Kamis, 10 Desember 2009

Memahami Lukas Bab17

Bab 17- Nasihat, Orang Kusta, Kerajaan Allah
Beberapa Nasihat
17:1. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. 17:2 Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini. 17:3 Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. 17:4 Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia."
Sejak awal Tuhan Yesus sudah menasihati bahwa akan selalu ada penyesatan. Si penyesat memang tidak disukai namun itulah dunia yang tidak akan terlepas dari mereka selama roh kejahatan masih boleh berkarya. Dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, kita dinasihati untuk selalu waspada. Kita diminta untuk selalu memperingatkan saudara kita apabila dia tersesat. Kita diminta untuk selalu memberi maaf kepada siapapun yang meminta maaf. Perbendaharaan maaf yang tulus tidak boleh habis, yang harus selalu tersedia kapan saja.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih sering merasa bosan untuk memberi maaf terus menerus. Akhirnya malah menjaga jarak agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang buntut sebenarnya merasa malas untuk memaafkan. Mungkin disinilah kita merasa sulit untuk berdoa Bapa Kami dengan sepenuh hati. Rasanya masih ada saja ganjalan karena sakit hati atau tersakiti yang belum terlepaskan. Ilmu melepas dari segala batu sandungan, segala beban ataupun apa namanya, perlu direnungkan dan dihayati. Akhirnya bisa melepaskan diri dari himpitan tersebut, yang sebenarnya bersumber dari ego kita sendiri. Pada kenyataannya memang sulit untuk belajar memaafkan dan memaafkan tanpa henti. Namun kita harus lulus dari ujian tersebut, walaupun nilainya tidak sempurna.

Seringkali penulis mencoba menggali pengalaman hidup yang pernah menyakitkan yang buntutnya menyalahkan orang lain. Penulis bertanya kepada diri sendiri mengapa merasa tersakiti dan dimanakah letaknya sakit tersebut. Dalam penelusuran ini yang penulis dapatkan nyatanya berada di pikiran akal budi. Akal budi yang tidak mau kalah dan ingin menang sendiri, tidak mau memaklumi orang lain dan merasa benar sendiri. Seringkali hati dan jiwa ini memberitahu bahwa kita yang salah, namun akal budi berargumentasi tidak mau kalah. Terjadilah perang batin dalam diri sendiri. Malahan menyusun strategi, rekayasa ingin membalas dengan menyimpan rasa sakit tersebut dalam memori. Rasa sakit itu tersimpan bagaikan virus komputer yang kadang kala keluar mengganggu dan menjadikan beban. Penulis bertanya lagi kepada diri sendiri bagaimana kalau beban tersebut dibuang, apa yang akan terjadi. Dalam perang batin tersebut munculah pilihan untuk berani mengakui kesalahan diri, memaklumi orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Anti virus tersebut ternyata firman Tuhan! Muncullah perasaan plong, lega, bebas dari segala beban.

Nyatanya virus tersebut tidak bisa hilang total, namun sudah jinak tidak ganas dan tidak mengganggu lagi. Mungkin penulis perlu belajar lagi untuk semakin memahami dan menghayati bagaimana virus tersebut bekerja, serta menyiapkan anti virus yang kebal sehingga imun dari segala gangguan.

17:5 Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" 17:6 Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu."
Dalam benak penulis kadang-kadang muncul perasaan bahwa sebenarnya untuk beriman itu tidak gampang. Mungkin perlu tahapan-tahapan atau proses yang cukup panjang. Jika kita renungkan, kita memeluk suatu agama berawal dari mendengar dan atau melihat. Mulailah muncul ketertarikan dan keinginan yang dilandasi dengan kepercayaan bahwa ada sesuatu yang menggelitik, menyentuh hati jiwa dan akal budi. Percaya saja tidak cukup, belum menumbuhkan perbuatan yang semakin baik, yang sering lupa diri karena nafsu kedagingan. Iblispun percaya akan Allah namun murtad dan melawan-Nya.

Perasaan disentuh oleh Tuhan yang mungkin melalui ajaran-Nya, atau sentuhan rohani yang merasuk hati jiwa dan akal budi dan membekas dalam, mungkin yang dapat menumbuhkan iman. Beriman berarti percaya penuh akan ajaran-Nya, dan dapat diungkapkan melalui perbuatan nyata, sesuai dengan ajaran yang diterima. Beriman berarti berpikir dengan seluruh hati jiwa dan akal budi, selanjutnya membuahkan energi, kekuatan yang menggerakkan badan wadhag ini menjadi perbuatan nyata. Energi itu sendiri kadang-kadang begitu besar berkobar-kobar, kadang-kadang begitu kecil dan meredup. Mungkin tergantung kepada kesepakatan antara hati jiwa dan akal budi, untuk membuka diri menerima Roh Kudus-Nya, yang menjadi inti kekuatan yang tak terselami.

Mungkin pada saat itu yang bisa dilihat adalah pohon ara dan Tuhan Yesus berkata demikian. Jangan-jangan ada juga beberapa rasul atau bahkan kita yang berkata dalam hati :”Terbantunlah dan tertanamlah engkau di dalam laut!” Nyatanya tidak terjadi apa-apa! Terus muncul di dalam benak kita, wach imanku belum sampai sebesar biji sesawi. Padahal biji sesawi di Israel sana boleh dikatakan lebih kecil dari biji tembakau. Nach!

Dalam pemahaman penulis, beriman berarti bisa mengalahkan nafsu keinginan daging yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Pohon ara yang buahnya dapat dimakan, dapat diibaratkan sebagai simbul duniawi yang menumbuhkan nafsu keinginan untuk menikmatinya. Karena iman kepada-Nya yang hanya sebesar biji sesawi saja, kita sudah bisa mengalahkan nafsu kedagingan. Nafsu tersebut kita campakkan ke dalam laut, sehingga hilang dari pandangan kita, karena tenggelam sampai di bawah permukaan laut. Betapa hebatnya jika iman tersebut lebih besar lagi dari biji sesawi. Bukan hanya pohon ara yang akan ditenggelamkan ke dalam laut, mungkin gunungpun dengan segala macam pepohonannya akan dipindahkan ke dalam laut. Gunung pencobaan yang menghalangi pandangan kita untuk melewati jalan rata yang lurus. Jalan lurus yang akan kita tempuh tersebut, dan tujuan akhirnya berada dibalik gunung.

Kita bisa membayangkan sesuai dengan selera kita apabila gunung pencobaan tersebut kita lemparkan ke dalam laut sehingga tenggelam dan tidak terlihat lagi. Terbentanglah jalan yang lurus dan rata dan di kejauhan nun disana akan terlihat cahaya gemerlapan yang mempesona. Mungkin saja ditengah perjalanan akan kita temui jurang curam dan kaget, apakah bisa melompatinya. Mestinya kita tidak bingung dan mulai gelisah. Salib yang kita bawa masih bisa dimanfaatkan untuk menyeberang. Oleh sebab itu salib yang kita bawa jangan sampai digergaji agar lebih ringan dan praktis.
Tuan dan Hamba
17:7 "Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! 17:8 Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. 17:9 Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? 17:10 Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."
Dalam kehidupan sehari-hari, kelihatannya yang namanya pelayan selalu melayani tuannya. Bangun paling dulu menyiapkan segala sesuatu, tidur paling belakang membereskan pekerjaan hari itu. Hampir tidak ada yang namanya pelayan akan makan semeja dengan tuannya dalam saat bersamaan. Biasanya makan belakangan dan tempatnya di belakang. Kalau toch makan di meja tuannya, paling-paling ketika tuannya tidak berada di rumah. Kata-kata “tolong, maaf, terima kasih dan pujian” hampir tidak pernah keluar dari mulut sang juragan. Semua itu adalah tugasnya dan untuk itulah pelayan dibayar. Beruntunglah keluarga penulis yang belum pernah mempunyai pelayan atau pembantu, karena merasa tidak mampu membayar dengan layak.

Dalam pemahaman penulis selama kita hidup ini, sebenarnya kita dicipta hanya untuk menjadi pelayan Allah. Kita hanya disuruh melakukan segala sesuatu sesuai dengan apa yang ditugaskan kepada kita. Hamba-hamba kecil yang tidak berarti dan tidak berguna karena kelemahan kita. Sering kali kita begitu bodoh dan bebal sehingga tidak bisa menangkap apa yang dikehendaki oleh-Nya. Atau kita lalai malahan malas karena keberatan dan kebosanan melaksanakan tugas yang harus dilakukan.

Sang Tuan selalu mengawasi kita dengan tersembunyi, apakah kita telah melakukan apa yang harus dilakukan. Jiwa atau roh yang kecil yang ditanam ke dalam diri kita bagaikan chip yang tersambung tanpa henti dengan Allah. Chip tersebut sudah diisi program dasar bagaikan benih dan akan merekam segala macam tingkah laku kita selama hidup.

Upah akan kita terima setelah segala sesuatunya selesai kita lakukan. Selesai berarti mati. Tubuh boleh hancur namun chip akan diambil kembali oleh yang Empunya. Jelas kita mengharapkan upah yang layak menurut selera kita. Mungkin kita bisa menggambarkan bahwa Sang Tuan akan menayangkan slide rekaman kelakuan kita selama masih hidup, agar upah yang akan kita terima adil, seadil-adilnya tanpa bisa protes.

Mungkin sekali waktu, akal budi ini perlu berdialog dengan hati dan jiwa :”Hai Jiwa yang telah diberikan kepadaku oleh Allah dan hidup bersamaku. Kita telah bersama-sama sampai saatnya nanti Allah memanggil kita. Sering kali aku lupa denganmu, he Jiwaku, karena kelemahanku. Aku selalu ingin berkuasa dan mengabaikanmu. Tolong ingatkan aku selalu akan tanggungjawabku karena aku bersamamu. Aku tidak dapat melihat dan merasakan engkau, hai Jiwaku. Tetapi Kasih Allah membantuku bahwa engkau ada bersamaku.”

Sepuluh Orang Kusta
17:11. Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. 17:12 Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh 17:13 dan berteriak: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" 17:14 Lalu Ia memandang mereka dan berkata: "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam." Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. 17:15 Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, 17:16 lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. 17:17 Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? 17:18 Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?" 17:19 Lalu Ia berkata kepada orang itu: "Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau."
Dalam hal ini kita boleh memahami bahwa sepuluh orang kusta tersebut satu diantaranya seorang Samaria. Yang sembilan pasti orang Yahudi. Mereka berdiri agak menjauh karena memang tidak boleh dekat-dekat dengan orang-orang yang sehat. Kita bisa membayangkan bagaimana Tuhan Yesus dari jauh berkata kepada mereka, karena belas kasih-Nya. Dan betapa mereka menuruti kata-kata Dia, pergi menemui imam-imam tanpa harus dijamah. Mukjizat terjadi di perjalanan dan semuanya tahir.

Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Samaria yang dianggap sebagai warga kelas dua, berbalik kembali kepada Tuhan Yesus untuk mengucap syukur dan memuliakan Allah. Yang sembilan orang Yahudi mungkin saking gembiranya malah lupa diri untuk berterima kasih kepada yang menyembuhkan. Yang dipentingkan adalah segera bertemu imam-imam agar eksistensinya segera diakui kembali sebagai orang-orang sehat, berkumpul dengan keluarga dan kelompoknya.

Jangan-jangan kita juga seperti sembilan orang Yahudi ini, lupa mengucap syukur dan memuliakan Allah sewaktu menerima rezeki, berkat dan karunia-Nya. Rezeki bisa bermacam-macam, yang tidak selalu enak dalam pandangan kita. Sering kali dalam benak kita bahwa rezeki selalu yang positif, dan yang negatif bukan rezeki. Mulailah kita membuat ukuran tingkat rezeki. Titik nol kita tentukan menurut selera kita masing-masing. Kita baru ingat Dia sewaktu mengalami masalah dan berkata :”Yesus, Guru, kasihanilah kami!”

Saudara kita yang kita anggap kelas dua atau bahkan lebih rendah lagi, malahan selalu pasrah dan mudah mengucap syukur. Mungkin kita perlu belajar kepada budaya Jawa yang selalu mengatakan untung atau bersyukur, walaupun terkena musibah. Masih bersyukur sewaktu mengalami kecelakaan, tangannya patah satu, tidak kedua-duanya.

Imanlah yang sebenarnya telah menyelamatkan kita. Menyelamatkan dari segala macam pencobaan yang menghadang dan menghambat kita. Syaratnya paling tidak hanya sebesar biji sesawi. Iman lebih menekankan yang rohani, walaupun tidak mengabaikan yang jasmani. Bukan dibalik, jasmani dahulu baru yang rohani. Hambatannya, yang satu kasat mata dan yang lainnya tidak kelihatan
Kerajaan Allah
17:20. Atas pertanyaan orang-orang Farisi, apabila Kerajaan Allah akan datang, Yesus menjawab, kata-Nya: "Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, 17:21 juga orang tidak dapat mengatakan: Lihat, ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu."
Sekarang ini kita bisa berkata bahwa Kerajaan Allah adalah Tuhan Yesus sendiri. Dia sendiri mengatakan dan berada di antara mereka pada waktu itu. Dalam diri-Nya sebagai Anak Manusia tidak ada tanda-tanda khusus yang dapat dilihat, yang dapat membedakan dengan manusia lainnya. Disinilah manusia duniawi yang selalu mengharapkan akan tanda-tanda khusus. Mungkin hanya orang yang bisa melihat dan mendengar dengan mata telinga hati saja yang tahu.

Di zaman sekarang inipun penulis merasa yakin bahwa Dia selalu berada di antara kita. Kita sering sekali mendaraskan doa Bapa Kami dan memohon supaya Kerajaan-Nya datang. Namun kita hampir tidak pernah merasakan kehadiran-Nya, padahal begitu dekat bahkan sangat dekat sekali. Bukan di sana atau di sini. Dia melalui atau dengan Roh Kudus-Nya sangat mendambakan untuk selalu bersatu dengan kita. Mengharapkan kesediaan kita untuk menyerahkan diri secara total, pasrah bongkokan kepada-Nya. Mungkin ungkapan bahasa Jawa pas sekali :”Gusti, manunggala kaliyan kawula.”

Mengapa kita menginginkan tanda-tanda khusus apabila Dia hadir? Mengapa kita begitu sulit untuk percaya bahwa Dia sudah hadir di antara kita? Jika kita berani jujur dengan diri sendiri, mungkin salah satu penyebabnya adalah ego kita yang dibentuk oleh akal budi ini. Kita tidak berani mengalah kepada kegairahan Tuhan untuk menyatu dengan kita. Kita merasa kawatir apabila Tuhan menguasai diri kita, bersinggasana menjadi sumber hidup kita. Jangan-jangan kita tidak bisa menikmati dan merasakan iming-iming dunia ini.

Yang sering terjadi adalah kita menutup diri kita agar bisa mengumbar hawa nafsu keinginan daging. Apabila sedang ingin membuka diri dan mempersilahkan Roh-Nya masuk, pintu hanya kita buka sedikit. Terus kita berkata :”Tuhan, Engkau boleh tinggal di hatiku. Tetapi janganlah Engkau yang menjadi Raja karena ini rumahku. Biarlah aku saja yang jadi raja untuk diriku sendiri. Engkau cukup di pojok sana saja.”

Jika Tuhan beserta kita, berarti orang lainpun disertai oleh Tuhan. Dan sebenarnya Tuhan ingin sekali menyertai semua orang. Hal tersebut bisa kita katakan bahwa Tuhan berada di antara kita. Kita bisa melihat Wajah Tuhan yang menempel di setiap orang. Begitu juga seluruh tubuh-Nya bisa kita lihat di setiap orang.

Tuhan yang penuh dengan belas kasih, sudah semestinya juga menempel di dalam diri kita, dengan harapan belas kasih-Nya juga menyatu dengan kita. Belas kasih yang tanpa syarat yang selalu memancar kepada siapapun yang membutuhkan kasih itu. Kita bisa membayangkan betapa indahnya apabila Kerajaan Allah berada di antara kita dan kita pasrah kepada-Nya untuk dikuasai. Kuasa Kasih-Nya pasti mendorong kita untuk selalu berbuat kasih. Saling mengasihi yang buah-buahnya pasti damai sejahtera, aman sentosa.

Batu sandungan yang menghalangi ya itu tadi, ego kita tidak mau dikuasai oleh Kasih-Nya. Demi ego tadi maka akal budi menyusun segala macam alasan untuk pembenaran diri sang ego. Rasanya tidak keliru apabila dikatakan bahwa lawan kata egois adalah kasih. Pembenaran diri bertolak belakang dengan penyangkalan diri.

17:22 Dan Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Akan datang waktunya kamu ingin melihat satu dari pada hari-hari Anak Manusia itu dan kamu tidak akan melihatnya. 17:23 Dan orang akan berkata kepadamu: Lihat, ia ada di sana; lihat, ia ada di sini! Jangan kamu pergi ke situ, jangan kamu ikut. 17:24 Sebab sama seperti kilat memancar dari ujung langit yang satu ke ujung langit yang lain, demikian pulalah kelak halnya Anak Manusia pada hari kedatangan-Nya. 17:25 Tetapi Ia harus menanggung banyak penderitaan dahulu dan ditolak oleh angkatan ini. 17:26 Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia: 17:27 mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua. 17:28 Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. 17:29 Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua. 17:30 Demikianlah halnya kelak pada hari, di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya. 17:31 Barangsiapa pada hari itu sedang di peranginan di atas rumah dan barang-barangnya ada di dalam rumah, janganlah ia turun untuk mengambilnya, dan demikian juga orang yang sedang di ladang, janganlah ia kembali. 17:32 Ingatlah akan isteri Lot! 17:33 Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya. 17:34 Aku berkata kepadamu: Pada malam itu ada dua orang di atas satu tempat tidur, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan. 17:35 Ada dua orang perempuan bersama-sama mengilang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan."
17:36 (Kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan.) 17:37 Kata mereka kepada Yesus: "Di mana, Tuhan?" Kata-Nya kepada mereka: "Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung nasar."
Dalam pemahaman penulis, sepertinya Tuhan Yesus bernubuat tentang apa yang akan terjadi kemudian. Dalam kegelisahan yang amat sangat akan banyak orang yang mengharapkan kehadiran-Nya. Keadaan yang seperti itu akan memunculkan banyak mesias palsu dimana-mana. Kita sudah diingatkan untuk tidak mendatanginya agar jangan sampai tersesat. Dia sudah hadir namun tidak dipercaya bahwa Dialah Mesias yang ditunggu-tunggu.

Kita juga bisa membayangkan kilat di langit dan tidak bisa mengetahui dari mana awal dan akhirnya kilat tersebut. Pandangan mata kita hanya melihat kilatannya saja, tanpa mengetahui persis titik awal munculnya maupun titik akhir hilangnya. Yang begitu sekejap jelas tidak akan memberi kesempatan untuk berpikir apapun. Sudah tidak ada waktu untuk menghindar, menyelamatkan diri atau berbuat yang lainnya. Digambarkan bagaikan zaman air bah, atau hancurnya Sodom yang begitu tiba-tiba.

Jika kita memperhatikan perkataan Tuhan Yesus bahwa Dia akan menanggung penderitaan dan ditolak oleh angkatan-Nya, sepertinya menggambarkan akan kematian-Nya di salib. Setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga, barulah akan terjadi sesuatu, kedatangan-Nya kembali. Kita bisa membaca sejarah bagaimana kehancuran Israel yang diluluh lantakkan oleh tentara Romawi. Bagaimana Yerusalem dengan Bait Allahnya dilindas rata dengan tanah oleh kereta perang, tinggal puing-puing berantakan.

Mari kita bayangkan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana kita sedang makan dan minum, ada yang sedang resepsi pernikahan, ada yang di pasar, ada yang di sawah atau sedang membangun rumah. Pikiran kita pasti sedang tertuju dengan kesibukan kita masing-masing. Bagaimana obrolan di meja makan, suasana gembira dalam resepsi, ramainya tawar menawar di pasar, maupun kesibukan dalam bekerja. Tidak sedikitpun terbersit akan kedatangan Anak Manusia yang bagaikan kilat.

Dalam pemahaman penulis, ada satu hal yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita. Jangan memikirkan hal yang duniawi! Kita masih ingat bahwa hidup lebih penting daripada makanan dan tubuh lebih penting daripada pakaian. Menghilangkan kekawatiran dan hanya pasrah kepada-Nya. Gampangannya, kita tidak akan tahu persis kapan saatnya kita mati dan bagaimana terjadinya kematian tersebut. Kita tidak pernah tahu kapan saatnya Anak Manusia datang menjemput kita. Segala kekayaan duniawi yang dimiliki tidak akan bisa menolong apa-apa.

Yang satu dibawa dan yang lainnya ditinggal, hal ini sepertinya menggambarkan bahwa hubungan kita dengan Tuhan sangat pribadi sekali. Kita tidak bisa lagi berbicara suami isteri, keluarga, saudara, teman bahkan kelompok. Setiap orang bertanggung jawab dengan dirinya sendiri sewaktu berhubungan dengan Tuhan. Kita bisa membayangkan bagaikan setiap orang yang mempunyai HP atau telepon genggam pribadi. Jumlah pemakaian atau pulsa yang dipergunakan akan tercatat masing-masing. Allah bagaikan penguasa tunggal dari sentral telepon yang maha besar dan maha canggih. Segalanya akan terdeteksi dan tercatat tanpa bisa menghindar, walaupun kita rekayasa HP kita. Pada saatnya kita akan ditagih sesuai dengan amal perbuatan kita.

Dimana ada mayat, disitu berkerumun burung nasar. Tuhan tidak menjawab pertanyaan dimana akan terjadi. Ungkapan ini membingungkan penulis untuk memahaminya. Mungkin kita tahu burung nasar yang pemakan bangkai. Bangkai binatang sampai bangkai manusia yang tidak terkubur menjadi makanan mereka. Bila kita kembali ke ungkapan sebelumnya “biarlah orang mati menguburkan orang mati” rasanya ada kaitan tertentu. Roh atau jiwa orang benar dimana Dia berkenan akan dibawa ke hadirat Allah Bapa, sedangkan roh yang lainnya ditinggalkan. Roh yang ditinggalkan ini bagaikan mayat atau bangkai yang ditinggalkan di padang gurun yang gersang. Biarlah burung nasar berpesta pora menikmati daging santapannya. Apabila orang tersebut dalam keadaan sekarat, belum sampai mati tetapi tidak berbuat apa-apa, menjadi santapan burung nazar suatu penderitaan yang bukan main hebatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar