Minggu, 29 November 2009

Memahami Matius Bab 9

Bab 9. Penyembuhan, Matius, Puasa, Belas kasihan Tuhan Yesus

Orang lumpuh disembuhkan
9:1. Sesudah itu naiklah Yesus ke dalam perahu lalu menyeberang. Kemudian sampailah Ia ke kota-Nya sendiri. 9:2 Maka dibawa oranglah kepada-Nya seorang lumpuh yang terbaring di tempat tidurnya. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: "Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni." 9:3 Maka berkatalah beberapa orang ahli Taurat dalam hatinya: "Ia menghujat Allah." 9:4 Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka, lalu berkata: "Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu? 9:5 Manakah lebih mudah, mengatakan: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah dan berjalanlah? 9:6 Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa" --lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu--:"Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!" 9:7 Dan orang itupun bangun lalu pulang. 9:8 Maka orang banyak yang melihat hal itu takut lalu memuliakan Allah yang telah memberikan kuasa sedemikian itu kepada manusia.
Kembali kepada iman kepercayaan kepada Tuhan Yesus, hal yang tidak mungkin akan menjadi mungkin, termasuk kesembuhan dari penyakit. Kita juga sering menjadi ahli Taurat dengan meremehkan orang lain yang tidak sealiran dengan kita, biarpun mereka dengan nyata telah melakukan doa penyembuhan yang berhasil. Kuasa Tuhan Yesus betul-betul mengalir kepada mereka. Harus kita sadari bahwa Allah bisa berkarya melalui siapa saja, apabila Dia menghendaki. Apakah tidak semestinya kitapun ikut bersyukur dan memuliakan kasih setia Tuhan? Kitapun lebih sering berpikiran negatif lebih dahulu, karena hati, pikiran sudah diisi macam-macam. Rasanya sangat sukar sekali untuk berpikir positif, apalagi jikalau tidak menguntungkan kita. Jangan-jangan dia menjadi pesaing kita.

Kita diingatkan bahwa Anak Manusia adalah Allah sendiri yang berkuasa mengampuni dosa. Dan tidak ada seorangpun seperti Dia, kecuali Dia sendiri. Mungkin pada waktu itu masyarakat Yahudi secara umum menganggap bahwa sakit penyakit disebabkan oleh karena tidak mematuhi kehendak Allah. Tidak seiring dengan kehendak Allah berarti dosa, yang salah satu dampaknya adalah terkena penyakit. Para ahli pasti bisa menjabarkan kaitan penyakit dengan “dosa” yang dialami seseorang.

Mungkin sebagai contoh sederhana, sewaktu kita bertemu orang yang terkena serangan darah tinggi dan stroke, lumpuh sebagian tubuhnya. Terus kita ngobrol tentang asal muasal sebelum kelumpuhan itu terjadi. Anggap saja karena pola makan yang tidak terkontrol dan mengabaikan berbagai nasihat yang pernah diterimanya. Mengabaikan nasihat baik itulah kekeliruan sehingga terkena stroke. Kekeliruan tersebut bisa kita sebut sebagai salah atau dosa karena mengabaikan nasihat dan peringatan. Penyesalan akan muncul setelah segalanya terjadi, dan kemudian berusaha mencari kesembuhan. Jika orang tersebut mendapatkan kesembuhan, kira-kira apa yang akan dinasihatkan oleh si penyembuh, sebutlah dokter. Pasti kurang lebih nasihat dan peringatan yang berhubungan dengan penyebab kelumpuhan itu. Yang sudah terjadi biarlah terjadi dan mulai sekarang berubah, agar tidak terjatuh ke dalam kekeliruan lagi. Selama lumpuh, mungkin bagaikan hidup di dalam neraka dunia. Dan begitu mendapatkan kesembuhan, mungkin kebahagiaan surga dunia seperti berada di dalam genggamannya.

Kitapun terkadang masih ragu, apakah dalam Sakramen Tobat, dosa kita telah diampuni. Apakah imam yang menerima pertobatan kita secara tulus ikhlas mewakili Tuhan sendiri mengampuni dosa kita. Padahal mestinya bertanya ke dalam diri, apakah aku sudah berani berkata jujur kepada imam pengakuan. Jika aku jujur, Tuhanpun akan jujur kepadaku. Jika aku berani mengampuni, Tuhanpun pasti akan mengampuni aku. Dan sembuhlah aku dari segala dosa kesalahan yang aku akukan, dan tidak berbuat salah lagi. Masalah pribadi imam tidak ada sangkut pautnya dengan pengakuan dosa kita.

Seperti para ahli Taurat, seringkali kitapun berdebat tentang kata-kata yang cocok untuk sebuah istilah tertentu, padahal maksudnya hampir sama. Kita lebih sering lupa bahwa wawasan, pola piker, perbendaharaan kata-kata dari setiap orang bisa berbeda.
Penulispun merasa yakin bahwa pemahaman dan pengalaman pribadi yang tertulis disini tidak akan mudah dipercayai, malahan bisa-bisa dianggap menyeleweng dari ajaran gereja. Itulah risiko yang harus penulis terima, yang harus dimaklumi karena sudah berani menulis.

Matius pemungut cukai mengikut Yesus
9:9. Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku." Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia. 9:10 Kemudian ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. 9:11 Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" 9:12 Yesus mendengarnya dan berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. 9:13 Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."
Kesaksian Matius sendiri sewaktu dipilih untuk menjadi murid Tuhan Yesus, Dia hanya mengucapkan :”Ikutlah Aku.” Mungkin ada suatu karisma yang tidak bisa diuraikan dengan kata-kata, yang membuat Matius langsung saja menerima ajakan Tuhan Yesus. Jangan-jangan kalau hal tersebut terjadi pada diri kita, kita akan menjawab :”Siapakah Engkau? Mau ngapain? Enak-enak koq diajak ke yang belum jelas masa depannya.”

Dalam komunikasi rohani kami, Santo Matius mengaku berasal dari Tarsus di daerah Persia. Secara kebetulan dia bekerja sebagai pemungut cukai di Israel, dan akhirnya ditemukan oleh Tuhan Yesus sendiri. Silsilah yang ditulisnya berasal dari perbendaharaan suku Uhrzani, suku nenek moyang Abraham

Jika berani jujur, kita semua ini jangan-jangan juga sedang sakit yang membutuhkan Sang Penyembuh Sejati. Sekecil apapun kita masih sakit, entah yang jasmani ataupun yang rohani. Berbahagialah kita-kita yang masih sakit ini karena menemukan (lebih cocok ditemukan oleh) Tabib dari segala tabib, yang akan menyembuhkan kita dari penyakit yang jahat. Syaratnya hanyalah melakukan apa yang dikehendaki oleh Sang Tabib Sejati.

Tuhan Yesus kelihatannya lebih menekankan kepada belas kasihan daripada kurban persembahan. Tuhan Yesus memang tidak memerlukan persembahan dari kita, karena kita begitu miskin di hadapan-Nya. Kita diminta hanya untuk berbelas kasihan kepada sesama yang memerlukan. Belas kasihan adalah perbuatan nyata yang disesuaikan dengan kemampuan kita. Belas kasihan tidak mesti berbentuk uang atau materi. Kita sering ditantang untuk memilih : memberi atau diberi, melayani atau dilayani, membantu atau dibantu, menyenangkan orang lain atau disenangkan orang lain. Berbelas kasihan kelihatannya menjadi kunci dari segala kunci, karena merupakan aksi nyata dari perbuatan baik dan benar kepada orang lain, siapapun mereka maupun kepada seluruh ciptaan-Nya yang lain.

Dalam kenyataan hidup, rasanya kita lebih senang berkumpul dengan orang-orang sehat yang bisa memberikan kegembiraan, sendau gurau. Berkumpul dengan orang-orang yang sehaluan, sejalan, sepikir setujuan, rasanya lebih enak. Kita bisa bebas ngobrol dan membicarakan orang lain yang tidak sealiran. Mendatangi orang yang sedang sakit hanya akan memberikan keprihatinan, mengeluarkan energi, uang dan materi. Kita tidak bisa mengharapkan apa-apa dari si sakit. Padahal sisakit membutuhkan penghiburan, teman yang bisa memberikan kelegaan bahkan kesembuhan. Itulah belas kasih yang tanpa pamrih.

Namun membayangkan kalau kita sendiri yang sedang sakit dan ditengok saja, hal tersebut sudah memberikan penghiburan yang bukan main. Penghiburan yang tulus tidak dapat dinilai dengan uang dan materi. Apalagi disertai doa permohonan bagi si sakit. Pada saat tersebut yang kita butuhkan hanyalah jamahan, doa, penghiburan; bukan materi dan buah-buahan.

Hal berpuasa
9:14. Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata: "Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?" 9:15 Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. 9:16 Tidak seorangpun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabik baju itu, lalu makin besarlah koyaknya. 9:17 Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur itu terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya."
Dalam kehidupan kita sehari-hari, pertanyaan murid-murid Yohanes sering kita dengar dan terkadang malah lebih keras. “Hei! Kami sedang berpuasa! Jangan menjadi batu sandungan bagi kami!” Hal ini rasanya kebalikan dari ajaran Tuhan Yesus, bagaimana caranya agar orang lain tidak tahu bahwa kita sedang berpuasa.

Dan nyatanya, seringkali kita ini usil akan kehidupan orang lain. Rasanya lebih enak membicarakan orang atau kelompok lain daripada membicarakan diri sendiri atau kumpulan kita sendiri. Seringkali kita menuntut orang lain harus begini harus begitu, sesuai dengan selera kita. Bagi orang yang pintar berbicara, menyampaikan tuntutan itu sepertinya tidak memaksa namun secara halus menggiring dengan pelan-pelan sampai yang bersangkutan tidak sadar telah masuk dalam keinginannya.

Mungkin ada baiknya kalau kita dalam keluarga atau dalam kumpulan kecil mengadakan acara saling koreksi dengan tulus ikhlas, untuk menambah kerukunan dan persatuan. Saling menguatkan, saling mengisi, saling memberi, saling menyadari dan menyadarkan yang akhirnya dapat tumbuh berkembang bersama-sama. Yang dapat merasakan buah-buah kita adalah orang lain, bukan diri kita.

Kelihatannya Tuhan Yesus lebih menekankan kepada makna dan saat yang tepat, kapan kita berpuasa. Bukan hanya karena tradisi yang sudah membias dan sekedar ikut-ikutan tanpa makna dan ujub, hanya karena kuatir diomong orang lain. Puasa yang seperti ini kelihatannya akan menjadi mubazir, sobek atau bocor dan tidak berisi. Puasa kelihatannya diawali dengan suatu niat yang jelas, karena duka cita, keprihatinan atau keinginan tertentu. Karena segalanya dimulai dengan niat yang baik, maka buah yang akan dihasilkanpun mestinya akan baik juga. Memperhatikan situasi dan kondisi sekarang ini, jangan-jangan Tuhan Yesus menghendaki kita semua untuk berpuasa dan berpuasa. Puasa dengan niat agar Kasih dan Damai Tuhan menyinari dan menyelubungi kita semua, sehingga kerajaan Tuhan betul-betul turun ke bumi ini. Dalam saat kita sedang mengalami duka cita, apakah mungkin pada saat bersamaan bisa bersuka cita?

Penulis mencoba membayangkan sewaktu Sang Mempelai Kudus hadir dalam Ekaristi. kemudian kita santap. Tuhan Yesus beserta kita, yang mestinya kita syukuri karena Dia berkenan hadir dan memberkati. Dia bersemayam di pusat jiwa raga kita, dan memberikan kebahagian, damai sukacita. Mestinya kita tidak berpuasa karena menyantap Tubuh-Nya.

Lha kalau Dia meninggalkan kita atau sebenarnya kitalah yang meninggalkan Dia, sudah semestinya kita patut berduka. Dalam kedukaan itulah mestinya kita lupa akan makanan dan minuman maupun kesenangan lainnya. Kita berharap-harap cemas menunggu kehadiran-Nya kembali, bersatu dengan Dia yang memberikan kelegaan. Dalam kecemasan tersebut kita mencoba untuk berniat, agar Tuhan selalu beserta kita.

Anak kepala rumah ibadat - Perempuan yang sakit pendarahan disembuhkan
9:18. Sementara Yesus berbicara demikian kepada mereka, datanglah seorang kepala rumah ibadat, lalu menyembah Dia dan berkata: "Anakku perempuan baru saja meninggal, tetapi datanglah dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup." 9:19 Lalu Yesuspun bangunlah dan mengikuti orang itu bersama-sama dengan murid-murid-Nya. 9:20 Pada waktu itu seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan maju mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya. 9:21 Karena katanya dalam hatinya: "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh." 9:22 Tetapi Yesus berpaling dan memandang dia serta berkata: "Teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau." Maka sejak saat itu sembuhlah perempuan itu.
Kembali Tuhan Yesus berkenan dan mengabulkan keinginan orang yang beriman teguh. Dengan iman kepercayaan yang besar, menyenggol jumbai jubah-Nya saja bisa sembuh! Namun ada suatu hal yang perlu kita perhatikan, bahwa untuk dapat menjamah, perempuan tersebut tentu telah melakukan usaha yang besar dengan mendekati dan menyelinap di antara para murid. Mari kita bayangkan, bagaimana usaha perempuan itu agar bisa mendekati Tuhan Yesus di antara sekumpulan orang-orang yang mengikuti Dia. Mungkin si perempuan itu harus melewati banyak hambatan dari orang-orang disekelilingnya. Hambatan yang mungkin berbentuk gerutu bahkan bentakan, cemoohan ataupun bahasa tubuh yang tidak mengenakkan. Dorongan agar menjauh, bersungut atau omelan karena ikut mendesak maju, dan mungkin malah pada menjauh setelah melihat sakitnya. Pelajaran iman disertai doa dan usaha untuk lebih dekat dan semakin percaya kepada Tuhan Yesus. Dialah Sang Penyembuh dan Pengampun bagi siapa saja yang mau mencarinya dan pasrah total. Imanlah yang telah menyembuhkan dari segala kelemahan, kemudian disitulah muncul kekuatan yang mendorong untuk semakin mendekat kepada Sang Tabib Sejati.

Seringkali kita keliling dari suatu tempat ke tempat lain untuk ikut doa penyembuhan. Malahan ada orang yang menyebut Misa penyembuhan. Syukur kalau yang dicari Tuhan Yesus sendiri sebagai Sang Maha Penyembuh. Namun biasanya yang terpikir adalah mencari kesembuhan itu sendiri yang nomor satu. Kita lebih sering lupa bahwa dalam perayaan Ekaristi Tuhan Yesus hadir dan memberikan berkat-Nya. Sesederhana apapun perayaan Ekaristi tetaplah Tuhan Yesus berkenan hadir, karena kasih-Nya. Jelas disini bukan penulis tidak setuju dengan kegiatan tersebut, karena apapun yang kita inginkan dan itu baik tujuannya, syah-syah saja.

Hanya satu hal yang menjadi misteri kesembuhan yang ada di benak penulis. Iman yang menyelamatkan. Di lain waktu penulis bertambah bingung karena misteri keselamatan tersebut berbeda lagi. Penulis pernah membaca tentang penyakit atau rasa kesakitan yang dialami orang suci. Dan semuanya itu diterima dengan penuh sukacita oleh yang bersangkutan. Penyakit atau rasa kesakitan tersebut diterima sebagai anugerah dari Tuhan sendiri yang harus dijalani. Penulis merasa yakin bahwa yang bersangkutan pasti sudah “bertemu” sendiri dengan yang kudus. Dari pertemuan itu pasti ada suatu tawaran, siapkah berpartisipasi bersama dengan Tuhan. Dia dipilih secara khusus melalui penyakit dan atau rasa kesakitan yang diterima dengan rasa syukur dan permohonan bagi keselamatan orang lain. Secara nalar akan dianggap aneh tidak masuk akal. Mensyukuri yang tidak enak, terdengar begitu aneh, sebab beban dan penderitaan malahan lebih sering dihubungkan dengan yang tidak baik. Jangan-jangan yang bersangkutan malahan diisolasi.

Apakah malahan sebenarnya segala macam sakit penyakit yang kita derita ini harus kita syukuri karena memang bagian dalam perjalanan hidup kita? Kepercayaan dan kepasrahan yang teguh akan menyelamatkan kita. Dari kejadian itulah kita akan semakin mengerti akan kasih Allah yang begitu ajaib. Mestinya akan semakin mendekatkan kita kepada Tuhan. Disinilah batu sandungan yang selalu akan kita hadapi :”Apa iya, ya?Jangan-jangan …..”

9:23 Ketika Yesus tiba di rumah kepala rumah ibadat itu dan melihat peniup-peniup seruling dan orang banyak ribut, 9:24 berkatalah Ia: "Pergilah, karena anak ini tidak mati, tetapi tidur." Tetapi mereka menertawakan Dia. 9:25 Setelah orang banyak itu diusir, Yesus masuk dan memegang tangan anak itu, lalu bangkitlah anak itu. 9:26 Maka tersiarlah kabar tentang hal itu ke seluruh daerah itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun juga lebih sering menertawakan atau mencemoohkan orang lain. Meremehkan kemampuan yang dikaruniakan kepada orang lain. Jika kemampuan itu betul, kita masih sering meragukan akan kebenarannya, apakah bukan karena rekayasa atau cuma kebetulan saja. Kita merasa lebih baik dan bahkan merasa lebih dekat dengan Tuhan. Kita terbelenggu dengan istilah “pokoknya,” dan kita lupa bahwa Tuhan dapat berkarya melalui siapa saja yang Dia kehendaki. Kita harus banyak belajar cerdik, tulus dan waspada dengan tidak asal berkomentar, namun menunggu dahulu buah-buah yang dihasilkan.

Mungkin saja bagi orang sekarang anak tersebut dianggap sedang mati suri, bukan mati sungguh-sungguh. Sedang tidur! Anggaplah betul begitu, namun jangan dilupakan “daya kuasa” pegangan tangan Tuhan Yesus yang tidak bisa kita abaikan. Mungkin kita pernah merasakan daya pegangan tangan seseorang, yang membuat kita begitu terharu, terhibur, terkuatkan, termotivasi dan lain sebagainya. Pegangan tangan yang tulus dan mantap bukan hanya pegangan basa-basi. Secara tidak disadari kuasa kasih Tuhan mengalir, menyusup ke dalam tubuh orang yang tulus tersebut. Selanjutnya merembes keluar melalui tangan dan mengalir masuk ke dalam hati yang dipegangnya. Daya kuasa ini yang sering kita sebut kekuatan supra natural yang sering kita lupakan. Karunia dari Allah pasti berguna bagi kebaikan, entah apapun itu. Dan hak untuk memberi karunia berada di tangan Allah, kepada siapa Dia berkenan memberikannya. Karunia sendiri sewaktu-waktu dapat diambil oleh yang Empunya, jika sekiranya perlu diambil kembali.

Ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita. Betapa Tuhan Yesus langsung berdiri, bersedia mengikuti si kepala rumah ibadat. Padahal Dia sedang berbicara dengan orang banyak yang mengerumuni-Nya. Bangkit untuk berbuat nyata lebih penting dari hanya berbicara, walaupun itu suatu ajaran. Berbicara masih bisa ditunda lain waktu, namun berbuat langsung dan berkarya nyata harus didahulukan.

Yesus menyembuhkan mata dua orang buta dan orang bisu
9:27. Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: "Kasihanilah kami, hai Anak Daud." 9:28 Setelah Yesus masuk ke dalam sebuah rumah, datanglah kedua orang buta itu kepada-Nya dan Yesus berkata kepada mereka: "Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?" Mereka menjawab: "Ya Tuhan, kami percaya." 9:29 Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: "Jadilah kepadamu menurut imanmu." 9:30 Maka meleklah mata mereka. Dan Yesuspun dengan tegas berpesan kepada mereka, kata-Nya: "Jagalah supaya jangan seorangpun mengetahui hal ini." 9:31 Tetapi mereka keluar dan memasyhurkan Dia ke seluruh daerah itu. 9:32 Sedang kedua orang buta itu keluar, dibawalah kepada Yesus seorang bisu yang kerasukan setan. 9:33 Dan setelah setan itu diusir, dapatlah orang bisu itu berkata-kata. Maka heranlah orang banyak, katanya: "Yang demikian belum pernah dilihat orang di Israel." 9:34 Tetapi orang Farisi berkata: "Dengan kuasa penghulu setan Ia mengusir setan."
Percaya dan percaya akan kuasa Tuhan Yesus, setelah itu usaha untuk dapat menemui-Nya. Bisa kita bayangkan bagaimana usaha kedua orang buta tersebut agar bisa masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan Tuhan Yesus. Mari kita bayangkan dan renungkan akan niat dan usaha yang disertai keyakinan penuh untuk bertemu Tuhan Yesus tersebut. Diungkapkan dengan istilah “rawe-rawe rantas, malang-malang putung,” pokoknya jalan terus sampai berhasil ke tujuan. Bisa dengan usaha sendiri atau meminta pertolongan orang lain karena kelemahannya. Nyatanya Tuhan selalu mengabulkan orang yang berniat, meyakini dan berusaha menemui-Nya bahwa Dialah Sang Penghibur, Sang Penyembuh segala kelemahan.

Namun pesan Tuhan Yesus yang malah agak membingungkan, untuk jangan bercerita kepada orang lain. Ada ungkapan Jawa “nglulu” yang berarti keinginan sebaliknya. Namun Tuhan Yesus pasti bukan nglulu dengan maksud tertentu. Bercerita kepada orang lain memang dapat memberikan sikap dan pendapat yang bermacam-macam. Tidak semua orang mau mendengarkan, apalagi bila yang bercerita sudah dianggap rendah, kecil, bodoh dan tak bernilai. Hanya seperti itu saja digembar-gemborkan, memangnya ada sesuatu yang begitu hebat?

Sebagai manusia, biasanya suatu kegembiraan yang dialami sangat sulit untuk tidak disampaikan kepada orang lain. Bagi kedua orang buta tersebut yang menerima mujizat kesembuhan pastilah kejadian yang bukan main hebatnya. Rasanya ada kepuasan tersendiri apabila dapat menyampaikan kabar suka cita yang dapat mengubah perjalanan hidup selanjutnya. Perasaan plong, lega penuh kegembiraan yang sukar diungkapkan. Mungkin zaman sekarang ini hal tersebut yang kita kenal dengan istilah sharing, kesaksian iman. Apakah kita diajar untuk selalu bersikap biasa, agar kegembiraan atau kesedihan kita jangan diketahui oleh orang lain? Yang jelas Tuhan Yesus begitu rendah hati tanpa ada rasa ingin menyombongkan diri, tidak ingin promosi. Istilah Jawa “getok tular” dari mulut ke mulut kelihatannya lebih tepat. Biarlah hanya yang percaya saja yang akan disembuhkan dan mengalami mukjizat. Dan biarlah mereka yang mengungkapkan suka citanya kepada orang lain tanpa tekanan. Agak berbeda dengan model promosi “jika puas ceritakan kepada orang lain namun jika sebaliknya ceritakan kepada kami saja.”

Demikian juga bagi orang bisu karena kerasukan roh jahat, pastilah menjadi pengalaman hidup yang tidak terlupakan. Dari bisu menjadi bisa berbicara bukanlah hal yang sepele. Ada rasa sukacita yang sulit untuk diuraikan dengan kata-kata. Rasanya tidak ada perbendaharaan kata yang pas untuk mengungkapkannya. Namun demikian masih ada saja orang yang iri dengki karena tidak bisa berbuat seperti Tuhan Yesus.

Jangan-jangan kitapun sering berbuat seperti yang dilakukan oleh orang Farisi yang iri tersebut. Kita hanya bisa berkomentar, ngomong atau malahan membual dengan teori yang hebat, menilai kekurangannya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaikan penonton sepak bola yang berteriak tidak puas karena ada pemain yang tidak bisa memasukkan bola ke gawang lawan. Istilah Jawa “ndelok” kendel alok, berani mengkritik karena hanya sebagai penonton. Jika disuruh turun ke lapangan, jangan-jangan laripun sudah tidak kuat, apalagi menendang bola ke gawang lawan. Kita sering lupa bahwa kitapun akan dinilai oleh orang lain, seperti apa yang mereka lihat maupun mereka dengar.

Belas kasihan Yesus terhadap orang banyak
9:35. Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. 9:36 Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. 9:37 Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. 9:38 Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu."
Seperti saat ini, rasanya memang begitu sedikit jumlah “pekerja” dibandingkan domba-domba yang haus dan lapar, yang membutuhkan gembala. Banyak domba-domba yang tidak tahu harus kemana mereka mencari air dan rumput hijau. Untuk itu kita diminta untuk selalu berdoa dan memohon agar dikirim pekerja-pekerja ke seluruh pelosok bumi.
Yang susah adalah kita lebih sering mengatakan :”Jangan anakku, tetapi yang lain sajalah.” Siapa yang akan melanjutkan keturunanku nanti? Jangan-jangan kita terjebak dengan pengertian bahwa yang disebut gembala atau penuai harus selalu menjadi imam, pastor. Menurut penulis, siapapun bisa menjadi penuai jika Tuhan menghendaki dan kita siap, bersedia dipanggil untuk menjadi pekerja-Nya. Begitu kita dibaptis dan menjadi anak-anak Allah, mestinya kita siap untuk diutus menjadi pembawa kabar suka cita dari Tuhan. Suka cita yang kita alami perlu kita sebarkan kepada orang lain, agar orang lain yang sedang mencari suka cita tersebut mendapatkan dan mengalami juga.

Bagi penulis, menyebarkan suka cita agak berbeda dengan kristenisasi. Biarlah harumnya sukacita itu menyebar keluar dari kehidupan kita, dapat dicium dan dirasakan oleh orang lain. Orang lain yang mendambakan dan merindukan aroma nikmat suka cita itu, pada waktunya mereka akan mencari dan bertanya, dari manakah sumber suka cita tersebut. Seperti Tuhan Yesus yang tidak pernah promosi, namun memberikan contoh nyata melalui kehidupan sehari-hari. Sepertinya Tuhan Yesus belum pernah ngomong tentang ide atau gagasan untuk mencapai sesuatu. Lumaku tumuju, kata orang Jawa. Berjalan dan berjalan maka akan sampai ke tujuan. Memohon dan memohon disertai usaha dan usaha, biarlah Tuhan yang membuka serta menyelesaikan sisanya.

Bab 8 dan 9 ini banyak sekali mengajarkan kepada kita tentang penyembuhan yang dilakukan Tuhan Yesus bagi orang yang beriman, melalui niat, dan terus bangkit berusaha menemui Dia. Percaya namun tidak mau bangkit bergerak maka tidak akan berubah; Niat namun tidak bangkit berusaha maka bagikan mimpi indah dan berhenti di angan-angan. Begitu terbangun akan kaget bahwa hal tersebut baru dalam mimpi. Lebih baik bergerak satu langkah demi satu langkah, daripada berjalan di tempat. Memang menggerakkan langkah pertama tersebut yang terasa paling berat, seperti ada yang menaha.

Tuhan, dimanakah Engkau sekarang ini? Masihkah Engkau berada di sini?Aku merasa buta tidak bisa melihat-Mu. Aku merasa tuli tidak bisa mendengar suara-Mu. Aku merasa tida bisa mencium aroma kasih-Mu. Aku merasa mati rasa tidak bisa mengenal sentuhan-Mu. Aku merasa begitu hina berada di dekat-Mu. Semuanya ini karena dosa-dosaku, kesombonganku, keserakahanku, keirianku. Ampunilah aku yang berdosa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar