batu tersebut adalah roti yang dapat kita nikmati. Pikiran yang ingin enaknya saja, segalanya sudah tersedia. Kita sering lupa bahwa segala sesuatu sekecil apapun perlu proses. Dalam kehidupan sehari-hari selalu saja ada kejadian atau pengalaman hidup yang membuat kita berpikir ; ”Alangkah enaknya atau senangnya apabila kita bisa seperti si A atau seperti si B atau siapapun,” jika kita melihat orang tersebut membuat kita "lapar" akan sesuatu karena tidak kita miliki dan kita menginginkannya. Konflik batin ini sering kita alami karena dua atau lebih kepentingan yang berlawanan. Namun Tuhan Yesus menegaskan bahwa hidup hanya dengan makan (baca saja sebagai kebutuhan kedagingan) bagi kebutuhan jasmani saja tidak cukup, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan makanan rohani dengan “kata-kata” yang keluar dari mulut Allah. Jangan-jangan terbersit dalam benak kita bahwa hidup hanya untuk makan, bukan makan untuk hidup.

Kata-kata atau firman dari Allah jelas akan kita dapatkan dari buku Kitab Suci. Secara tidak langsung kita diajar oleh Tuhan Yesus untuk selalu membaca atau mendengarkan firman-Nya yang tertulis dalam Kitab Suci. Penulis menjadi teringat akan pesan Bunda Maria dalam penampakannya di Medjugorje, yang memberikan lima senjata keselamatan. Salah satunya adalah untuk membaca Kitab Suci setiap hari, kalau bisa bersama-sama dalam keluarga. Disitulah Firman Allah berada, yang dapat menjadi santapan rohani kita sehari-hari. Anggap saja, jika makan untuk jasmani sehari tiga kali, maka makan untuk rohani sehari sekali saja sudah cukup. Biasanya makanan rohani cukup seminggu sekali, sewaktu mengikuti perayaan Ekaristi.

Kalau kita renungkan, jangan-jangan firman yang keluar dari mulut Allah itu malahan begitu luas tanpa batas. Jangan-jangan Allah menyapa kita melalui segala macam yang ada di sekitar kita, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Hati kita diminta untuk menjabarkan atau menterjemahkan kata-kata Allah yang muncul dengan bahasa misteri. Coba kita bayangkan sewaktu kita berjalan di panas terik matahari dan kita melihat pohon besar. Kita berjalan ke pohon tersebut untuk berteduh dari sengatan sinar matahari dan kita masih merasakan gerahnya. Tiba-tiba udara yang tidak kelihatan ini mengalir membentuk angin semilir yang membuat kita malas untuk beranjak dari pohon tersebut. Malahan kita dibuat terbuai dan terkantuk-kantuk menikmati suasana atau keadaan antara panas dan angin sepoi-poi basa. Jika kita masih ingat kepada Tuhan, pasti kita akan mengucap syukur. Mulailah kita menterjemahkan kata-kata Allah yang melalui alam ini dan kemudian terjadilah dialog rohani yang hanya mereka saja yang tahu. Apabila orang tersebut sharing, menyampaikan pengalaman rohaninya yang begitu bukan main (menurut dia), tanggapan yang muncul pasti macam-macam. Yang satu menanggapi bahwa semuanya itu karunia kasih Allah yang berkarya, yang lain melihat dari kacamata akademis, yang lainnya lagi dianggap sebagai hal biasa dan masih banyak kemungkinan lainnya lagi.

4:5 Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah, 4:6 lalu berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu." 4:7 Yesus berkata kepadanya: "Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!"

Kita bisa membayangkan bahwa bubungan kenisah atau Bait Allah pastilah tinggi sekali. Jika kita berada di atas dan mencoba melihat ke bawah, akan terasa sepertinya kita disedot, ditarik ke bawah. Ada rasa serr di dalam diri kita, yang dalam bahasa Jawa disebut singunen atau awang-awangen. Rasa takut akan ketinggian jika tidak kuat, seperti berputar dan pandangan tidak karuan, bisa-bisa pingsan.
Pencobaan kedua kepada Tuhan Yesus bagaikan adu ayat Kitab Suci, dan Tuhan Yesus membalas secara telak dengan mengutip bagian dari sepuluh perintah Allah. Pada Kitab Ulangan 6:16 tersirat “Jangan kamu mencobai Yahweh, Allahmu, seperti yang kamu lakukan di Masa. (Kel.17:7) Tuhan adalah Maha Tahu akan apa yang ada di pikiran kita, apa yang kita lakukan, biarpun tidak ada orang lain yang menyaksikan.

Pelajaran penting dari TuhanYesus adalah janganlah sekali-kali mencoba mengelak dari Pandangan Tuhan kalau kita berbuat salah. Segala macam alasan untuk pembenaran diri tidak akan berguna karena Tuhan Maha Melihat. Lebih baik mengakui kesalahan dan tidak akan berbuat lagi. Sering kali batin atau mata hati kita mengakui bahwa kita telah berbuat salah, namun juga sering kali akal budi kita selalu membuat alasan kenapa kita berbuat salah. Apalagi kalau berhadapan dengan orang lain, maka segala macam pembelaan diri kita persiapkan dan berkata dalam hati :”semoga Tuhan memaklumi dan mengampuni.” Sekarang ini aku sedang berhadapan dengan orang lain bukan dengan Sang Pencipta. Gengsi perlu dijaga dan dipertahankan walaupun sering mengorbankan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan..

Seringkali kita mengeluh akan rezeki yang kita terima “lho, koq hanya segini” dan rasanya masih kurang, padahal kita sudah tahu bahwa rezeki itu ya berkisar segitu. Keluhan ini walaupun tak terucapkan, dapat kita rasakan bahwa sebenarnya kita belum mensyukuri atas nikmat yang kita terima. Tanpa mempersiapkan diri dengan pemurnian dalam pertobatan dan usaha, kita juga sering mencobai Tuhan. Tanpa berusaha belajar, kita sering berdoa mohon keajaiban agar lulus atau naik kelas dengan nilai baik. Tanpa berusaha kita sering memohon keajaiban berhasil dalam usaha, berhasil dalam pekerjaan ataupun yang lainnya lagi.

Tidak kita pungkiri, memang Tuhan Maha Ajaib seturut kehendak Dia. Jangan-jangan kita-pun sering seperti Setan dan kita tidak sadar. Sering kali kita mengutip ayat-ayat Kitab Suci untuk kepentingan sesuatu yang jauh dari rohani, anggaplah yang berhubungan dengan duniawi dan materi. Hanya kita sendiri yang dapat merasakan apakah kutipan Kitab Suci tersebut kita sampaikan dengan tulus atau tidak. Jangan-jangan kutipan Kitab Suci kita persiapkan untuk menyerang atau memojokkan orang lain, biar tahu rasa. Kadang-kadang kita memang bingung dan akhirnya mencampur adukkan yang rohani dengan yang duniawi.
Tuhan, ajarilah aku untuk berani mengakui mana yang benar dan mana yang salah, biarpun untuk hal tersebut penuh risiko di dalam kehidupan duniawi. Tuhan, ajarilah juga aku untuk tidak ragu-ragu akan kebaikan dan kasih-Mu yang tidak terukur.


4:8 Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, 4:9 dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku." 4:10 Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" 4:11 Lalu Iblis meninggalkan Dia, dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Yesus.

Pada pencobaan ketiga, ketika Setan semakin tidak sopan, apalagi menyuruh menyembahnya, Tuhan Yesus berkata dengan keras. Setan disuruh minggat dari hadapan-Nya. Kembali Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita tentang bagian terpenting dari sepuluh perintah Allah. Hanya kepada Tuhan kita menyembah dan mengasihi dengan sepenuh jiwa dan akal budi, sepenuh hati dan sepenuh kekuatan (Kitab Keluaran 20:2-7; Kitab Ulangan 5:6-10; 6:5).

Di dalam kehidupan sehari-hari, kita sering lupa untuk menyembah dan berbakti hanya kepada Tuhan. Secara tidak langsung kita lebih sering disibukkan oleh hal-hal kenikmatan duniawi, dengan “menyembah dan berbakti” kepada materi, terutama uang. Semuanya diperhitungkan demi dan dengan uang, sampai muncul istilah “keuangan yang kuasa.” Mungkin kalau kita belajar jujur pada diri sendiri dan bertanya “berapa menit, jam waktu yang kita sisihkan untuk Tuhan dalam waktu 24 jam?” jangan-jangan kita akan malu pada diri sendiri. Secara tidak sadar kita telah “menyembah” kebutuhan duniawi yang ditawarkan Setan kepada kita. Dan seribu satu macam alasan telah kita siapkan untuk berargumentasi. Secara pribadi harus penulis akui bahwa untuk Tuhan hanya mendapat porsi yang sedikit, malah seringkali kita abaikan dengan berbagai macam alasan. Sibuk tidak punya waktu, masih konsentrasi di TV, komputer, capai dan entah apa lagi.

Kita diajar untuk berani berkata :”Enyahlah engkau Roh Pengganggu.” Disini kita diajar untuk berani membangun niat, meluangkan waktu bagi Tuhan Allah kita. Alangkah indahnya apabila niat tersebut disepakati dalam keluarga secara bersama-sama. Mungkin inilah yang disebut gereja basis yang akan tumbuh dan berkembang bersama Tuhan. Pasti akan ada buah-buah yang dapat dinikmati oleh keluarga tersebut, maupun oleh orang di sekitarnya.

Dari tulisan di atas, kelihatannya tersirat bahwa dunia ini sudah dikuasai oleh yang jahat, Sang Roh Kegelapan atau Iblis. Sepertinya kehidupan duniawi ini begitu bertentangan dengan yang surgawi. Jika kita sebut bertentangan rasanya koq begitu berat. Mungkin dengan bahasa yang sedikit lebih halus kita sebut saja duniawi yang tidak seiring sejalan dengan surgawi. Siapa yang mau menyembah Iblis maka akan mendapat ganjaran duniawi.

Mungkin perlu kita renungkan bahwa sebelum manusia diciptakan, roh jahat sudah menguasai dunia ini, sewaktu mereka dilemparkan dari surga. Dalam peperangan antara panglima Mikhael dan prajuritnya melawan Satan dan pengikutnya, para roh jahat ini dikalahkan dan dibuang ke bumi (Wahyu 12:7-9). Merekalah roh-roh tua yang menguasai tempat-tempat atau wilayah, yang sering menjadi legenda keramat. Sering kita mendengar istilah Penguasa laut Kidul, Penguasa gunung ini, Penunggu lembah itu dan lain-sebagainya. Siapa yang mau berbakti kepada kepada para Penguasa ini, hadiahnya adalah kenikmatan duniawi. Syarat atau kontrak untuk menerima kenikmatan duniawi pasti ada. Nach ....!!!

Yesus tampil di Galilea
4:12. Tetapi waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea. 4:13 Ia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali, 14:14 supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya : 14:15 “Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, - 14:16 bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang.” 4:17 Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!"

Tuhan Yesus mengajar pertama kali adalah meminta manusia untuk bertobat. Bertobat berarti berubah, menyesali perbuatan yang pernah dilakukan, dan tidak akan melakukannya lagi. Bertobat kelihatannya perlu pemurnian diri lebih dahulu, dan ada “suatu janji” atau niat untuk tidak mengulangi. Namun seringkali dalam hidup ini yang kita lakukan adalah lebih sering mengulangi perbuatan-perbuatan yang kita sesali. Mungkin kata-kata tobat tidak lagi sesuai kalau kita pergunakan; dan kata-kata permintaan maaf atau “sorry” lebih pas. “Sorry ya, penulis agak terlambat.” Lain waktu kita mengulangi lagi :”Maaf, penulis terlambat.” Kita lebih sering menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil, yang pada tahap tertentu hal tersebut menjadi biasa dan merasa tidak terlalu salah. Dianggap sudah umum yang semua orang juga melakukan hal yang sama. Penulis teringat akan salah satu senjata keselamatan yang diberikan Bunda Maria di Medjugorje, pertobatan. Dikatakan bahwa hampir setiap hari kita berbuat kesalahan dan kita tumpuk sedikit demi sedikit yang lama kelamaan bisa menjadi bukit. Bunda Maria menyarankan untuk sering melakukan sakramen pertobatan, kalau bisa sebulan sekali. Namun zaman sekarang agaknya mulai meluntur, kalau tidak dikatakan berubah. Zaman dahulu setiap hari Sabtu sore para imam sudah menyiapkan diri di depan pintu kamar pengakuan. Umat sudah tahu bahwa kalau ada imam di situ, berarti dia siap menerima pasien yang mau mengaku dosa. Sekarang ini umumnya para imam melayani umat dalam pengakuan dosa sesuai permintaan. Namun budaya orang timur, biasanya umat akan merasa segan kalau mengganggu istirahat para imam. Dampaknya ........ cukuplah mengaku dosa pada waktu sebelum Paskah atau sebelum Natal. Itupun kalau ada waktu. Mengapa pelayanan sakramen pengakuan dosa tidak digalakkan kembali seperti dulu?

Kerajaan sorga sudah dekat, lebih sering membingungkan kita untuk dicerna. Apakah kiamat sudah dekat, padahal sudah 2000 tahun kata-kata itu diucapkan oleh Tuhan Yesus. Pemahaman yang paling gampang adalah bahwa pertobatan yang sungguh-sungguh pasti akan diampuni oleh Tuhan. Begitu kita menyesal dan bertobat yang kita sampaikan kepada Tuhan melalui pastor atau romo pembimbing jika kita sebagai orang Katolik, begitu kita keluar dari kamar pengakuan dosa, kita akan merasakan kelegaan yang luar biasa, merdeka, plong ….. . Kedamaian sorga ada di dalam diri kita, karena Tuhan berkarya dalam pengampunan di dalam diri kita. Mungkin disinilah Roh Kudus berkarya secara nyata, sewaktu hati, jiwa dan akal budi ini merasa “bersih dari masa lalu.” Dalam doa “Bapa Kami” sering kita lantunkan “datanglah kerajaan-Mu, di atas bumi, seperti di dalam sorga.” Sering kali kita memohon tanpa tahu akan apa yang kita mohon, saking sudah hapalnya. Rasa lega, plong, bahagia yang sangat susah untuk diungkapkan, karena hasil dari pertobatan dan pengampunan, adalah keinginan atau harapan agar kerajaan Allah turun ke bumi, ke dalam diri kita. Kita hanya dapat mengira atau membayangkan bahwa sorga hanya berisi dengan kelegaan dan kebahagiaan, puji-pujian dan penyembahan kepada Tuhan. Tidak ada rasa sakit hati atau dendam, tidak ada siksa. Hal tersebut hampir sama dengan suasana setelah kita bertobat dan diampuni. Paling tidak yang dapat kita bayangkan, di dalam Kerajaan Sorga hanya ada kedamaian, kebahagiaan total, saling mengasihi tanpa batas, puji-pujian dan sembah sujud kepada Tuhan. Dan suasana inilah yang diharapkan oleh Tuhan Yesus, supaya terjadi di bumi. Mungkin agak cocok kalau kita menyanyikan lagu “di sini senang – di sana senang – dimana-mana hatiku senang ……. sebagai ungkapan bahwa kerajaan sorga telah turun ke dalam hati kita.

Begitu dekatnya bayangan kerajaan sorga yang sebenarnya dapat kita raih. Mungkin dapat dibayangkan situasi yang enak, ayem tentrem, damai sejahtera ikut mulia bersama Tuhan yang begitu luhur. Masalahnya apakah kita betul-betul mau meraih sukacita tersebut dengan sepenuh hati, jiwa dan akal budi dengan segala risiko kedagingan. Sukacita sejati yang tidak dapat dibeli dengan materi.

Penulis sering berpikir bahwa Kerajaan Surga adalah Tuhan Yesus sendiri yang begitu dekat dengan kita malahan dapat menyatu dengan kita. Sering kita mendengar kata-kata Tuhan sertamu atau Tuhan bersamamu dan kita balas dengan kata-kata jawaban pakem. Seringkali mulut kita lebih spontan menjawab, namun perilaku kita atau perbuatan kita tidak sejalan dengan ucapan kita. Disinilah rasa sukacita sejati belum bisa kita temukan. Hambar yang terkadang sekedar basa-basi karena kewajiban belaka. Bukan menjadi kebutuhan yang dapat merangsang hati jiwa dan akal budi kita untuk merindukan kejadian tersebut. Yang selanjutnya apabila kita hayati, kita pasti akan merasakan sukacita yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Jika Tuhan selalu bersama kita dan itu kita sadari sungguh-sungguh, apa lagi yang kurang? Mungkin gambaran hal ini hampir sama apabila kita pernah mengalami pacaran yang sama-sama saling mencintai. Sewaktu sedang bersama dengan sang pacar, sepertinya semua ini milik berdua, lupa waktu, lupa makan, lupa pekerjaan, lupa segalanya. Mengapa bersama Tuhan koq tidak bisa seperti sewaktu pacaran? Salahnya dimana?

Yesus memanggil murid-murid yang pertama
4:18. Dan ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat dua orang bersaudara, yaitu Simon yang disebut Petrus, dan Andreas, saudaranya. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. 4:19 Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." 4:20 Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. 4:21 Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka 4:22 dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia.
Kelihatannya kejadian pada waktu itu, Tuhan Yesus bertemu Simon Petrus dan Andreas maupun keluarga Zebedeus, terjadi percakapan yang cukup serius dan mereka terpesona dengan pribadi dan karisma Tuhan Yesus. Dan akhirnya :”Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”
Kemungkinan yang lain, mereka sudah mengenal Tuhan Yesus sewaktu di sinagoga. Rasanya tidak akan mudah bagi seseorang untuk mengikuti orang lain yang baru dikenalnya, biarpun mempesona. Dan meninggalkan keluarga yang dikasihi begitu saja, apabila tidak ada janji-janji manis yang akan meningkatkan taraf hidup, merupakan suatu hal yang agak mustahil. Namun kenyataannya adalah, mereka meninggalkan keluarga dan ikut Tuhan Yesus. Betapa hebatnya Yesus orang Nazaret itu dapat mempengaruhi orang. Pasti ada suatu kekuatan daya magnet yang bukan main yang tidak bisa ditolak.

Menjala ikan bagi nelayan sudah menjadi kehidupan sehari-hari, yang kadang-kadang menghasilkan ikan yang melimpah, namun sering kali tanpa hasil atau hanya secukupnya. Yang namanya menjala atau menjaring ikan, pasti tidak akan menentukan ikan apa yang akan tertangkap. Jenis apapun, termasuk yang bukan ikan jika masuk dalam jaring akan terangkat semua. Jika setelah diangkat dan dibawa ke perahu atau ke darat, ikannya dipilih-pilih, yang tidak diminati dibuang itu menjadi soal lain.

Menjala manusia adalah suatu hal yang sama sekali baru yang masih sulit untuk membayangkan bagaimana caranya. Kelihatannya menjaring manusia menjadi suatu hal yang menarik untuk dicoba dan diikuti. Jangan-jangan dengan menjadi penjala manusia, pada suatu saat bisa menjadi pemimpin dari yang dijala. Bisa meningkatkan taraf hidup dan bukan hanya sebagai nelayan saja. Siapa tahu jika kemudian hari bisa menjadi orang yang terhormat atau disegani. Yang jelas daya magnet yang luar biasa saja yang dapat menggerakkan mereka untuk ikut Tuhan Yesus. Kekuatan daya tarik seperti apa itu, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata pendek.

Agak berbeda dengan memancing yang kadang kala membuat umpan untuk ikan tertentu, dan dapat berbeda dengan umpan untuk ikan yang lainnya. Tidak usah muluk-muluk untuk menjadi penjala manusia, bisa menjadi pemancing manusia saja Tuhan Yesus sudah tersenyum bahagia. Umpannya cukup dengan kasih yang tanpa syarat.

Diajarkan kepada kita bahwa begitu kita dibaptis, kita menjadi anak Allah. Menjadi anak-anak Allah sudah barang tentu suatu hal yang sangat menggembirakan. Oleh karena itu kita mendapat tugas menyebarkan kabar sukacita tersebut. Namun mari kita bertanya ke dalam diri sendiri, siapkah kita menjadi pewarta? Tidak usah sebagai penjala, namun sebagai pemancing atau yang lebih sederhana lagi sebagai pemelihara yang sudah di dalam kolam atau aquarium kita. Ikan di dalam kolam atau aquarium akan bisa tumbuh apabila selalu diberi makan yang cukup, dibersihkan dari segala macam kotoran yang bisa mengganggu kesehatan. Bisa kita bayangkan apabila ikan tidak pernah diberi makan dan media airnya tidak pernah dibersihkan, mereka akan mati atau jangan-jangan mereka malah menjadi buas, segalanya dimakan.


Yesus mengajar dan menyembuhkan banyak orang
4:23. Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu. 4:24 Maka tersiarlah berita tentang Dia di seluruh Siria dan dibawalah kepada-Nya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka. 4:25 Maka orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem dan dari Yudea dan dari seberang Yordan.

Ayat di atas menyiratkan bahwa Tuhan Yesus mengajar dan memberitakan Injil Kerajaan Allah di seluruh Galilea; Selain itu adalah melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Melenyapkan rasanya agak berbeda dengan menyembuhkan. Lenyap yang tidak akan kembali, namun sembuh dapat kembali kambuh dan sakit lagi. Tuhan Yesus memang Sang Maha Tabib yang tidak akan tertandingi, yang meliputi segala macam penyakit phisik, maupun non phisik. Tuhan Yesus kelihatannya pada awal-awal pengajaran masih membatasi diri hanya di rumah-rumah ibadat, serta tidak berpromosi di jalan-jalan. Dari rumah-rumah ibadat tersebut, barulah tersiar berita kemana-mana bahwa ada seseorang yang dapat menyembuhkan dan melenyapkan segala penyakit dan penderitaan. Kabar getok tular itulah yang menyebar kemana-mana. Getok tular jelas berbeda dengan promosi. Getok tular lebih banyak bersumber dari yang mengalami, yang mendengar dan melihat, sedangkan promosi lebih banyak bersumber dari kelompok promotor, produsen, sang tabib dan sejenisnya.

Dekapolis kadang disebut Sepuluh Kota yang penduduknya sudah campur baur. Penulis tidak tahu apakah yang menerima ajaran Injil Kerajaan Allah hanya orang Yahudi atau segala bangsa. Namun penulis yakin bahwa yang datang dan mencari kesembuhan adalah semua bangsa yang mendengar kabar tersebut. Siria sendiri merupakan wilayah di utara Israel yang lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki.

Kita bisa membayangkan bahwa seseorang yang terkena sakit penyakit dan ingin kesembuhan, akan berupaya mencari sang penyembuh dimana saja. Kalau perlu segalanya dicoba, syarat apapun diterima asalkan bisa sembuh. Yang sakit tidak pernah meminta syarat tertentu, apakah suku, ras, agama dan kepercayaannya harus begini dan begitu.
Rasanya agak lucu kalau kita masuk rumah sakit karena ingin sembuh, tetapi sebelumnya bertanya dahulu siapa dokternya, siapa susternya. Apakah mereka sepaham dan sealiran dengan kita? Kalau memang tidak sepaham, ayo kita pulang saja, lebih baik biar saja sakit. Besok kita cari dokter atau pengobatan alternatif yang sepaham dan sealiran dengan kita. Jangan-jangan gurunya si dokter atau si dukun alternatif tadi lebih tidak sepaham dan sealiran.

Dimana ada Tuhan Yesus, pastilah disitu ada kedamaian dan sukacita. Rasanya akan menjadi aneh jika mendapat kesembuhan malah bersedih hati. Dan semuanya itu diberikan secara gratis, cuma-cuma karena belas kasih-Nya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Bagaimana dengan kita? Mengikuti jejak-Nya ataukah malah sebaliknya, mumpung dibutuhkan orang banyak. Memanfaatkan kerelaan orang, dengan menerima imbalan yang kalau bisa menguntungkan dalam segala hal. Atau seperti Paulus yang masih mau bekerja untuk menghidupi dirinya, sambil berkotbah dan menyembuhkan tanpa imbalan. Berkarya dalam pelayanan sudah menjadi panggilan yang harus dijalani dengan konsekuen. Namun emuanya itu diserahkan kepada kita masing-masing. Mau menjadi penonton (Jawanya ndelok = kendel alok), atau pelaku firman sesuai kemampuan atau malahan cuek bebek, emang gue pikirin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar