Selasa, 01 Desember 2009

Memahami Markus Bab7

Bab 7 - Perintah Allah, Perempuan Siro, Penyembuhan

Perintah Allah dan Adat istiadat Yahudi
7:1. Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. 7:2 Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. 7:3 Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; 7:4 dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga.
7:5 Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: "Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?" 7:6 Jawab-Nya kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. 7:7 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. 7:8 Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia."
Tuhan Yesus menyebut mereka sebagai orang munafik. Mungkin sebutan najis untuk tangan yang tidak dicuci sebelum makan, sudah kebablasan. Tuhan Yesus lebih menekankan bahwa perintah Allahlah yang harus didahulukan, baru kemudian menyusullah perintah manusia. Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa adat istiadat nenek moyang itu keliru, namun diatas adat kebiasan masih ada yang lebih tinggi, yang tidak boleh dinomor sekiankan.

Kita semua mungkin tahu dengan sepuluh perintah Allah walaupun tidak hafal. Itulah yang harus dinomor satukan. Secara singkat bisa kita katakan bahwa perintah Allah adalah berbuat baik dan benar penuh kasih. Perbuatan baik dan benar yang didasarkan satunya hati, jiwa dan akal budi, diungkapkan menjadi perbuatan nyata.

Mungkin didalam perjalanan waktu, perintah Allah tersebut menjadi jargon saja. Perintah Allah dijabarkan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Lama kelamaan, dari yang sedikit demi sedikit melenceng, malah yang melenceng ini menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Taurat hanya didaraskan pada hari Sabat untuk pengisi waktu, sedangkan hari-hari lainnya diisi dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan Taurat. Rasanya hal tersebut tidak berbeda dengan zaman sekarang.

Jangan-jangan kita menjadi orang baik dan benar hanya sesaat-sesaat saja. Kita merenungkan dan mendalami ajaran Alkitab, sewaktu kita berkumpul berdoa di dalam gereja, di rumah, saat retreat dan sejenisnya. Rasanya pada waktu itu kita menjadi orang yang bertobat dan ingin selalu berbuat baik dan benar. Namun begitu keluar dari acara tersebut, suasana berubah kembali seperti sedia kala. Kita larut kembali terbawa arus kehidupan duniawi, terpengaruh dan tidak bisa membebaskan diri dari ikatan dunia yang membelit kita. Memang menjadi orang bebas dan merdeka dari belitan dunia tidaklah gampang.

Mulailah kita merekayasa, kira-kira ajaran mana yang bisa dicari padanannya sebagai pengganti ajaran tersebut. Apabila padanan tersebut dirasakan lebih mudah dilaksanakan daripada ajaran Tuhan, maka dibuatlah kesepakatan para petinggi untuk didogmakan atau diadatkan. Mungkin saja dogma atau adat tersebut tujuan awalnya baik dan benar. Namun seiring perjalanan waktu, terjadilah penafsiran dan pelaksanaan yang mulai melenceng sedikit demi sedikit. Setelah bertahun-tahun berjalan dan menjadi kebisaan, maka akan sangat sulit apabila dikembalikan ke jalan yang benar. “Biasanya kan begini? mengapa sekarang berubah menjadi begitu?”

Jika sepuluh perintah Allah kita umpamakan sebagai undang-undang dasar, maka setelah itu dibuatlah undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan ikutannya. Sudah seharusnya kalau semua peraturan tersebut mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasarnya. Betulkah semuanya sudah selaras dengan undang-undang dasar?

Tanpa kita sadari, sering kita terjebak oleh kebiasaan tersebut dan tidak siap untuk berubah. Kita tidak sadar bahwa yang berproses dalam kehidupan ini adalah perubahan. Mungkin kita masih ingat bahwa beberapa puluh tahun silam, hampir tidak ada perempuan memakai celana panjang. Apa kata dunia jika seorang perempuan mengenakan celana seperti laki-laki? Terjadilah pro dan kontra yang cukup panjang. Demikian juga kalau menghadiri pesta pernikahan atau sunatan, yang dibawa sebagai cinderamata adalah kado berwujud materi. Ketika muncul perubahan membawa amplop berisi uang, timbul juga pro dan kontra sesaat.

Contoh nyata dalam kehidupan rohani sehari-hari sewaktu membuat tanda salib. Kita sudah tidak tahu lagi bagaimana membuat tanda salib yang benar, yang diajarkan oleh pimpinan gereja secara resmi. Pasti ada suatu perintah atau ajaran dari Bapak Paus, bagaimana membuat tanda salib, dengan segala maknanya. Sekarang ini menurut selera masing-masing yang dianggap paling pas, entah bentuk salib atau bukan, ya suka-suka.

Demikian juga pendarasan yang mengiringi tanda salib. In nomine Patri …dst diterjemahkan Dalam nama Bapa … dst. Entah sejak kapan dan siapa yang memulainya, terjemahan tersebut berubah menjadi Atas nama Bapa … atau Demi nama Bapa … dst. Hal ini mungkin bisa menjadi perdebatan cukup rame. Di dalam nama Allah atau atas nama Allah atau demi nama Allah. Padahal tanda salib menjadi ciri khas orang Katolik yang paling dasar.

Mungkin kita malah berkomentar, yang penting bukan tanda salib dan ucapan bibir yang diadatkan. Yang lebih penting adalah hati, jiwa dan akal budi yang dekat dengan Tuhan. Seiring dengan perjalanan waktu, jangan-jangan tanda salib hanya untuk perayaan resmi berjamaah. Di luar itu tidak perlu membuat tanda salib, cukup dalam hati. Apa lagi kalau hidup di tengah masyarakat dan menjadi minoritas.

7:9 Yesus berkata pula kepada mereka: "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. 7:10 Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. 7:11 Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban--yaitu persembahan kepada Allah--, 7:12 maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya. 7:13 Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan."
Kelihatannya Tuhan Yesus mencelikkan mata kita semua, bahwa ajaran Allah selama ini bisa diabaikan dengan perbuatan tertentu sebagai penggantinya. Menghormati orang tua dapat dijabarkan dalam perbuatan nyata. Kewajiban tersebut tetap harus dijalankan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kemungkinan besar orang Farisi dan ahli Turat membuat aturan yang menjadi adat istiadat, bahwa dengan berbuat sesuatu maka kewajiban tersebut bisa diabaikan. Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk membaca Ulangan 20:12 dan 21:17. Sepuluh perintah Allah bagaikan undang-undang dasar dan ditegaskan oleh Tuhan Yesus sebagai hukum kasih.

Demi tujuan tertentu, berbuat sesuatu tersebut agar tidak keliru, maka harus ditekankan sebagai persembahan kepada Allah. Allahlah yang dijadikan kambing hitam sebagai alasannya. Kita bisa berandai-andai pada zaman sekarang ini, bahwa ajaran Tuhan bisa dijalankan namun dengan syarat. Syarat sekecil apapun itu, hal ini tetaplah bahwa firman Allah kita anggap tidak berlaku demi syarat tersebut. Padahal Ajaran Allah tanpa embel-embel syarat apapun.

Sebagai contoh sehari-hari, penulis merasa tidak yakin dengan diri sendiri bahwa sudah bisa mengasihi sesama. Mengasihi yang tanpa syarat, seperti kepada diri sendiri. Dalam kenyataannya, kasih tersebut kita beri syarat tertentu sesuai dengan selera kita masing-masing. Aku mau mengasihi engkau apabila engkau begini dan begitu. Jika sampai begini dan begitu, maka aku bisa marah dan sebagainya. Begini dan begitu tersebut pastilah berkaitan dengan yang baik-baik, anggaplah sesuai ajaran Allah. Beribu alasan pasti bisa kita sampaikan dan sepertinya benar belaka. Karena syarat tidak terpenuhi, maka aku bisa lepas dari kewajiban dan mengabaikan untuk mengasihi engkau. Dan syarat tersebut tidak berlaku untuk diri sendiri. Embel-embel syarat sepertinya membelenggu kita dan sangat sulit untuk melepaskan diri. Terus kita mengatakan, bahwa kita masih manusia yang tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Ungkapan “manusiawi” ini kita pertahankan sehingga kita tidak mempunyai niat untuk berubah.

7:14 Lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka: "Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. 7:15 Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya." 7:16 (Barangsiapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar!)
Dalam pemahaman penulis, Tuhan Yesus lebih menekankan bahwa makna najis itu sendiri lebih bersifat yang rohani. Apapun yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan, kita makan dan kita minum, tidak bisa menajiskan kita. Segalanya yang dari luar tersebut netral adanya, selama kita menerimanya dengan netral juga. Yang mungkin jadi masalah, apabila yang masuk tersebut kita olah, kita urai, kita rangsang dengan pikiran yang tidak baik, terus kita keluarkan, itulah yang menajiskan.

Karena yang keluar dari mulut ini, bisa jadi seseorang akan tersinggung, sakit hati, terhina dan sebagainya. Ada ungkapan Jawa “ajining dhiri saka kedaling lathi” bahwa seseorang dinilai dari ucapannya yang keluar melalui bibir. Kita diajar untuk hati-hati mempergunakan bibir ini untuk berucap.

Kita bisa membayangkan saudara kita yang sering kita sebut sebagai gelandangan. Kita cenderung untuk menyingkir atau menjauhinya. Sudara kita tersebut berpakaian kucel dan kotor, bahkan ada yang telanjang bulat. Dia bisa makan dengan tangan yang begitu kotor menurut pandangan kita, sisa-sisa makanan yang diperoleh disantapnya dengan lahap. Anehnya, sepertinya ia lebih sehat dari kita. Tidak peduli dengan kepanasan ataupun kedinginan, bisa tidur di sembarang tempat.

7:17 Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu. 7:18 Maka jawab-Nya: "Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, 7:19 karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?" Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal.
Dalam hal ini kita bisa memahami bahwa Tuhan Yesus masih berbicara tentang makanan. Semua makanan yang masuk ke dalam tubuh kita akan diproses secara alami, bukan masuk ke dalam hati yang rohani. Pada saatnya nanti sisa proses akan di buang di jamban atau WC.
Jadi semua makanan, apapun itu adalah halal dan tidak ada yang najis sama sekali. Mungkin kita pernah melihat acara fear factor di televisi dan ada saja yang berani melakukannya. Dan kenyataannya orang tersebut tidak apa-apa.

Jika kita berani jujur dengan diri sendiri, sebenarnya ada pengajaran, pengalaman, dan sejenisnya yang bagaikan program software yang masuk ke dalam diri kita. Sofware setiap orang bisa berbeda-beda, tergantung perjalanan hidupnya. Sofware tersebut akan menyeleksi segala macam yang terhidang di hadapan kita. Mana yang boleh masuk dan mana yang tidak boleh, mana yang harus dicoba dan sebagainya. Seleksi software tersebut bisa melalui mata, telinga, hidung, mulut, kulit dan ikutan lainnya.

Contoh gampang saja bahwa kita bisa sangat susah untuk makan sesuatu yang baru kita kenal, karena bumbunya, aromanya, warnanya, rasanya, modelnya dan sebagainya. Perasaan karena seleksi software tersebut memunculkan penolakan selera. Padahal makanan tersebut bagi orang-orang disitu bisa jadi malah merupakan makanan pilihan karena lezatnya.

Panca indera kita sudah diprogram sedemikian rupa, mulai sejak kecil sampai sekarang ini. Dan hal ini sangat sulit untuk diubah kecuali dalam keterpaksaan yang tidak dapat dihindari. Sekarang kita sudah tahu bahwa segalanya halal untuk dimakan, namun tetap saja banyak hal kita belum siap untuk memakannya. Mungkin hal ini berhubungan dengan selera yang dibentuk sejak masih kecil. Yang kedua karena ajaran untuk membeda-bedakankan segala sesuatu. Jijik, kotor, tidak steril, tidak umum dikonsumsi, dampak bagi kesehatan dan lain sebagainya, sudah ditempelkan dalam otak kita.

7:20 Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, 7:21 sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, 7:22 perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. 7:23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang."
Kita bisa memahami bahwa yang menajiskan seseorang karena pikiran hati yang jahat, yang dikeluarkan melalui mulut ataupun perbuatan lainnya. Pikiran yang terlontar dari mulut tersebut dapat merangsang orang lain untuk berandai-andai. Membayangkan, merekayasa, yang dapat menimbulkan pikiran kehendak jahat. Pikiran jahat tersebut antara lain dikatakan percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan dan kebebalan.

Mungkin setiap orang bisa menjabarkan apa yang dimaksud dengan pikiran jahat tersebut, walaupun sepertinya ada yang tumpang tindih. Mungkin para ahli bahasa yang bisa menguraikan dengan tepat, dari setiap jenis kejahatan itu. Yang jelas bukan karena kita muntah yang disebabkan makanan yang tidak bisa tertelan. Yang keluar dari seseorang ini lebih berkaitan dengan yang rohani, cenderung kepada perbuatan yang tidak baik dan tidak benar.

Mungkin kita perlu merenung dan bertanya kepada diri sendiri, apakah perkataan Tuhan Yesus tersebut secara tidak langsung ditujukan kepada kita. Bagi penulis, hal tersebut betul-betul menusuk langsung ke dalam diri. Tidak bisa dipungkiri bahwa pikiran-pikiran jahat tersebut masih sering menyerang dan sulit untuk dihindari. Dengan berkaca melalui permenungan, rasanya tidak pantas untuk bertemu dengan Tuhan karena begitu najisnya. Betapa begitu rendahnya dan tidak berartinya karena pikiran-pikiran jahat penulis.

Tuhan, kasihanilah aku orang berdosa. Ajarilah aku untuk berani melawan dan mengalahkan pikiran jahat yang selama ini menjajahku. Amin.

Perempuan Siro Fenesia yang percaya
7:24. Lalu Yesus berangkat dari situ dan pergi ke daerah Tirus. Ia masuk ke sebuah rumah dan tidak mau bahwa ada orang yang mengetahuinya, tetapi kedatangan-Nya tidak dapat dirahasiakan. 7:25 Malah seorang ibu, yang anaknya perempuan kerasukan roh jahat, segera mendengar tentang Dia, lalu datang dan tersungkur di depan kaki-Nya. 7:26 Perempuan itu seorang Yunani bangsa Siro-Fenisia. Ia memohon kepada Yesus untuk mengusir setan itu dari anaknya. 7:27 Lalu Yesus berkata kepadanya: "Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." 7:28 Tetapi perempuan itu menjawab: "Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak." 7:29 Maka kata Yesus kepada perempuan itu: "Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab setan itu sudah keluar dari anakmu." 7:30 Perempuan itu pulang ke rumahnya, lalu didapatinya anak itu berbaring di tempat tidur, sedang setan itu sudah keluar.
Dalam pemahaman penulis, ini juga pengajaran baru bagi kita. Bagaimana Tuhan Yesus agak seperti menguji iman dari seorang yang tidak sebangsa. Ungkapan atau peribahasa yang Dia ucapkan seperti begitu merendahkan. Namun jawaban perempuan tersebut juga sangat indah. Perempuan Yunani itu menyadari akan dirinya dan sangat membutuhkan pertolongan. Siap menerima penghinaan, dianggap berbeda kelas. Ia percaya, apapun yang akan dikatakan Tuhan Yesus, pastilah belas kasih-Nya yang akan tercetus. Dan ia lulus dari ujian tersebut.

Tanpa ketemu dan menjamah yang kerasukan, kekuatan kuasa Tuhan Yesus menembus batas ruang dan waktu. Anak perempuan yang kerasukan itu sudah sembuh, sebelum ibunya sampai di rumah. Mungkin banyak bangsa lain yang sedang berada di daerah Israel yang menerima kesembuhan.

Kita diajar oleh Tuhan Yesus untuk berani direndahkan dan diabaikan, anggaplah seperti daun kering yang terombang-ambing tertiup angin. Daun tersebut entah jatuh kemana dan menjadi sampah. Sekecil apapun daun tersebut, nyatanya dia akan menyatu dengan tanah, menjadi bagian kompos yang menyuburkan. Sekecil apapun, nyatanya masih bisa berkarya dan berguna.

Kita diajar untuk berani dan menerima menjadi tempat sampah, dijadikan kesed atau alas kaki. Diajar untuk siap tersakiti, walaupun mungkin orang lain bukan bermaksud menyakiti hati. Segala macam sampah, apabila jatuh ke tangan orang yang menghargainya, dengan kreatif ia akan menjadikannya sesuatu yang berguna dan dibutuhkan .

Mungkin kita masih ingat atau pernah mendengar salah satu delapan sabda bahagia yang diberikan oleh Tuhan Yesus. Diberkatilah orang yang miskin di hadapan Allah, begitu kecil, tidak berarti dan bukan apa-apa; karena dialah yang empunya kerajaan surga. Betapa bahagianya orang yang diberkati oleh Tuhan. Berkat-Nya yang begitu berlimpah, mestinya kita syukuri dan bisa kita sebarkan kepada orang lain. Bagaimana si ibu yang tersungkur merendahkan dirinya, menerima berkat dari Tuhan Yesus. Dan berkat-Nya menyebar, mengalir secara misteri kepada anaknya yang kerasukan. Daya kuasa illahi yang bagaikan pancaran energi panas, menciutkan nyali roh jahat sehingga mundur teratur dan pergi.

Yesus menyembuhkan orang tuli
7:31. Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. 7:32 Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu. 7:33 Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. 7:34 Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: "Efata!", artinya: Terbukalah! 7:35 Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik.
7:36 Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapapun juga. Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya. 7:37 Mereka takjub dan tercengang dan berkata: "Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata."
Orang yang tuli dan gagap bisa mendengar dan berbicara dengan normal. Penulis tidak tahu mengapa Tuhan Yesus mengajak orang tersebut memisahkan diri untuk disembuhkan. Mengapa Dia menengadah ke langit dan mendesah. Mungkinkah menyembuhkan tuli dan bisu memerlukan kekuatan lebih? Ataukah dibalik itu sebenarnya Tuhan Yesus begitu sedih dan prihatin atas kebisuan dan ketulian hati mereka? Apakah sampai saat itu mereka tetap tidak menyadari bahwa Dialah Sang Mesias yang ditunggu-tunggu selama ini?

Yang jelas Tuhan Yesus tidak merasa jijik memasukkan jari-Nya ke telinga orang tersebut. Demikian juga dengan ludah yang Dia keluarkan untuk menyembuhkan gagap. Yang kotor masih bisa dicuci dan dibersihkan, karena kelihatan. Namun seringkali kita tidak sadar bahwa betapa kotor dan menjijikkannya pikiran hati kita selama ini. Mungkin hanya bisa dibersihkan dengan Apinya Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari sekarang inipun sepertinya tidak jauh berbeda dengan zaman dahulu. Betapa banyak orang berdatangan dari mana-mana, begitu mendengar kabar ada yang memberikan harapan. Ada yang menyebut Misa Penyembuhan, doa penyembuhan dan lain sebagainya. Dalam pemahaman penulis, yang namanya misa kudus ya tetap misa kudus. Tidak ada istilah misa penyembuhan, yang mungkin hanya salah kaprah saja. Mereka berduyun-duyun datang, jangan-jangan hanya mencari kesembuhan itu sendiri. Jangan-jangan malah lupa mencari Tuhan Sang Penyembuh itu sendiri. Begitu merasakan kesembuhan, terus lupa diri kepada Sang Penyembuh Sejati.

Berita kesaksian yang disampaikan kepada orang lain hanya terbatas merasa sembuh setelah menghadiri ritual tersebut. Yang diperkenalkan nomor satu malahan si penyembuh yang dijadikan sarana oleh Tuhan, bukan Sang Penyembuh Sejati. Tuhan Yesus membuat segalanya menjadi baik, dan yang diutamakan adalah kesembuhan rohani baru disusul yang jasmani.

Jika kita renungkan, kitapun sering membisu diam seribu basa. Telinga kita tutup rapat-rapat bagaikan orang tuli. Kita tidak peduli, pura-pura tidak mendengar padahal ada suatu ajakan baik bagi semua. Kita sedang asyik menonton TV atau main game di komputer, kemudian kita mendengar pasangan mengajak doa bersama, karena sudah waktunya. Yang timbul bkan kesadaran karena diingatkan, namun malah mendongkol. Mau protes atau menggerutu, ajakan tersebut kita akui baik adanya. Namun permainan sedang ramai-ramainya, maka yang dilakukan pura-pura bisu dan tuli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar