Kamis, 10 Desember 2009

Memahami Lukas Bab18

Bab 18- Perumpamaan, Memberkati Anak, Upah
Perumpamaan tentang Hakim yang tidak Benar
18:1. Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. 18:2 Kata-Nya: "Dalam sebuah kota ada seorang hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun. 18:3 Dan di kota itu ada seorang janda yang selalu datang kepada hakim itu dan berkata: Belalah hakku terhadap lawanku. 18:4 Beberapa waktu lamanya hakim itu menolak. Tetapi kemudian ia berkata dalam hatinya: Walaupun aku tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun, 18:5 namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya menyerang aku."
18:6 Kata Tuhan: "Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu! 18:7 Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? 18:8 Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?"
Dalam pemahaman penulis, betapa Allah begitu memperhatikan umat-Nya. Betapa kuasa doa yang tidak jemu-jemunya akan selalu diperhatikan Allah. Tuhan Yesus sendiri memberi contoh sebagai seorang pendoa, yang bisa berlama-lama bercengkerama dengan Allah Bapa atau orang kudus-Nya. Berbicara dengan Tuhan untuk kehendak baik dan mohon pertolongan-Nya harus selalu didaraskan dengan sepenuh hati jiwa dan akal budi. Niscaya pasti akan dikabulkan, sesuai dengan kebijaksanaan Tuhan sendiri. Allah Bapa akan segera membenarkan doa-doa kita, apabila doa tersebut memang sesuai dengan kehendak-Nya. Mungkin itulah yang disebut misteri kuasa doa.

Mungkin disinilah sulit dan susahnya untuk menyeleksi permohonan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Si janda hanya meminta kepada si hakim untuk membela haknya, bukan yang lainnya. Hak itu sendiri sering kali kita kaitkan dengan kewajiban agar ada keseimbangan dan keadilan. Kehendak-Nya pasti berkaitan dengan kasih dan keadilan, walaupun seringkali pengabulan doa itu sendiri nyatanya penuh misteri. Paling tidak kita bisa merenungkan bahwa untuk mendapatkan hak yang kita mohon, ada kewajiban yang juga harus kita lakukan. Secara bodoh, jika kita berdoa memohon agar bisa lulus ujian, mestinya ada kewajiban belajar yang mengiringi demi terkabulnya doa.

Pertanyaan Tuhan Yesus membikin penulis tercenung, tercengang dan merenung, adakah Ia mendapati iman di bumi? Apakah kedatangan-Nya pas pada saat dunia ini begitu jahatnya? Apakah orang-orang beriman begitu minoritas dan hanya sedikit sekali yang menjadi pilihan-Nya? Bagaimana dengan zaman sekarang ini yang kelihatannya semakin egois, walaupun mengaku sebagai orang-orang beriman?

Mungkin betul juga apabila kita memperhatikan hiruk pikuknya dunia sekarang ini. Peperangan yang tidak pernah berhenti, kekerasan dan kejahatan dalam segala bentuk meraja lela, kesetia kawanan yang mulai pudar, kasih yang semakin dingin dan banyak lagi. Bahkan pertumpahan darah bisa dianggap sebagai bagian dari ajaran Allah, malahan menjadi pahlawan kebenaran. Sikap berani meng-Allah sudah dipinggirkan, diganti dengan tidak mau ngalah. Dimanakah letak kesalahannya? Mungkinkah penjabaran iman yang sudah bergeser secara pelan-pelan dan berubah arti serta maksudnya?

Adakah sebutan Allah yang pencemburu dapat diartikan sebagai Allah yang menyetujui terjadinya kekerasan, balas dendam dan peperangan? Bahkan dalam satu agama terjadi perselisihan, saling berperang dan saling membunuh. Pasti semuanya akan mengaku benar dan lawannya yang salah. Kemudian mempertahankan kebenarannya masing-masing, melupakan bahkan menghilangkan kesalahan diri. Bagaimana dengan sebutan Allah yang mahapengasih dan mahapengampun, yang maharahim?

Dalam benak penulis, semuanya seperti terbalik-balik tidak keruan. Allah yang sering kita sebut mahapengasih dan memberikan hukum kasih, pasti tidak berkenan dengan perbuatan yang melawan kasih. Pasti kembali kepada manusianya yang menafsirkan ajaran, yang disesuaikan dengan tujuan tertentu dan itu condong ke duniawi. Mari kita renungkan masing-masing, apakah Dia mendapati iman di bumi ini?
Perumpamaan tentang Orang Farisi dan Pemungut Cukai
18:9. Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: 18:10 "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. 18:11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; 18:12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. 18:13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. 18:14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."
Perumpamaan ini sepertinya menggambarkan seseorang yang merasa telah benar di jalan Tuhan namun merendahkan orang lain, dan seorang lainnya yang merasa selalu berbuat dosa dan kesalahan. Contohnya hampir selalu orang Farisi dan pemungut cukai. Dan si pemungut cukailah yang dibenarkan Allah.

Jika kita cermati, perbuatan baik orang Farisi tersebut jelaslah tidak keliru. Mengucap syukur, memberi sepersepuluh penghasilan, berpuasa dua kali seminggu yang kalau tidak salah setiap hari Rabu dan Jumat seperti yang dipesankan Bunda Maria di Medjugorje. Dia tidak merampok, tidak berbuat lalim dan juga bukan pezinah.

Yang tidak dibenarkan Tuhan Yesus adalah menganggap diri benar, lebih baik dari orang lain.

Bersyukurlah para perampok, orang lalim, pezinah dan pemungut cukai yang berani mengakui segala kesalahnnya! Berani mengakui dosanya bahkan tidak berani menengadah ke langit, mungkin juga tidak berani berkumpul dengan orang-orang yang dihormati banyak masyarakat. Berani mengakui sebagai sampah masyarakat, sebagai orang-orang yang terpinggirkan.

Bagaimana dengan kita? Jangan-jangan di hadapan Tuhan Yesus, kita disamakan dengan orang Farisi. Kita merasa sebagai orang yang telah menuruti ajaran Tuhan dan ajaran Gereja, kalau sampai keliru tidak fatal-fatal amat. Namun kalau sedang berkumpul dan ngobrol, biasanya membicarakan kekurangan atau kelemahan orang lain. Apa yang kita peroleh? Tidak mendapatkan apa-apa! Karena kita merasa lebih baik dari pada orang yang sedang dibicarakan. Kita tidak belajar apa-apa, selain membuang waktu secara sia-sia. Pasti akan berbeda jikalau kita membicarakan hal-hal positif akan kelebihan dan kekuatan seseorang. Kita akan merasa bahwa kita kalah, masih kurang, dan ingin belajar. Disini kita akan mendapatkan sesuatu yang selama ini belum kita peroleh. Di atas langit masih ada langit, dan kita tidak tahu sampai dimana batasnya.

Mari kita bayangkan sewaktu kita masuk ke gereja untuk berdoa, inginnya khusuk berdialog dengan Tuhan. Kemudian masuklah anak-anak kecil yang ramai dan gaduh. Selanjutnya datang anak anak muda dengan pakaian seksi seperti mau ke diskotik. Yang datang kemudian adalah orang-orang berpakaian lusuh memakai sandal jepit. Sewaktu bernyanyi memuji Allah terdengar suara cempreng seseorang yang tidak sesuai dengan nada orang banyak. Apa yang kita rasakan pada saat itu? Masih bisakah kita konsentrasi berdoa kepada Allah tanpa memikirkan yang lain? Masihkah kita membuat kasta yang membedakan, walaupun di hadapan Allah?
Yesus memberkati Anak-anak
18:15. Maka datanglah orang-orang membawa anak-anaknya yang kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka. Melihat itu murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. 18:16 Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: "Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. 18:17 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya."
Anak kecil yang polos dan belum mengenal topeng, akan berbuat apa adanya. Ingin tertawa ya tertawa, ingin menangis ya menangis, ingin berlari ya berlarian kesana kemari. Mereka belum mengenal betul yang namanya sopan santun, rasa malu, jijik, dan sebagainya. Mungkin yang ditakuti hanyalah kesendirian, kegelapan dan suara keras. Dalam perjalanan waktu, mulailah anak-anak tersebut diisi, diprogram, bahasa kerennya diajar. Sianak akan belajar dari orang tua, lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya, maupun alam yang dilihatnya. Secara pelan tetapi pasti, anak yang polos dan bebas tadi mulai diikat sedikit demi sedikit. Segala macam benih, mulai dari gandum sampai ilalang mulai tertanam dalam benak. Semuanya akan dimasukkan ke dalam memori otaknya, terus direkam. Orang dewasa sudah diajar dan diprogram mengenal topeng, bagaimana harus berperan pura-pura. Diikat oleh adat kebiasan, etika, sopan santun, budi pekerti dan banyak lagi yang kadangkala menjadi batu sandungan.

Dalam pemahaman penulis, kita diajar untuk kembali seperti anak kecil yang polos, apabila ingin memasuki Kerajaan Allah. Pribadiku berkomunikasi dengan Allahku secara bahasa rohani tanpa tedeng aling-aling. Aku yang telanjang bulat dan transparan di hadapan-Nya. Relasi tersebut sifatnya sangat pribadi sekali. Dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan kehidupan duniawi yang diikat oleh aturan sosial. Bahasa hati yang sangat berbeda dengan bahasa dunia yang kita kenal. Bahasa hati yang tidak berpegang kepada tata bahasa, kalimat indah sesuai kriteria.

Jika kita tidak mau lepas dari ikatan yang kita terima, mestinya sewaktu berhadapan dengan Tuhan, maka ikatannya harus semakin kita kencangkan. Dia lebih berkuasa dari segala macam tali ikatan yang dibuat manusia. Jika aku mengangguk hormat kepada seseorang, maka aku harus membungkuk lebih dalam lagi kepada Tuhan. Jika aku mempersiapkan jasmaniku karena akan bertemu presiden, maka aku harus semakin mempersiapkan jasmani dan rohaniku sesuai kemampuanku karena akan bertemu Tuhan. Nyatanya sulit dan sering jadi perdebatan, dan itu sah-sah saja. Membuat jalan lurus dan rata memang memerlukan waktu dan usaha secara konsisten.
Orang Kaya susah masuk Kerajaan Allah
18:18. Ada seorang pemimpin bertanya kepada Yesus, katanya: "Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" 18:19 Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. 18:20 Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu." 18:21 Kata orang itu: "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku."
18:22 Mendengar itu Yesus berkata kepadanya: "Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." 18:23 Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya. 18:24 Lalu Yesus memandang dia dan berkata: "Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah. 18:25 Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."
18:26 Dan mereka yang mendengar itu berkata: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" 18:27 Kata Yesus: "Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah."
Dalam pemahaman penulis, Tuhan Yesus menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang baiknya sempurna kecuali Allah saja. Untuk memperoleh hidup yang kekal, nyatanya tidak cukup dengan hanya menuruti ajaran begitu saja. Mungkin banyak orang yang menghormati orang tua, tidak berzinah, membunuh, mencuri, berdusta maupun perbuatan buruk lainnya. Itu semua belum cukup dan masih kurang! Masih ada satu hal lagi yang penting, dan disebutkan sebagai perbuatan nyata, yaitu peduli kepada orang-orang yang membutuhkan uluran tangannya. Kalau perlu segala yang dapat dibagikan dihabiskan semua. Biarlah mereka berterima kasih dan tidak dapat membalas kepedulian dan belas kasih tersebut. Paling tidak akan berkata dalam doanya, semoga dibalas oleh Allah yang mahamurah.

Kita diajar dengan tegas untuk berani lepas dari ikatan duniawi, yang sering kita jabarkan sebagai kekayaan materi yang kasat mata. Dan kita diajar untuk mengikatkan diri kita kepada kekayaan surgawi, dengan cara mengikuti Dia. Mungkin kita bisa berkata bahwa agama duniawi sangat berbeda dengan agama kasih yang surgawi. Persoalannya adalah bahwa kita masih hidup di dunia, yang mau tidak mau akan berhubungan dengan uang dan materi.

Menjual dan membagikan harta yang dimiliki kepada kaum miskin, nyatanya sering menjadi batu sandungan. Betapa susahnya setelah mengumpulkan harta, lha koq dengan mudahnya harus dibagikan. Mengapa mereka tidak berusaha sendiri mencari dan mengumpulkan? Untuk mencapai taraf pemimpin atau pengaruh dengan kekayaannya, kan sudah memerlukan perjuangan tersendiri. Mungkin perlu waktu bertahun-tahun untuk mencapai taraf hidup lebih dari cukup.

Kalau dipikir-pikir, memang semakin kaya seseorang, maka orang tersebut akan semakin pelit. Lho koq bisa? Anggap saja memberi dengan persepuluhan dari penghasilan. Sepersepuluh dari seratus ribu mungkin masih ikhlas, tetapi kalau sepersepuluh dari satu milyard? Wuach! Besar betul seratus juta, kan bisa untuk segala macam. Dan umumnya akan lupa dengan miliknya yang masih sembilan ratus juta. Melepaskan yang seperduapuluhpun masih akan terasa besar sekali, karena limapuluh juta. Nyatanya penulispun masih enggan untuk mengeluarkan seratus ribu dari penghasilan sejuta sebulan. Mungkin bisa dimaklumi karena dengan uang tersebut masih pas-pasan. Kadang lebih sedikit kadang kurang.

Mungkin, berbahagialah orang yang hidupnya pas-pasan dan dapat bersyukur. Jika ada kelebihan masih bisa mempedulikan orang lain yang membutuhkan. Jika tidak ada lagi, ya apa boleh buat, yang jpenting tidak merepotkan orang lain. Mereka malah tidak pernah kawatir dicuri atau dirampok karena memang tidak ada yang bisa diambil.

Kalau kita mencoba merenung dengan sungguh tanpa emosi, anggap saja jiwa ini bertanya kepada akal budi yang penuh kedagingan. Apa yang paling dibutuhkan untuk hidup ini, mungkin kita bisa bersetuju bahwa yang pertama dan utama adalah makan dan minum secukupnya. Tidak makan dan minum selama sebulan mungkin sudah almarhum. Kebutuhan selanjutnya adalah pakaian secukupnya. Pasti kita akan malu kalau sampai telanjang. Mungkin inilah kebutuhan dasar untuk sekedar kelangsungan hidup, yang diharapkan oleh setiap manusia.

Jika si jiwa ini bertanya lebih lanjut kepada si akal budi, apa lagi yang dibutuhkan setelah sandang dan pangan. Mulailah si akal budi berandai-andai dan melihat sekelilingnya yang begitu menggoda. Muncullah klasifikasi tingkat kebutuhan yang buntutnya mungkin tidak akan terpuaskan sampai kapanpun. Kan perlu tempat tinggal sendiri, mulai dari kost, kontrak sampai mempunyai rumah dengan segala isinya. Masak kemana-mana koq jalan kaki, kan ada kendaraan yang bisa membuat lebih nyaman. Rumahku adalah istanaku. Maka rumah tersebut kalau bisa dibuat sedemikian rupa agar kerasan tinggal di rumah. Mulai muncul perasaan kawatir, jangan-jangan mengundang keinginan orang berbuat jahat. Kemudian membuat pagar tinggi, kalau perlu dilengkapi dengan segala macam alarm.

Ech, nyatanya masih belum memuaskan juga, masak malah terkurung dalam istana sendiri. Perasaan ingin lebih ini harus mendapat pengakuan dari orang lain, paling tidak di sekitarnya. Si akal budi berkata :”Keberadaan kita yang sudah lebih ini masih belum cukup. Kita kan harus mengikuti perkembangan dunia ini. Kalau tidak begitu, bagaimana kita bisa maju? Kita harus berusaha bagaimana keberadaan kita bisa diakui oleh orang lain. Kita kan masih hidup di dunia nyata dan harus kita nikmati. Masalah kewajiban agama juga sudah kita jalankan”

Dan si akal budi ini dengan akalnya memang pandai bersilat lidah dengan segala macam alasannya. Kenyataannya semua argumentasi tersebut bisa diilmiahkan, diakui dunia dan masuk akal. Jawaban Tuhan Yesus untuk menjual seluruh harta, menjadi tidak masuk akal dunia, malah mendekati aneh. Berlawanan dengan kehendak dunia yang masuk akal.

Ada satu hal yang masih melegakan hati kita. Allah Bapa maha memaklumi akan kelemahan manusia. Pada dasarnya manusia itu serakah, ingin memiliki lebih sesuai tingkat kebutuhan yang semakin bertambah. Selalu merasa tidak cukup, walaupun yang telah dimiliki sering tidak pernah disenggol lagi karena lupa. Sepertinya tidak ada atau sedikit sekali yang diselamatkan. Namun apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah! Hal tersebut menyiratkan bahwa hidup kekal itu bukan karena karya manusia, namun lebih dari itu, karena karunia Allah. Manusia hanya bisa berharap saja, semoga diterima di pangkuan-Nya. Agar mendekati kehendak Allah maka kita diajar hal-hal pokok yang berhubungan dengan rambu-rambu kehidupan. Hukum kasih kepada Allah dan sesama, Allah yang lebih rohani dan manusia yang lebih jasmani. Rohani yang diutamakan, jasmani jangan diabaikan. Penerapannya diungkapkan mulai dari yang kasat mata yang ujung-ujungnya menuju yang tidak kasat mata.

Upah mengikut Yesus
18:28 Petrus berkata: "Kami ini telah meninggalkan segala kepunyaan kami dan mengikut Engkau." 18:29 Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orang tuanya atau anak-anaknya, 18:30 akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal."
Jika kita renungkan dengan sedikit gurauan, Petrus dan kawan-kawannya telah meninggalkan segala-galanya. Mereka mengikut Kristus langsung begitu saja, tanpa persiapan dan bekal. Bagaimana dengan keluarganya yang ditinggalkan? Apakah setelah itu mereka menjadi miskin? Kelihatannya tidak juga. Mereka mempunyai pengikut atau saudara baru yang semakin banyak, berkelana kemana-mana mewartakan firman Tuhan. Kebutuhan hidup sehari-hari sepertinya tidak ada masalah karena semakin banyak penderma yang dengan tulus ikhlas saling berbagi. Mereka menerima berlipat ganda sehingga kita masih bisa melihat tinggalan karya mereka. Gereja-gereja megah dan agung yang tersebar dimana-mana, yang tak terhitung lagi berapa nilainya.

Dengan segala kemegahan dan penderitaan yang dialami pada waktu itu, sekarang ini mereka sudah menerima dan menikmati hidup kekal di surga. Merekalah para santo dan santa atau orang kudus, yang telah berani meninggalkan segalanya bahkan nyawanya sekalipun, demi Kerajaan Allah. Ditegaskan oleh Tuhan Yesus bahwa Kerajaan Allah begitu pribadi sekali, tidak mengenal ikatan keluarga atau kedekatan yang lainnya.

Bagaimana dengan kita? Rasanya terlalu jauh jika membandingkan dengan mereka yang berani segala-galanya. Zaman sekarang ini rasanya begitu sulit menemukan martir-martir seperti zaman dahulu. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, mungkin rekayasa pengemasannya mengalami perubahan. Atau malahan sebaliknya, bahkan ketergantungan kepada ilmu dan teknologi dunia lebih mengikat manusia.

Kelekatan akan sesuatu bisa menjadi batu sandungan dalam perjalanan ziarah hidup ini. Yang pertama mungkin kelekatan akan pertalian darah, marga, fam atau sejenisnya. Hal tersebut tidak keliru selama masih bisa mengutamakan kelekatan kepada Tuhan. Harta warisan duniawi malahan sering kali menjadi perpecahan dan perselisihan. Harta warisan surgawi malahan tidak pernah habis dan bahkan tidak pernah diperdebatkan dan diperebutkan.

Yang kedua mungkin kelekatan akan materi, harta benda yang bisa mengakibatkan lupa daratan. Contoh besarnya adalah rebutan warisan, rebutan kekuasaan dan pengaruh, dimana semua pihak merasa benar. Contoh yang sederhana saja, apabila kita memberikan sesuatu kepada seseorang. Dalam hati kita berkata bahwa pemberian tersebut dengan tulus ikhlas. Bukan lagi menjadi milik kita namun sudah menjadi kepunyaan yang kita beri. Apa yang akan terjadi dalam hati pikiran kita, apabila kita menyaksikan si penerima tadi membuang pemberian, atau bahkan menginjak-injaknya? Benarkah bahwa hati kita penuh dengan keikhlasan ataukah sebenarnya dengan syarat tertentu? Pasti akan berbeda jikalau pemberian tersebut dibuang atau diludahi tanpa sepengetahuan kita. Persoalannya sama persis, pemberian yang dibuang, namun ada perbedaan karena dilihat dan tidak.


18:31. Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu berkata kepada mereka: "Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan segala sesuatu yang ditulis oleh para nabi mengenai Anak Manusia akan digenapi. 18:32 Sebab Ia akan diserahkan kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, diolok-olokkan, dihina dan diludahi, 18:33 dan mereka menyesah dan membunuh Dia, dan pada hari ketiga Ia akan bangkit." 18:34 Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu; arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan.
Dalam pemahaman penulis, kita bisa memaklumi apabila para rasul pada saat itu tidak mengerti karena memang belum terjadi. Setelah segalanya lewat dan sudah terjadi, maka sadarlah bahwa perkataan Anak Manusia adalah suatu nubuat dan penggenapan. Anak Manusia sudah tahu apa yang akan terjadi di Yerusalem. Dia akan diserahkan kepada bangsa yang tidak mengenal Allah, yang kita tahu adalah bangsa Romawi. Bangsa yang masih menyembah para dewa-dewa yang mereka ciptakan sendiri. Kita semua sudah tahu secara umum sesuai yang tertulis dalam Injil.

Kita bisa membayangkan bagaimana rasanya diolok-olok, dihina dan diludahi. Suatu penghinaan yang luar biasa. Bagi kita pasti menyakitkan hati, tidak kelihatan bekasnya di tubuh namun sakitnya bukan main. Kita juga bisa membayangkan bagaimana rasanya disesah, dianiaya secara badani, dimana seluruh kulit dan daging tersobek-sobek dan berdarah-darah. Segala macam pukulan dan siksaan yang menyakitkan namun tidak sampai langsung mematikan. Pasti penderitaan yang luar biasa. Hal itu belum cukup, karena setelah itu dibunuh di kayu salib, dengan paku-paku yang menembus kedua belah tangan dan kaki-Nya. Namun hebatnya dan yang menakjubkan adalah, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati. Dia mengalahkan kematian dan hidup kembali.

Tuhan Yesus tidak menghindar dari malapetaka yang bakal dihadapi dan dialami, namun jalan terus. Skenario harus tetap berjalan sesuai cerita, walaupun harus menderita dan wafat di kayu salib. Dia tidak membalas dengan kemarahan dan dendam, namun malahan mendoakan yang menganiaya. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh Yang Illahi. Dia memberikan hidup-Nya agar manusia bisa hidup.
Orang Buta dari Yerikho disembuhkan
18:35. Waktu Yesus hampir tiba di Yerikho, ada seorang buta yang duduk di pinggir jalan dan mengemis. 18:36 Waktu orang itu mendengar orang banyak lewat, ia bertanya: "Apa itu?" 18:37 Kata orang kepadanya: "Yesus orang Nazaret lewat." 18:38 Lalu ia berseru: "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" 18:39 Maka mereka, yang berjalan di depan, menegor dia supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: "Anak Daud, kasihanilah aku!" 18:40 Lalu Yesus berhenti dan menyuruh membawa orang itu kepada-Nya. Dan ketika ia telah berada di dekat-Nya, Yesus bertanya kepadanya: 18:41 "Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" Jawab orang itu: "Tuhan, supaya aku dapat melihat!" 18:42 Lalu kata Yesus kepadanya: "Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau!" 18:43 Dan seketika itu juga melihatlah ia, lalu mengikuti Dia sambil memuliakan Allah. Seluruh rakyat melihat hal itu dan memuji-muji Allah.
Jika kita cermati, nama Yesus begitu terkenal dimana-mana sebagai Sang Penyembuh dan Penghibur. Getok tular dari mulut ke mulut nyatanya sampai juga di telinga seorang pengemis yang buta. Dia mengenal Yesus sebagai anak Daud dan meminta dikasihani. Permintaannya hanya satu, supaya dapat melihat dan dia percaya bahwa apapun yang dikatakan Sang Anak Daud pasti terjadi. Mukjizat terjadi karena iman yang telah menyelamatkan. Karena imannya maka dia mengikut Tuhan Yesus sambil memuliakan Allah. Demikian juga rombongan rakyat yang mengikuti Dia.

Kita bisa semakin memahami bahwa betapa Tuhan Yesus penuh belas kasih kepada orang yang membutuhkan uluran tangan-Nya. Dia memberikan penghiburan kepada kaum miskin dan menderita, memberi penyembuhan kepada yang sakit. Namun Dia malah mengecam orang-orang yang tidak mempunyai rasa keadilan dan kepedulian kepada sesamanya. Kebanyakan yang dikecam adalah kelompok orang yang mampu dalam segala hal.

Sepertinya kita diminta untuk mencontoh Dia, yang berbicara dan langsung melakukan. Satunya pikiran, perkataan dan perbuatan untuk lebih peduli kepada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan. Dengan kekayaan yang kita miliki masing-masing, maka kita bisa membagikan kekayaan kita. Dalam pemikiran penulis, kaya tidak selalu materi dan harta duniawi. Ada kekayaan rohani, kekayaan ilmu, kekayaan pengalaman hidup dan mungkin masih banyak yang lain. Dan kita bisa membagikan kekayaan tersebut kepada yang membutuhkan, tanpa harus menghitung untung dan rugi.

Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun sering menjadi buta dan tuli dengan kehidupan di sekitar kita. Kebutaan tersebut malah kita bikin sendiri dan dipelihara, sehingga tidak tahu apa saja yang terjadi di sekeliling kita. Mata hati kita juga sering buta sehingga tidak tahu bahwa Tuhan berada begitu dekat.
Tuhan, sembuhkanlah aku agar aku bisa melihat Engkau yang menghampiri aku. Bukalah mata wadagku dan mata hatiku agar bisa memuliakan Engkau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar