Senin, 07 Desember 2009

Memahami Lukas Bab10

Bab 10- Pengutusan, Kecaman, Maria dan Marta

Mengutus tujuhpuluh Murid
10:1. Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya. 10:2 Kata-Nya kepada mereka: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. 10:3 Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. 10:4 Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapapun selama dalam perjalanan. 10:5 Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. 10:6 Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. 10:7 Tinggallah dalam rumah itu, makan dan minumlah apa yang diberikan orang kepadamu, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. Janganlah berpindah-pindah rumah. 10:8 Dan jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu diterima di situ, makanlah apa yang dihidangkan kepadamu, 10:9 dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu. 10:10 Tetapi jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu tidak diterima di situ, pergilah ke jalan-jalan raya kota itu dan serukanlah: 10:11 Juga debu kotamu yang melekat pada kaki kami, kami kebaskan di depanmu; tetapi ketahuilah ini: Kerajaan Allah sudah dekat.
10:12 Aku berkata kepadamu: pada hari itu Sodom akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu."
Dalam pemahaman penulis, sepertinya Tuhan Yesus mengutus murid-murid mendahului sebagai pembuka jalan, sebelum Dia sendiri datang ke kampung itu. Jumlah tujuhpuluh sepertinya menunjukkan bahwa yang diutus mendahului begitu banyak dan mereka tidak sendirian. Berdua berarti ada teman seperjalanan, teman ngobrol segala macam, bisa saling mengisi, saling menguatkan, saling berbagi dan saling bersaksi. Para murid ini kelihatannya berbeda dengan para rasul yang duabelas.

Meminta kepada yang empunya tuaian agar mengirimkan pekerjanya, sepertinya mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa dan memohon agar selalu ada yang bersedia menjadi para gembala bagi domba-domba-Nya. Seringkali kita merasakan bahwa kita kekurangan gembala, apalagi yang di pelosok-pelosok. Gembala yang ada menjadi begitu sibuk sampai tidak sempat menyambangi para domba yang begitu mendambakan kunjungan. Dan kenyataannya, gereja tetap hidup sampai sekarang dan selama-lamanya.

Para murid ini dikatakan seperti anak domba yang dilepas ke tengah-tengah serigala. Pasti disaat mereka berkarya akan banyak yang tidak suka kepada mereka. Ketidak sukaan ini bisa karena bermacam-macam alasan, tergantung dari sudut mana para serigala ini memandangnya. Dalam Matius dikatakan bahwa mereka perlu cerdik seperti ular namun tulus seperti merpati dan selalu waspada terhadap segala sesuatu.

Dalam benak kita sepertinya sudah terisi bahwa ular itu simbul yang jahat. Mungkin hal ini karena sudah terkontaminasi terlebih dahulu oleh ular yang mengganggu Hawa. Namun Tuhan Yesus malah memilih simbul ular untuk kecerdikan, agar tetap bisa bertahan hidup. Cerdik saja belum cukup karena dalam kecerdikan sering bisa merugikan pihak lain. Makanya perlu tulus seperti merpati, yang juga menjadi simbul Roh Kudus. Ungkapan Jawa sepertinya cukup cocok untuk karya keselamatan, “nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.” Maju tanpa membawa bala tentara dan menang tanpa mengalahkan. Bagaikan perang merebut jiwa-jiwa yang dikuasai Iblis tanpa perang phisik yang berdarah-darah.

Hebatnya, dalam perjalanan mereka dilarang membawa apapun yang berhubungan dengan duniawi. Mereka diminta hanya untuk fokus mewartakan Kerajaan Allah. Ungkapan Jawa “lumaku tumuju” rasanya agak sesuai dengan ajaran-Nya. Sampai-sampai diungkapkan tidak usah ber-hai-hallo yang tidak perlu. Mungkin hal ini dapat menimbulkan pemikiran yang melenceng dari fokus pewartaan itu sendiri. Karena bersalam-salaman dan ngobrol sewaktu dalam perjalanan, bisa saja obrolan yang terjadi malah melantur kemana-mana, yang ujung-ujungnya malah tidak sesuai dengan misi pewartaan. Profanisasi inilah yang perlu dihindari, bukan kerena meninggalkan adat istiadat yang selama ini dianggap baik.

Di zaman sekarang ini biasanya kebutuhan duniawi malah yang diutamakan lebih dahulu. Jika kita diutus untuk apapun, kita akan bertanya bagaimana dengan biaya transportasi, biaya makan, biaya nginap dan uang saku. Terus kita berpikir berapa banyak pakaian yang harus disiapkan untuk perjalanan tersebut. Kalau di tempat tujuan nanti dijamu atau mendapatkan akomodasi maka kita akan “bersyukur” karena ada biaya-biaya yang utuh di kantong. Lama kelamaan malahan biaya-biaya ini yang selalu kita harapkan, dan kita akan menyusun seribusatu macam alasan untuk pembenaran diri. Kita kan masih hidup di dunia, bukan di surga; dan kita masih sangat membutuhkan hal-hal duniawi.

Ucapan salam damai sejahtera nyatanya sudah diajarkan sendiri oleh Tuhan Yesus. Mau diterjemahkan kedalam bahasa apapun hal tersebut tidak masalah karena yang lebih penting adalah ucapan tulus dari hati nurani. Seringkali kita menghindari ucapan-ucapan karena bahasanya kita identikkan tidak sesuai dengan pengertian kita. Pada batas-batas tertentu bisa jadi kita jangan-jangan malah akan mengkultuskan suatu bahasa.

Jangan berpindah-pindah rumah, dalam pemahaman penulis mengajarkan kepada kita untuk menerima apa adanya, segala sesuatu yang sudah kita pilih, kita setujui. Jangan hanya karena tidak sesuai dengan selera kita, terus kita berpindah tempat. Kalau diurut ke belakang, mengapa rumah tersebut yang kita tuju, bukan yang lainnya dahulu. Yang kedua mungkin saja dengan kepindahan tersebut malah membuat batu sandungan, membuat orang tidak enak hati.

Hal tersebut di atas ditekankan lagi, makanlah apa yang dihidangkan tidak usah komentar macam-macam. Sudah diberi hidangan saja mestinya berterima kasih. Anggaplah hidangan tersebut adalah yang terbaik yang bisa dihidangkan. Komentar gurau tanpa kita sadari seringkali membuat orang bersangkutan merasa tidak enak, malahan sakit hati. Seringkali kita begitu pintar untuk berkomentar akan sesuatu, padahal belum tentu kita bisa berbuat seperti itu. Belajar memaklumi akan kekurangan atau kelebihan orang lain nyatanya tidak begitu mudah. Inginnya kita berkomentar hanya disesuaikan dengan selera kita, padahal kalau selera kita yang dikomentari jangan-jangan malah meradang.

Mungkin hal ini bisa juga kita terapkan sewaktu kita berkarya atau bekerja, bahkan berumah tangga yang menjadi bagian perjalanan hidup kita. Seringkali kesuksesan atau keberhasilan selalu kita hubungan dengan hal-hal duniawi dan mengejar materi.

Ajaran Kerajaan Allah sudah dekat, karena Tuhan Yesus sendiri sudah hadir di dunia secara nyata. Dalam pemahaman penulis, seolah-olah Tuhan Yesus mengajarkan kepada para murid yang diutus :”Apapun yang kalian alami, jangan lupa untuk mengatakan bahwa Aku sudah dekat. Sebentar lagi akan sampai dan menemui mereka sendiri.” Tandanya adalah penyembuhan yang dilakukan oleh para murid. Jikalau murid-Nya saja bisa membuat mukjizat, apalagi guru-Nya. Demikian juga untuk kota-kota yang tidak mau menerima murid-murid-Nya, pesan tersebut masih juga berlaku.

Satu hal lagi bahwa Tuhan Yesus memberi kecaman atau peringatan keras kepada mereka yang tidak mau menerima para murid-Nya. Mereka dikecam karena dianggap telah meninggalkan budaya tolong menolong, memberi tumpangan kepada pengelana yang membutuhkan tempat berteduh. Namun juga harus tetap disampaikan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat kepada mereka juga.

Mengebaskan debu dari kaki dalam pemahaman penulis adalah jangan ada rasa dendam atau benci yang menjadi ganjalan. Mungkin kata-kata tersebut suatu ungkapan yang berarti sebaliknya. Masalah menghakimi bukan urusan kita karena ada Sang Hakim yang akan mengadili pada waktunya. Seringkali suatu tanda, omongan, atau apapun namanya, mengingatkan kita kepada kejadian masa lalu yang membuat tidak menyenangkan atau sebaliknya. Pengalaman yang tidak mengenakkan biasanya lebih lengket daripada pengalaman yang menyenangkan. Sedikit banyak pasti akan menjadi beban karena bisa mengganggu pikiran. Mengapa hal tersebut dipertahankan, padahal tahu melukai batin. Mungkin akan lebih baik kalau debu-debu beban tersebut kita bersihkan dari dalam diri kita.

Dari awal Tuhan Yesus sudah mengatakan bahwa para murid yang diutus bagaikan anak domba di tengah-tengah serigala. Kita bisa membayangkan ungkapan tersebut bahwa segalanya tidak selalu berjalan mulus dan mudah. Banyak hambatan dan halangan yang menghadang yang harus tetap dihadapi dan dilalui. Tanpa kecerdikan dan ketulusan, jangan-jangan akan dirobek-robek oleh taring serigala yang ganas. Mungkin merekalah misionaris-misionaris pertama yang mewartakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat.

Mereka diajar untuk tidak kawatir akan apapun yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani. Namun ada satu hal yang membuat bingung karena dilarang memberi salam sewaktu dalam perjalanan. Mengapa dilarang memberi salam di perjalanan? Menurut pemahaman penulis, salam agaknya berbeda dengan ucapan “say hello” ataupun anggukan dan senyuman biasa. Salam yang diucapkan sembarangan jangan-jangan malah menjadi penghambat di perjalanan. Bisa-bisa lupa kepada tujuan pokok yang direncanakan sejak awal.

Sejak awal juga Tuhan Yesus sudah mengajarkan ucapan salam damai sejahtera, kalau kita mengunjungi ke rumah seseorang. Yang penting untuk tidak melupakan ucapan salam damai sejahtera tersebut, kepada siapapun saja mereka. Selanjutnya kita diajar juga untuk menerima apapun yang disuguhkan oleh tuan rumah. Sepertinya kita diajar untuk menghargai segala macam pemberian, entah enak atau tidak. Itulah kemampuan dan keikhlasan yang dapat diberikan kepada pengelana yang mampir ke rumahnya. Kitapun diajar untuk kerasan atau betah tinggal di rumah singgah tersebut.

Hebatnya, para murid dibekali dengan kuasa menyembuhkan bagi orang yang membutuhkan. Kuasa tersebut bagaikan bekal yang dapat habis, bukan untuk selama hidup. Kuasa yang dititipkan untuk sementara, yang lebih menekankan bahwa Tuhan Yesus berkarya atas para murid. Yang disembuhkan jangan sampai keliru memuji para murid, namun pujilah yang mengutus-Nya. Sang Kerajaan Allah sudah dekat kepada mereka, yang pada waktunya akan berada di hadapan mereka.

Peringatan kepada beberapa Kota
10:13 "Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung. 10:14 Akan tetapi pada waktu penghakiman, tanggungan Tirus dan Sidon akan lebih ringan dari pada tanggunganmu. 10:15 Dan engkau Kapernaum, apakah engkau akan dinaikkan sampai ke langit? Tidak, engkau akan diturunkan sampai ke dunia orang mati! 10:16 Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku."
Kelihatannya disini Tuhan Yesus memberikan peringatan keras bagi beberapa kota. Khorazim, Betsaida dan Kapernaum dimana Tuhan Yesus pernah tinggal, karena tidak melaksanakan ajaran-Nya. Padahal Tuhan Yesus telah banyak berbuat dan berkarya yang menakjubkan. Apakah mungkin pada waktu itu Tuhan Yesus hanya dianggap sebagai dukun sakti saja? Ataukah hanya sedikit saja yang mau berubah? Apakah mereka begitu dingin dengan ajaran-Nya? Apakah mereka lebih memikirkan perut dengan aneka makanan dan buah-buahan?

Tirus dan Sidon di pesisir utara yang belum dikunjungi dan belum mengenal Tuhan Yesus, dikatakan tanggungan hukumannya akan lebih ringan. Mungkin hal ini mengajarkan kepada kita, untuk bisa memaklumi orang yang belum tahu dan mengerti siapa itu Tuhan Yesus.

Dalam pemahaman penulis, berbahagialah mereka yang tidak tahu sama sekali bahwa mereka telah berbuat dosa. Perasaan berbuat dosa atau melakukan yang salah boleh dikatakan hanya berlaku bagi orang yang sudah tahu bahwa itu disadari memang dosa atau salah.

Kita bisa melihat anak-anak kecil yang belum tahu apa-apa, akan berbuat apapun dan tidak merasa keliru. Sewaktu merangkak dan belajar berjalan, apapun yang dilihatnya apabila menarik bisa dimakan. Bagi orang dewasa mungkin yang dimakan tersebut barang kotor atau malah menjijikkan. Anak-anak tersebut tidak takut untuk memegang cacing ataupun ulat. Dengan gembiranya mereka bermain dalam keadaan telanjang dan tidak ada perasaan malu. Mereka bisa bertengkar dan menangis, namun setelah itu main bersama kembali tanpa rasa dendam.

Sudah tahu itu keliru, tetapi tetap nekat melakukannya memang pantas untuk dikecam. Contoh gampangnya saja, para penegak hukum yang berbuat salah menurut undang-undang, mestinya hukumannya lebih berat dibanding orang awam yang tidak tahu hukum. Bukan sebaliknya, karena pandai bersilat lidah dan melupakan kata hati nurani yang paling dalam. Menang dalam berdebat, maka ada kemungkinan akan lebih ringan hukumannya. Yang penting harus dapat dibuktikan secara nyata ataupun adanya pengakuan diri. Kita sering lupa bahwa ada Sang Hakim Tunggal yang selalu melihat apapun, termasuk yang tidak kelihatan secara kasat mata.

Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun sering berbuat yang sama dengan mereka. Sering kali kita begitu menginginkan adanya misa penyembuhan, dan orang berduyun-duyun berdatangan. Padahal kita tahu bahwa misa adalah misa, dimanapun sama saja. Kita tahu bahwa pada saat misa kudus Tuhan Yesus sendiri berkenan hadir. Sedangkan yang namanya penyembuhan dapat terjadi dimanapun, apakah melalui penyembuh ataupun karunia Tuhan yang diberikan kepada kita. Mestinya di dalam misa kudus kapanpun, kita bisa ngobrol dengan Tuhan sendiri, menyampaikan segala macam uneg-uneg. Kita bisa berbicara apa saja dengan Dia yang selalu menyertai atau malahan bersatu dengan kita.

Selanjutnya Tuhan Yesus menekankan bahwa semua utusan-Nya tidak usah memaksakan kehendak dalam mewartakan Kerajaan Allah. Setiap orang boleh mendengarkan ataupun menolak kabar keselamatan. Tuhan sendiri yang akan menilai dan menentukan apakah setiap orang dianggap mendengarkan atau menolak Dia.

Ada janji Tuhan Yesus yang menyejukkan, siapa saja yang mendengarkan ajaran-Nya, berarti mendengarkan Dia. Jika ditolak, berarti yang ditolak adalah Tuhan Yesus, yang sama saja menolak Allah Bapa. Jadi kalau utusan-Nya dianiaya, sebenarnya yang dianiaya itu Tuhan Yesus sendiri. Jangan-jangan kitapun sering menolak dan menganiaya Tuhan Yesus dan utusan-Nya. Mari kita renungkan masing-masing.

Ke tujuhpuluh Murid Kembali
10:17. Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata: "Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu." 10:18 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit. 10:19 Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu. 10:20 Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga."
Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu. Kalimat ini sepertinya suatu peringatan kepada kita agar hati-hati dan tetap merendah. Hal-hal seperti inilah yang biasanya kita banggakan dan kita merasa hebat, masuk dalam kelompok orang pilihan. Mungkin akan banyak orang yang mengundang untuk berbicara atau berbuat sesuatu. Dan Tuhan menegaskan bahwa semua itu karena karya dan kuasa Tuhan Yesus sendiri yang disalurkan melalui murid-murid-Nya. Sukacita yang berlebihan seringkali malah menjadikan batu sandungan dalam perjalanan selanjutnya. Karena pujian sering membuat lupa diri bahwa semua karunia kuasa tersebut hanya titipan yang tidak selalu langgeng. Apa jadinya kalau karunia kuasa tersebut diambil lagi oleh yang empunya?

Tuhan Yesus lebih menekankan yang rohani dan itu lebih penting. Bersukacita karena namanya tercatat di sorga. Semua ini janji Tuhan Yesus sendiri, dimana Dia maha setia dengan janji-Nya. Pada saat sekarang ini pertanyaannya, bagaimana caranya agar janji Tuhan Yesus tersebut juga berlaku bagi kita. Apa yang harus kita lakukan, bagaimana langkah tahapannya dan lain-lain. Penulis merasa yakin banyak orang bisa menjawabnya, namun untuk melaksanakan melalui perbuatan nyata, hanya kita masing-masing yang tahu.

Penulis mencoba membayangkan apabila kata-kata tersebut ditujukan kepada penulis. Pasti pada saat tersebut hati begitu gembira penuh sukacita yang susah untuk diungkapkan. Niat awal pasti menggebu ingin berbagi kegembiraan kepada saudara-saudara yang lain. Mungkin ada yang mau menerima, namun pasti ada juga yang ragu-ragu dan menolak entah secara halus atau sebaliknya. Komitmen awal yang menggebu-gebu tersebut bila tidak mendapat respon yang baik, jangan-jangan secara perlahan akan meluntur. Antusias mewartakan kabar keselamatan semakin kabur, karena harapan yang dikhayalkan terasa semakin jauh. Apalagi dalam situasi dan kondisi yang serba sulit, dimana kebutuhan untuk hidup duniawi semakin dirasakan.

Mungkin Roh Kudus menyentuh hati ini untuk tidak lupa dengan niat awal yang diikrarkan. Akalbudi jahat menjawab dengan seribusatu macam alasan. “Tuhan, mohon maaf. Saat-saat ini aku sedang sibuk dengan kebutuhan duniawiku. Nanti kalau sudah beres dan ada waktu akan aku teruskan karya tersebut.” Dan dalam perjalanan waktu selanjutnya, sepertinya tetap tidak ada waktu untuk melaksanakan karya yang diminta oleh Tuhan. Nyatanya berdoa dan bangkit berubah saja tidak cukup. Harus ada niat yang teguh dan setia dengan janji, siap menerima risiko apapun. Lumaku tumuju yang kurang lebih berjalan terus, pada saatnya pasti sampai tujuan.

Banyak hal yang harus dilaksanakan dan memerlukan pengorbanan. Menyediakan waktu yang cukup secara rutin. Waktu untuk membaca Kitab Suci dan buku-buku rohani lainnya. Waktu untuk ngobrol rohani dengan Tuhan dan yang kudus. Waktu untuk ngobrol rohani dengan keluarga dan orang lain. Waktu untuk berkarya dalam perbuatan nyata, apapun itu. Mungkin masih banyak lagi waktu-waktu untuk yang lainnya.

Masih ada hal-hal lain yang mungkin lebih penting dan berat, menyangkut hati, perasaan akalbudi ketulusan dan sejenisnya. Pengorbanan total, harus siap tersakiti karena melayani, siap menjadi alas kaki (kesed) atau keranjang sampah dengan penuh sukacita. Pengorbanan diri dari waktu, tenaga, materi, pikiran dan perkataan, dan mungkin teraniaya. Setiap pekerja akan mendapat upah pada waktunya

Seringkali kita merasa terbentur waktu dan tenaga yang tidak mencukupi, kemudian mencoba mengatur waktu yang sebaik-baiknya. Padahal kita tahu dan mengerti bahwa waktu tidak pernah habis, selama kita masih diberi hidup. Kita sudah terbiasa membagi waktu siang hari untuk bekerja dan berkarya, kemudian malam hari untuk keluarga dan istirahat. Pertengahan malam sampai pagi hari untuk tidur, mengistirahatkan jiwa dan raga. Mestinya kita meniru apa yang dilakukan oleh pelayan atau pembantu rumah tangga. Jam berapapun diminta untuk melaksanakan sesuatu selalu siap, walupun capai dan mengantuk.
Ucapan Syukur dan Bahagia
10:21 Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. 10:22 Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu."
Penulis membayangkan bahwa Tuhan Yesus sedang ngobrol bertiga dengan Bapa dalam Roh Kudus. Sebagai Anak Manusia sejati, Dia memberi contoh nyata bagaimana berdoa spontan kepada Allah Bapa yang tidak kelihatan. Tanpa ada penjelasan tata gerak tubuh yang dilakukan Tuhan Yesus, kita bisa membayangkan bahwa Dia sepertinya menengadah ke atas dan berkata begitu saja kepada Allah Bapa. Orang-orang di sekitarnya bisa melihat dan mendengar apa yang dilakukan secara spontan tersebut.

Dalam pemahaman penulis, sepertinya banyak ajaran Tuhan Yesus pada waktu itu yang sulit untuk diterima oleh para cerdik pandai. Mungkin hati nurani dapat menerima namun akalbudi yang kelihatan selalu menolak. Orang bijak dan orang pandai lebih banyak memakai nalar atau akalbudinya. Hampir segalanya diperhitungkan dengan logika, sebab dan akibat yang dapat diterima. Mereka jangan-jangan melihat sesuatu yang sederhana malah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi sulit dan kompleks. Segala sesuatunya yang mungkin sepele harus dapat dijabarkan secara ilmiah, yang jangan-jangan malah melenceng dari inti kesederhanaan itu sendiri.

Jangan-jangan di zaman sekarangpun masih banyak orang bijak dan pandai yang belum bisa menemukan apa yang tersembunyi tersebut. Dengan kepandaian dan kebijakannya, malahan mereka hebat dalam berdebat, mengomentari segala sesuatu. Begitu debatnya selesai karena waktu, keadaan kembali seperti semula. Tidak bisa menjadi agen perubahan yang membawa ke arah kesejahteraan dan keadilan, serta dinikmati banyak orang. Mestinya orang-orang kecil ini dapat merasakan dengan penuh syukur, bagaimana para bijak dan pandai ini berbuat nyata. Masyarakat kecil mendukung dan bergotong royong untuk menuju ke perubahan yang lebih baik.

Orang kecil dan sederhana lebih merasa sebagai orang yang bukan apa-apa, merasa tidak berarti. Mereka dengan kesederhanaannya malah lebih mudah untuk menerima ajaran Tuhan. Segalanya diterima apa adanya tanpa perlu berpikir mengasah otak untuk menguraikannya. Segalanya dirasakan sebagai karunia dan kehendak Yang Kuasa, sehingga yang dapat dilakukan hanya bersyukur.

Kelihatannya semakin kecil, semakin bukan apa-apa, semakin tidak berarti seseorang, Tuhan Yesus semakin berkenan. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, harus kita akui bahwa inginnya diakui orang lain. Diakui orang lain berarti ada kelebihan yang kalau bisa harus kelihatan nyata, apapun itu. Nyatanya cukup berat dan susah untuk menjadi tidak berarti dianggap orang kecil dan sederhana. Mungkin hati dan jiwa ini harus bisa mengalahkan akalbudi lebih dahulu, agar kedagingan takluk oleh roh yang lebih penurut.

Semua orang tahu bahwa mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang empunya adalah perbuatan keliru dan tidak baik. Bagi orang pandai, jangan-jangan setelah dianalisa dan ditelusuri secara mendalam untuk mencari pembenaran, orang yang mengambil tersebut malah dibenarkan. Padahal awal mulanya hanya bicara perbuatan yang keliru dan tidak baik.

Pada ayat selanjutnya dikatakan bahwa tidak semua orang mengenal siapa sebenarnya Anak Manusia ataupun Allah Bapa. Dan hal tersebut masih berjalan sampai sekarang entah sampai kapan. Yang tahu hanya orang-orang yang mendapatkan perkenan dari Tuhan Yesus sendiri. Jangan-jangan kitapun sebenarnya juga tidak tahu siapakah Dia, dan hanya ikut-ikutan saja bagaimana kata orang. Kita tidak sadar bahwa sebenarnya Dialah yang memilih kita dengan cara yang begitu misteri.

Kalau kita renungkan secara mendalam, siapakah yang tahu bahwa Tuhan Yesus adalah manusia sejati namun juga Allah sejati? Banyak orang tidak percaya bahwa Sang Anak Manusia adalah Allah sendiri. Masak Allah turun ke dunia menjelma menjadi manusia. Dengan segala kuasa-Nya kan bisa berbuat sesuatu untuk menghardik manusia ini karena berkelakuan yang tidak benar. Memang dalam hal ini sepertinya kita merasa lebih mengenal siapakah itu Allah Sang Maha Pencipta. Kita sesuaikan dengan kemampuan hati nalar pikiran kita. Sepertinya pernah bertemu sendiri dan menggambarkan begini dan begitu serta patent. Seolah-olah kita lebih tahu dan seringkali tanpa sadar Allah itu malah dibawah pengaruh kita. Allah Bapa Yang Maha Kuasa kita jadikan penunggu sorga dan kuasa-Nya kita ambil alih untuk kita manfaatkan di dunia ini.

Yang tahu siapakah Allah Bapa sebenarnya ya hanya Allah Putera sendiri karena ya Dia-Dia juga. Manusia yang tahu siapakah Dia sebenarnya ya hanya mereka yang mendapat perkenan-Nya untuk tahu. Mengerti dan tahu yang bukan berarti tahu segala-galanya. Manusia tidak akan mungkin tahu persis siapakah Sang Pencipta. Seperti halnya tidak akan mungkin tahu persis apa dan bagaimana itu sorga dan neraka. Kecuali yang merasa pernah ke sana dan keliling sampai tuntas dari ujung ke ujung tanpa batas. Mungkin nalar kita tidak akan sampai, untuk bisa menjelaskan dengan begitu gamblang. Tuhan Yesus malah lebih menekankan untuk percaya dulu. Gambaran surga atau Kerajaan Allah malah diberikan dalam perumpamaan-perumpamaan.

10:23 Sesudah itu berpalinglah Yesus kepada murid-murid-Nya tersendiri dan berkata: "Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat. 10:24 Karena Aku berkata kepada kamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya."
Penulis hanya bisa mengatakan :”Berbahagialah orang yang pernah melihat Tuhan Yesus, dari dahulu sampai sekarang.” Kalimat Tuhan Yesus sebenarnya hanya ditujukan kepada para murid-Nya. Dan pada waktu itu banyak orang yang sudah melihat Dia, bahkan melihat atau merasakan kemampuan-Nya. Mungkin banyak yang tidak bahagia menurut Tuhan Yesus, karena tidak mau bangkit dan berubah setelah melihat Dia.

Kembali kepada nalar manusia, penulispun merasa yakin bahwa Tuhan Yesus masih berkarya sampai sekarang. Mungkin masih banyak orang dari setiap generasi yang pernah melihat Dia, bahkan ngobrol bersama Dia. Jangan-jangan kita semua dalam hati kecil juga mengharapkan dapat melihat dan ngobrol dengan-Nya secara nyata. Bila Tuhan Yesus berkenan memperlihatkan diri-Nya kepada manusia setelah kenaikan-Nya ke sorga, itu hak dan kuasa Dia. Bukan manusia yang mengatur Tuhan. Pasti ada sesuatu yang penting yang perlu disampaikan sendiri oleh Tuhan Yesus.

Contoh nyata adalah Saulus yang sampai berubah nama menjadi Paulus. Di awalnya pasti banyak orang tidak percaya kalau Saulus bisa berubah menjadi pembela Kristus. Saulus yang begitu menuntut dan ingin menyingkirkan serta membunuh para pengikut Kristus dibuat terpana dan buta sesaat, ketika ditemui Tuhan Yesus. Kemudian Saulus mematikan dirinya yang lama, menemukan hidup baru dengan nama baru. Paulus menjadi pelayan Tuhan dan mengecilkan dirinya sendiri, agar Tuhan Yesus bisa berkarya dengan bebas melalui dia. Masalah percaya dan tidak percaya, mungkin itu soal waktu yang akan bekerja. Nyatanya banyak nabi dan raja yang sangat ingin melihat dan mendengarkan ajaran-Nya, namun tidak kesampaian.

Jika kita membaca nubuat-nubuat akan kedatangan Tuhan Yesus dalam Kitab Perjanjian Lama, kita bisa membayangkan bagaimana para nabi dan raja mendambakan-Nya. Mereka ingin berhadapan langsung dengan Sang Mesias, ingin mendapat pengajaran dari tangan pertama. Mungkin nabi yang pernah bertemu dan ngobrol dengan Tuhan Yesus hanya Yohanes Pembaptis dan orang tuanya.

Kitapun inginnya bisa bertemu langsung dengan Tuhan Yesus, memandang wajah-Nya dan mendengarkan ajaran-Nya. Tetapi jangan-jangan malah menyangkal dan tidak percaya, dan akhirnya tidak melaksanakan segala kehenak-Nya. Sama seperti penulis yang hanya bisa menulis, namun belum bisa melakukan ajaran-Nya dengan baik dan benar secara sungguh-sungguh. Ketularan penyakit orang pandai dan bijak.

Perumpamaan Orang Samaria yang murah hati
10:25. Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" 10:26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?" 10:27 Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." 10:28 Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."
Tuhan Yesus dalam hal ini mengamini kata-kata ahli Taurat yang berpegang kepada hukum Taurat. Untuk memperoleh hidup kekal kelihatannya begitu mudah dan sederhana sekali. Mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan dan segenap akal budi. Kemudian mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Siapapun yang berbuat demikian maka akan memperoleh hidup kekal. Yang kelihatan sederhana tadi akan menjadi begitu sulit dan susah melakukannya, begitu ego ini tidak mau mengalah. Bagaimana caranya mengasihi Tuhan Allah kita secara nyata? Padahal harus dengan segenap jiwa, hati, akal budi dan kekuatan kita. Dan bagaimana mengasihi sesama itu, praktek nyatanya itu seperti apa. Adakah tahapan-tahapan proses atau menggelinding begitu saja?

Penulispun bingung untuk menguraikannya, namun yang terbersit dalam hati adalah kehidupan yang kasat mata ini. Mengasihi memerlukan proses perubahan terus menerus. Setiap orang harus berani bangkit dan berubah untuk belajar mengasihi diri sendiri. Mengasihi diri sendiri secara jasmani dan yang lebih penting secara rohani. Mengasihi rohani yang tidak kasat mata diungkapkan melalui perbuatan jasmani yang kasat mata. Gampangnya, diri ini harus bisa dan mau berdamai dengan Allah melalui rekonsiliasi, pertobatan dan perubahan atau istilah lainnya. Pamrihnya hanya satu atau bahasa Alkitab harapannya, iman kepercayaan bahwa Allah Maha Memaklumi karena kasih-Nya kepada kita manusia. Kalau Allah maha memaklumi, maka gantian kita belajar untuk memaklumi orang lain atau sesama kita. Bagaimana mungkin bisa mengasihi orang lain apabila tidak bisa mengasihi diri sendiri.

Mungkin proses mengasihi sesama ini tidak semudah menuliskannya atau diobrolkan dengan segala macam teori dan referensi. Mau tidak mau harus disadari atau dimaklumi bahwa setiap orang adalah unik, berbeda antara satu dan lainnya. Seribusatu macam orang pasti seribusatu macam kelakuan, karakter atau sifat. Namun pada dasarnya setiap orang ingin hidup baik, aman sejahtera, walaupun disusupi juga oleh sifat serakah ingin memiliki lebih, ego untuk diakui.

Jika lulus dalam ujian kehidupan untuk mengasihi sesama, mungkin barulah bisa terungkapkan bagaimana mengasihi Tuhan Allah yang tidak kasat mata. Mengasihi Tuhan Allah yang diungkapkan melalui perbuatan nyata, melalui mengasihi sesama. Ada gambaran Allah di setiap orang yang kita jumpai setiap saat. Apakah orang lain tersebut mulai dari keluarga kita masing-masing, yang kemudian berkembang kepada orang lain tanpa ada batas suku, ras, bangsa, agama ataupun kepercayaan.

Mari kita bertanya dalam diri sendiri, apakah kita sudah bisa melaksanakan ajaran tersebut. Bagi penulis jawabannya masih belum bisa seratus prosen, bahkan kecil sekali, yang seringkali masih diisi dengan syarat-syarat tertentu. Akal budi ini lebih sering berhitung matematis, dimana untung dan ruginya. Padahal orang bijak sering mengatakan bahwa lawan kata cinta adalah benci, sedangkan lawan kata kasih adalah egois. Melaksanakan kasih berarti harus berani mengalahkan diri sendiri, menyangkal diri. Disinilah munculnya batu sandungan yang sering menjatuhkan bahkan menyakitkan. Kita sering lupa bahwa di balik itu ada hikmah yang melegakan, membebaskan dan membahagiakan.

Coba kita bayangkan sewaktu kita sembuh dari sakit, perasaan apa yang kita dapatkan? Sepertinya kita hidup kembali dan mulai berhati-hati dalam segala hal. Maukah kita jatuh sakit lagi?


10:29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?" 10:30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 10:31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 10:32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 10:33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 10:34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 10:35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 10:36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"
10:37 Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"
Jika seorang ahli Taurat bertanya siapakah sesamanya, hal ini membuat bingung penulis. Yang muncul dalam hati, apakah zaman dahulu mereka hanya menganggap bahwa sesamanya hanya sesama orang Yahudi, yang menjadi pilihan Allah. Suku atau bangsa lain termasuk yang campuran apakah dianggap bukan sesama? Jangan-jangan kesombongan rohani sebagai bangsa terpilih, membuat mereka memandang rendah bangsa-bangsa lain.

Dan perumpamaan yang dikemukakan Tuhan Yesuspun cukup ekstrim, agar semuanya tersadar dan merasa dalam dirinya masing-masing. Perumpamaan seorang imam berarti tingkat religiusitasnya tinggi, yang bisa menjadi panutan atau contoh dalam bertindak. Imam adalah wakil Allah yang mahakasih di dunia yang sudah sewajarnya kalau diapun penuh kasih. Nyatanya menghindar pura-pura tidak tahu bahwa di seberang jalan ada yang memerlukan pertolongan.

Seorang Lewi adalah keturunan Yakub yang tugasnya antara lain menyelenggarakan ibadat dalam bait Allah. Orang-orang yang begitu dekat dengan Tuhan Allah, yang juga mestinya penuh dengan kasih. Dalam cerita dinyatakan diapun menghindar agar tidak ikut repot mengurusi orang yang perlu bantuan. Paling gampang ya acuh tak acuh, tidak perduli, pura-pura tidak melihat agar tidak disalahkan.

Orang Samaria yang selama itu dianggap tidak selevel dengan orang Yahudi menjadi orang ketiga yang lewat. Anggap saja orang yang tinggal di bukit-bukit pegunungan, jauh dari kota besar. Agak berbeda dengan kaum imam dan Lewi yang hidupnya di tengah kota, yang relatif lebih maju dalam segala hal. Dan kepada orang Samaria inilah hatinya digerakkan oleh belas kasihan. Dia tidak hanya menolong di tempat, membalut luka dan menyirami balutan dengan minyak dan anggur. Dia lebih puduli dan rela berkurban waktu, tenaga dan materi dengan merawatnya di penginapan.

Belas kasihan mestinya tidak mengenal batas ruang dan waktu, tidak memperhitungkan perbedaan suku, ras, agama maupun kepercayaan ataupun yang lainnya. Belas kasihan tidak mengenal kriteria, syarat ataupun perkecualian. Mungkin perlu direnungkan bahwa Allah tidak menciptakan agama atau kepercayaan, namun menciptakan manusia yang dipenuhi dengan jiwa, hati dan akal budi. Semuanya adalah sama dan menjadi sesama. Yang membedakan hanyalah status yang diciptakan oleh kelompok manusia itu sendiri. Padahal status bisa berubah sewaktu-waktu dan bisa tidak terduga. Orang kaya tahu-tahu menjadi orang miskin mendadak, karena harta bendanya ludes dilalap api. Orang terhormat dan disegani tahu-tahu dihinakan dan dicaci maki, karena ketahuan perbuatan jahatnya sampai dimasukkan ke penjara.

Jadi, sebenarnya semua orang adalah sesama apabila berani mendahulukan perbuatan belas kasihan kepada siapapun tanpa adanya syarat. Kata-Nya singkat namun berisi penuh makna :”Pergilah dan perbuatlah demikian.”

Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari kalau kita melihat orang yang mengalami kecelakaan? Anggaplah kecelakaan lalulintas atau yang lainnya. Kita tinggal memilih apakah sebagai seorang imam, seorang Lewi atau seorang Samaria. Siapkah kita berbagi belas kasihan kepada siapapun yang membutuhkan? Jawabnya ada di hati kita sendiri. Secara jujur, penulispun tidak menghampiri orang yang kelihatan sakit di pinggir jalan. Alasannya sepele, karena hampir telat masuk kantor dan penulis memang menekankan perlunya disiplin dari hal yang kecil-kecil. Mungkin itu suatu ujian bagi penulis yang sok disiplin sehingga mengabaikan belas kasihan. Pengalaman ini rasanya tidak akan hilang dari ingatan. Penulis yakin bahwa ada seorang Samaria yang menolong orang tersebut, karena siangnya sudah tidak ada lagi.

Pengalaman penulis sewaktu berziarah ke Israel salah satunya membeli sebotol minyak zaitun, anggur Kana dan anggur untuk perjamuan ekaristi. Boleh dikatakan setiap ketemu pastor, apa saja yang penulis beli minta diberkati, termasuk sampai di Vatikan. Sesampai di rumah minyak zaitun tersebut penulis bagikan sedikit-sedikit dengan botol kecil kepada para saudara di lingkungan. Anggur Kana dan lainnya habis termanfaatkan pada waktu itu juga. Penulis baru tahu bahwa minyak zaitun tersebut dimanfaatkan para saudara sebagai sarana penyembuhan, dan ternyata menyembuhkan!

Maria dan Marta
10:38. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. 10:39 Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, 10:40 sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." 10:41 Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, 10:42 tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."
Dalam cerita Marta dan Maria di atas seringkali membuat bingung dalam hidup ini. Dalam pemahaman penulis, Tuhan Yesus sepertinya lebih menekankan kepada yang rohani. Ajaran-ajaran yang diucapkan-Nya tidak akan diulang kembali, maka perlu disimak dengan seksama. Itulah yang dilakukan oleh Maria, sedangkan Marta seperti layaknya perempuan sebagai nyonya rumah.

Mungkin perlu dibedakan antara bahasa rohani atau bahasa hati, dengan bahasa duniawi atau akal budi. Ajaran Tuhan Yesus kelihatannya lebih ditujukan kepada manusia dalam bahasa rohani bukan bahasa akal budi. Dalam hal ini ajaran Tuhan yang rohani atau firman lebih penting dari segala macam hal duniawi

Dengan bahasa akalbudi dan segala alasan etika duniawi, Marta merasa kuatir jika tidak bisa melayani secara baik dan akhirnya menyusahkan diri sibuk ini itu. Dilihat dari kehidupan duniawi, pelayanan Marta terhadap tamu tersebut amat baik. Setiap orang ingin melayani tamu dengan baik dan mengharap pujian secara langsung atau tidak langsung. Alangkah senangnya apabila para tamu merasa puas atas pelayanannya. Martha memprovokasi Tuhan Yesus agar Maria mau membantu. Betapa pahit bekerja sendirian di belakang, sedangkan saudara perempuannya tidak membantu.

Maria bisa dicap sebagai perempuan yang tidak tahu adat, sopan santun, etika. Saudaranya sibuk koq malah enak-enakan bersimpuh di dekat kaki-Nya. Perempuan macam apa itu? Maria bisa kita katakan memberontak dari kebiasaan yang selama ini menjeratnya. Perempuan tugasnya di belakang ingin dia rubah, khususnya untuk hal yang lebih rohani. Yang rohani berlaku bagi sesama manusia tanpa membedakan gender, mengalahkan yang duniawi dan yang terikat oleh kebiasaan

Seringkali Tuhan Yesus mencelikkan akal budi kita yang begitu duniawi. Mungkin perlu ditanyakan tujuan keluarga Marta untuk menerima Tuhan Yesus dan para murid singgah. Apakah hanya ingin melayani dan menjamu para tamu ataukah ingin mendengarkan pengajaran-Nya. Kemungkinan besar ya menjamu sembari ngobrol namun bisa disambil menyiapkan hidangan untuk rombongan. Yang sambilan ini jelas tidak akan bisa fokus ke satu hal, apalagi kepada dua-duanya.

Mungkin Maria lebih memilih ajaran rohani secara langsung kepada Tuhan Yesus. Kapan lagi Dia bisa mampir ke rumahnya, maka waktu tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya. Maria bisa melihat dan mendengar secara langsung dan komplit dari Sang Guru, bukan dari katanya dan katanya. Biarlah kalau nantinya diomeli oleh saudaranya dan dianggap tidak tahu sopan santun sebagai perempuan. Dan sokurlah Tuhan Yesus sendiri yang berbicara kepada Marta saudaranya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin akan berpihak kepada Marta yang melayani para tamu. Jika tidak ada pembantu, maka nyonya rumah pasti akan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Dia akan mendongkol jika saudaranya tidak ikut membantu, tetapi malah ikut bergabung dengan para tamu. Jangan-jangan dalam mempersiapkan pertemuan, yang tumbuh malah stress seperti dikejar waktu. Perasaan yang semestinya sukacita malah tersapu oleh kegelisahan yang menghantui, karena sajian belum semuanya siap.

Kita bisa membayangkan bagaimana jika dirumah kita diselenggarakan sembahyangan atau malahan misa kudus. Mungkin nyonya rumah tidak bisa bergabung sepenuhnya, selama proses peribadatan masih berlangsung. Sang Marta ingin segala sesuatunya yang disiapkan berjalan dengan baik, jangan sampai ada tamu yang tidak berkenan. Proses peribadatan bisa disambil dari belakang, jika ada yang belum beres. Seringkali malah proses ingin melayani tamu dunia dengan sebaik-baiknya ini menjadi prioritas utama. Tamu yang kudus dan tidak kelihatan, walaupun disembah menjadi setengah sambilan. Alasan pembenaran diri pasti ada :”Tuhan pasti memaklumi kesibukanku.”

Sepertinya Tuhan Yesus ingin mengajar kepada kita bahwa tujuan berkumpul untuk beribadat harus menjadi nomor satu. Hal ini berlaku bagi keluarga tuan rumah maupun para tamu, tidak terkecuali. Yang lainnya hanyalah “ubarampe” atau lampiran saja. Semua orang yang datang untuk berkumpulpun tujuan pokoknya beribadat, bukan untuk yang lampiran tadi. Nanti kalau segalanya sudah selesai, maka silahkan saja ubarampe tersebut keluar. Kalau perlu, bagaimana caranya agar segalanya sudah selesai dan siap, sehingga yang punya rumah bisa total terlibat dalam yang rohani. Yang jasmani tidak menjadi batu sandungan yang bisa membuat jatuh.

Mungkin ceritanya menjadi lain, apabila para tamu yang datang tujuan utamanya memang mencari makanan jasmani. Menu makanan yang rohani dari awal harus sudah disesuaikan dengan situasi.

2 komentar:

  1. Mas Darmono;
    Tulisan sampean boleh diundhuh untuk keperluan pribadi dan kelompok kami? Ya mumpung ada orang awam yang mau menulis dan mencoba memahami firman Tuhan. Mungkin lebih pas karena pandangan seorang awam dalam kehidupan sehari-hari.
    Trims sebelumnya

    BalasHapus
  2. Oh, silahkan saja selama tidak dijadikan buku dan diperdagangkan. Memang ada rencana akan dibukukan atau dicetak untuk umum, yang membutuhkan untuk referensi.

    Salam mas Minggu.

    BalasHapus