Senin, 07 Desember 2009

Memahami Lukas Bab9

Bab 9- Pengutusan, Memberi Makan Orang Banyak dan Transfigurasi
Mengutus keduabelas Murid
9:1. Maka Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka untuk menguasai setan-setan dan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit. 9:2 Dan Ia mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah dan untuk menyembuhkan orang, 9:3 kata-Nya kepada mereka: "Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju. 9:4 Dan apabila kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari situ. 9:5 Dan kalau ada orang yang tidak mau menerima kamu, keluarlah dari kota mereka dan kebaskanlah debunya dari kakimu sebagai peringatan terhadap mereka."
9:6 Lalu pergilah mereka dan mereka mengelilingi segala desa sambil memberitakan Injil dan menyembuhkan orang sakit di segala tempat.
Menurut pemahaman penulis, kelihatannya para murid mendapat tugas pengutusan memberitakan Kerajaan Allah. Untuk itu mereka dibekali dengan kekuatan dan kuasa yang hebat. Namun ada suatu hal yang menarik bahwa para murid dilarang membawa apapun. Mereka tidak boleh kuatir tentang bekal makanan maupun pakaian, karena sering kali hal ini yang menjadi batu sandungan. Masih ada orang baik yang mau menerima mereka. Kalau toch ada yang menolak, janganlah tolakan itu menjadi suatu hambatan yang dapat menimbulkan dendam, mengganjal di hati. Hanya karena ditolak, jangan sampai hal tersebut menjadi sandungan sewaktu mewartakan Kerajaan Allah.

Kelihatannya perbuatan mengebaskan debu dari tubuh mempunyai makna yang tidak disukai orang. Mungkin hampir sama kalau seseorang meludah di hadapan orang lain dengan sikap tertentu. Perbuatan-perbuatan tersebut tentunya meninggalkan bekas bagi orang lain yang merasa, bahwa ada sesuatu yang membikin tidak suka. Namun dari sisi lain dapat dipahami bahwa kebasan debu menjadi simbul pakaian yang tidak berdebu, alias hati pikiran yang jangan sampai terkotori oleh hal-hal yang kecil atau sepele.

Kita diajar untuk melupakan segala macam yang tidak mengenakkan hati, walaupun badan ini tidak ada sedikitpun yang terluka. Kita diajar untuk mengerti perbuatan orang lain, dan kemudian memaklumi mengapa melakukan seperti itu. Dengan bisa memaklumi maka kita akan terbebas dari pikiran-pikiran negatif, yang akan menjadi beban dan batu sandungan. Tidak ada ingatan lagi yang mengisi memori yang membuat kesal kepada seseorang.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya setiap orang yang sudah dibaptis akan menjadi keluarga Allah atau warga gereja. Mereka mendapat tugas atau kewajiban untuk mewartakan Kerajaan Allah. Tugas pewartaan ini tidak selalu menenteng Kitab Suci kemana-mana, namun dapat disesuaikan dengan kemampuan kita masing-masing. Menurut penulis, yang paling gampang adalah menjadi orang baik dan benar, yang dapat menjadi contoh di sekitarnya. Contoh inilah mungkin wujud nyata menjadi murid Tuhan Yesus, yang merupakan orang pilihan. Yang disebut pilihan atau panutan, biasanya lebih sedikit daripada umumnya. Memberitakan Injil atau kabar keselamatan adalah perbuatan nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar. Perbuatan ini nyatanya tidak selalu membutuhkan materi, tidak memerlukan imbalan, tidak mengharuskan merubah agama dan sebagainya.

Sebenarnya para murid Kristus dapat menyembuhkan orang yang sakit. Sakit disini tidak melulu sakit jasmani, namun bisa sakit yang lain-lain. Kita bisa mengklasifikasikan bahwa orang yang kelakuannya tidak baik dan tidak benar termasuk orang yang sedang sakit. Hampir semua orang sebenarnya merindukan kesehatan jasmani dan rohani, lahir dan batin. Satu orang saja berubah menjadi baik dan benar, keluarga di surga akan sangat bersukacita. Mungkin saja untuk yang seorang ini diperlukan waktu khusus untuk “menyembuhkan” sehingga perhatian tertumpah hanya kepadanya untuk beberapa saat.

Herodes dan Yesus
9:7 Herodes, raja wilayah, mendengar segala yang terjadi itu dan iapun merasa cemas, sebab ada orang yang mengatakan, bahwa Yohanes telah bangkit dari antara orang mati. 9:8 Ada lagi yang mengatakan, bahwa Elia telah muncul kembali, dan ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit. 9:9 Tetapi Herodes berkata: "Yohanes telah kupenggal kepalanya. Siapa gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan hal-hal demikian?" Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus.
Kelihatannya pada waktu itu kabar tentang Yesus menjadi bermacam-macam. Cerita reinkarnasi sepertinya sudah dikenal di zaman Yahudi. Penulis tidak tahu persis apakah sebelumnya pernah ada suatu nubuat yang mengatakan bahwa akan ada nabi yang telah tiada akan datang kembali. Penulis hanya mengetahui bahwa ada cerita nabi Elia akan datang kembali. Dan kabar seperti itu pasti membuat geger, cepat menyebar kemana-mana. Mungkin saja cerita tersebut penuh dengan bumbu penyedap, agar semakin terasa misterinya. Nyatanya raja Herodespun merasa cemas, dan jangan-jangan Dia yang dapat menggeser kedudukannya. Sayangnya sebagai seorang raja, ia tidak dapat keluyuran seenaknya seperti orang biasa. Paling yang dapat dilakukan memerintah anak buah untuk mengundang Dia datang ke istana. Namun Tuhan Yesuspun sepertinya tidak ingin berjumpa dengan Herodes, sebelum tiba waktunya.

Sekecil apapun, mestinya Herodes diliputi rasa bersalah dan kawatir, jangan-jangan akan ada suatu pembalasan. Membunuh adalah melawan salah satu ajaran dari sepuluh perintah Allah. Dan mestinya Herodes tahu persis akan hal itu, karena dia orang Yahudi. Siapapun orang yang diliputi rasa bersalah pada umumnya membutuhkan pelepasan agar tidak selalu menjadi ganjalan. Tempat pelepasan ataupun curahan hati ini biasanya juga bukan sembarang tempat atau sembarang orang. Mereka harus mempunyai kelebihan nilai tertentu menurut pandangan umum. Mungkin inilah mengapa Herodes ingin bertemu Tuhan Yesus.

Memberi Makan limaribu orang
9:10. Sekembalinya rasul-rasul itu menceriterakan kepada Yesus apa yang telah mereka kerjakan. Lalu Yesus membawa mereka dan menyingkir ke sebuah kota yang bernama Betsaida, sehingga hanya mereka saja bersama Dia. 9:11 Akan tetapi orang banyak mengetahuinya, lalu mengikuti Dia. Ia menerima mereka dan berkata-kata kepada mereka tentang Kerajaan Allah dan Ia menyembuhkan orang-orang yang memerlukan penyembuhan.
9:12 Pada waktu hari mulai malam datanglah kedua belas murid-Nya kepada-Nya dan berkata: "Suruhlah orang banyak itu pergi, supaya mereka pergi ke desa-desa dan kampung-kampung sekitar ini untuk mencari tempat penginapan dan makanan, karena di sini kita berada di tempat yang sunyi." 9:13 Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Kamu harus memberi mereka makan!" Mereka menjawab: "Yang ada pada kami tidak lebih dari pada lima roti dan dua ikan, kecuali kalau kami pergi membeli makanan untuk semua orang banyak ini." 9:14 Sebab di situ ada kira-kira lima ribu orang laki-laki. Lalu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Suruhlah mereka duduk berkelompok-kelompok, kira-kira lima puluh orang sekelompok." 9:15 Murid-murid melakukannya dan menyuruh semua orang banyak itu duduk. 9:16 Dan setelah Ia mengambil lima roti dan dua ikan itu, Ia menengadah ke langit, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya supaya dibagi-bagikannya kepada orang banyak. 9:17 Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian dikumpulkan potongan-potongan roti yang sisa sebanyak dua belas bakul.
Betsaida kalau tidak salah terletak di pinggir pantai utara danau Galilea. Dikenal dengan gerejanya yang bermozaik lima roti dan dua ikan. Penulis tidak bisa membayangkan suasana pada waktu itu, bagaimana orang berkumpul lebih dari lima ribu orang. Hebatnya lagi, bagaimana orang sebanyak itu bisa mendengarkan kotbah Kerajaan Allah. Gereja zaman sekarang yang tempat duduknya berisi penuh, anggaplah seribu orang saja, yang di belakang tidak dapat mendengar kotbah pastor jika tanpa pengeras suara. Tuhan Yesus berbicara di tempat terbuka, di pinggir danau. Kemungkinan besar kalau dipikir secara nalar, tempat tersebut bagaikan amphitheater yang dapat memantulkan gelombang suara dengan jelas.

Di zaman sekarang, suasana seperti di atas adalah peluang bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Karena tempat yang sunyi, apabila berjualan makanan pasti menguntungkan. Pasti banyak orang yang membutuhkan makanan pengisi perut, paling tidak bagi anak-anak yang bersama dengan orang tuanya.

Nyatanya Tuhan Yesus penuh dengan belas kasihan kepada mereka semua. Mukjizat besar terjadi karena banyak orang dikenyangkan dari pecahan roti yang hanya lima buah. Ikan yang hanya dua ekor. Penulis merasa yakin bahwa mukjizat tersebut benar-benar terjadi, maka sampai dituliskan oleh Lukas. Hanya saja jumlah orang yang hadir mungkin tidak sampai sebanyak itu. Menekankan inti mukjizat memberi makan banyak orang, maka perlu dituliskan angka yang relatif besar agar semakin punya nilai lebih.

“Kamu harus memberi mereka makan!” Kata-kata ini yang sering penulis rasakan sewaktu doa makan dalam kelompok lingkungan. Dalam doa tersebut, kita sering mendoakan saudara-saudara kita yang belum mendapat rezeki. Seolah-olah kita menyuruh Tuhan agar menyediakan rezeki bagi mereka yang belum makan. Jadi sewaktu kita sedang menikmati makanan dari tuan rumah, biarlah yang di luar sana diurusi oleh Tuhan sendiri. Kita merasa terbebas dari segala macam pikiran, beban atau apapun namanya, karena Tuhan yang berkarya.

Dalam suatu doa, penulis mengucap juga demikian, dan agak tersentak ketika seperti ada suara yang menggema di dalam hati. Suara tersebut kurang lebih berkata :”Itu kewajibanmu!” Sejak saat itu penulis tidak berani lagi memohon untuk mereka yang belum bisa makan. Mungkin malah mendekati janji, semoga dari segala makanan dan minuman tersebut akan memberikan berkat, kekuatan untuk bekerja dan berkarya agar dapat membantu kekurangan orang yang membutuhkan.

Tuhan Yesus meminta kepada mereka untuk duduk berkelompok sekitar limapuluhan orang dalam satu kelompok. Dengan duduk berkelompok, maka akan lebih mudah menghitung berapa banyak orang yang harus diberi makan. Kita mungkin bisa membayangkan bagaimana mereka berkelompok, saling berbicara atau ngobrol. Mungkin istilah kerennya sedang sharing atau berbagi pengalaman hidup, setelah mendengarkan kotbah Tuhan Yesus. Dari sharing tersebut, pasti ada sesuatu hal yang dapat menggugah atau menyentuh hati. Sentuhan hati inilah yang diharapkan dapat merubah pikiran dan hati untuk berbuat yang lebih baik dan benar.

Dan terjadilah mukjizat yang sisanya sampai duabelas bakul. Mungkin saja angka duabelas ini mengandung suatu ungkapan yang lebih dalam dan kita masing-masing bisa berandai-andai. Dari mana mereka mendapatkan bakul kosong yang kemudian diisi sisa roti?

Pengakuan Petrus
9:18. Pada suatu kali ketika Yesus berdoa seorang diri, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka: "Kata orang banyak, siapakah Aku ini?" 9:19 Jawab mereka: "Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit." 9:20 Yesus bertanya kepada mereka: "Menurut kamu, siapakah Aku ini?" Jawab Petrus: "Mesias dari Allah." 9:21 Lalu Yesus melarang mereka dengan keras, supaya mereka jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun.
Simon Petrus kelihatannya tanpa ragu-ragu berkata bahwa Sang Guru adalah Mesias dari Allah. Yang Terurapi dari Allah dapat dikatakan orang yang benar-benar terpilih oleh Allah sendiri. Menurut pemahaman penulis, pada saat itu Petrus menjawab secara spontan begitu saja. Dia merasa yakin bahwa gurunya bukan Yohanes Pembaptis, bukan Elia dan bukan juga nabi-nabi yang bangkit. Dia lebih tinggi dan lebih hebat dari itu, lebih segala-galanya, dan yang paling pas ya Mesias. Mungkin pada waktu itu Roh Kudus yang berkarya dalam diri Petrus.

Hanya satu hal, penulis merasa bahwa Petrus maupun rasul lainnya belum berpikir bahwa gurunya adalah Tuhan, Allah sendiri yang hadir menjadi manusia sejati. Pada saat itu, anggapannya adalah bagaimana mungkin Allah mau menjilma menjadi manusia biasa. Mungkin bagi para ahli Taurat, sebutan Mesias mempunyai makna tersendiri, yang lebih tinggi lagi dibanding pemikiran para rasul. Disinilah Tuhan Yesus melarang jangan sampai orang lain tahu bahwa Dialah Mesias yang dinubuatkan para nabi terdahulu. Biarlah semua orang lain menduga-duga atau menganggap Dia sebagai siapapun.

Dalam pemahaman penulis, Simon Petrus mungkin termasuk orang baik yang keras hati, gampang ceplas-ceplos, bahasanya tidak halus. Dari sisi lain, dia termasuk orang yang gampang menyesali diri sampai sedih, apabila disadari perbuatannya keliru. Dia termasuk orang yang kokoh, kukuh dan keukeuh, ya wataknya ya percayanya maupun tangisnya. Dalam bahasa Jawa temuwa yang kurang lebih merasa lebih tua mewakili rasul yang lain dan dituakan. Mungkin hanya dia yang sudah berkeluarga, entah sudah berputera atau belum.

Dan hebatnya, Tuhan Yesus memilih para rasul dari orang kebanyakan, yang pasti diluar perkiraan banyak orang pada umumnya. Sepertinya yang dipilih orang-orang sederhana, polos, apa adanya. Bukan dari kalangan ilmiah, para ahli Kitab Suci, ahli tafsir dan sejenisnya. Apakah hal ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berpikir secara sederhana, apa adanya, yang tidak memerlukan penilitian dan perenungan yang sulit? Mengajarkan kepada kita untuk berani pasrah total, biar Roh Kudus bisa berkarya dengan bebas dalam diri kita?

Pemberitahuan pertama tentang Penderitaan Yesus
9:22 Dan Yesus berkata: "Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga."
Menurut pemahaman penulis, pada saat itu para rasul pasti bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan kata-kata tersebut di atas. Pasti tidak terbayangkan bahwa Sang Guru akan menderita sampai mati di salib, seperti yang kita ketahui sekarang ini. Kata-kata tersebut mereka catat dalam hati, dengan harapan suatu ketika nanti gurunya mau menjelaskan lebih rinci. Kata-kata tersebut pasti mempunyai makna yang sangat penting, apapun yang akan terjadi kemudian.

Dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini, para pengikut Kristus-pun harus berani mengalami penderitaan dan ditolak dimana-mana. Dicemooh dan dilecehkan karena menjadi pengikut Kristus. Siapkah kita mengalami penderitaan dan pembunuhan? Pembunuhan zaman sekarang ini tidaklah harus mati dan dikubur, namun dapat dijabarkan banyak sekali. Pembunuhan karakter, mata pencaharian, menyampaikan pendapat, kesempatan untuk maju dan sebagainya. Dan semua itu gara-garanya hanya satu, karena berani menjadi pengikut Tuhan Yesus Kristus. Pada saatnya nanti pasti akan dibangkitkan dari “kematian” tersebut.

Mungkin kita harus selalu berdoa secara tekun, memohon kasih dan damai-Nya agar memancar, menyelusup ke setiap hati manusia. Rasanya tidak ada cara lain kecuali dengan doa yang sungguh-sungguh, untuk kedamaian dunia yang tidak ada damai dan sejahtera ini. Sekali lagi Tuhan Yesus mengajak kita untuk ambil bagian dalam karya keselamatan.

Kita diajak untuk menderita dan mematikan diri kita, ego kita, agar Roh Allah bisa menghidupkan kita menjadi manusia baru, anak-anak Allah. Lepas dari jeratan kerjaaan dunia yang begitu mempesona dan menggiurkan, walaupun untuk itu harus siap menderita.

Syarat mengikut Yesus
9:23 Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. 9:24 Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya. 9:25 Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri? 9:26 Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku, Anak Manusia juga akan malu karena orang itu, apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan-Nya dan dalam kemuliaan Bapa dan malaikat-malaikat kudus.
Penulis merasa bingung dengan ajaran dan ungkapan yang disampaikan Tuhan Yesus ini. Apalagi di kalimat terakhir yang lebih mengherankan, kalau kita terima dengan nalar. Bagaimana melaksanakan penyangkalan diri? Dalam benak penulis yang terlintas adalah berani mengalah. Mengalahkan diri sendiri yang berarti belajar mematikan ego pribadi. Mungkin berani mengakui bahwa diri ini bukan apa-apa, tidak berarti yang buahnya adalah mematikan kesombongan. Kita ini sebenarnya buka apa-apa dan bukan siapa-siapa di hadapan Allah. Begitu kecil dan tidak berarti, begitu lemah dan gampang jatuh dalam dosa.

Disisi lain yang lebih rohani, penulis harus berani mengatakan bahwa penulis masih termasuk kedalam kelompok orang munafik. Contoh sederhana adalah melarang anak untuk tidak merokok, sedangkan diri sendiri menjadi perokok berat. Tahu bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan, seperti tercantum dalam bungkusnya. Dalam debat gurauan, penulis beralasan bahwa merokok adalah salah satu cara menyelamatkan para pegawai pabrik rokok agar tidak menganggur. Jika semua perokok di Indonesia berhenti merokok, berapa ribu orang yang akan terkena PHK, karena bekerja di pabrik rokok? Dengan masih bergurau, menyatakan betapa para perokok itu berani berkorban bagi kelangsungan hidup orang lain. Seringkali kita tahu bahwa kita telah berbuat salah, namun tidak mau terbuka mengakui bahwa telah keliru. Kita lebih senang untuk bersilat lidah, mempertahankan diri dengan seribu satu macam alasan, demi pembenaran diri. Kita bisa merasakan bahwa pembenaran diri nyatanya berlawanan dengan penyangkalan diri.

Penyangkalan diri rasanya perlu dilatih mulai dari sekarang. Belajar berani mengakui bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan orang lain. Jika keliru, ya berani berterus terang bahwa keliru, walaupun di hadapan anak kecil sekalipun. Berarti belajar untuk berani mengakui kebenaran orang lain, walaupun dihadapan orang banyak. Rasanya jika berani mengakui kekurangan ataupun kesalahan, mestinya tidak ada perdebatan ataupun perselisihan. Kita bukan orang yang paling baik maupun yang paling benar.

Memikul salib dalam pemahaman penulis adalah keberanian dan kesiapan menerima “aniaya,” sebagai konsekuensi logis karena mengikut Tuhan Yesus. Yang agak dalam lagi, sepertinya makna salib malah lebih merupakan “beban” yang harus ditanggung setiap waktu karena mengikuti dan melaksanakan ajaran Tuhan Yesus. Secara gampangnya, jika kita konsekuen berpihak kepada kebenaran, kebaikan, keadilan, kesejahteraan bersama, maka kita harus siap menerima dan memanggul salib.

Kita bisa merasakan sendiri bagaimana antara hati dan jiwa yang sering bertentangan dengan pikiran akalbudi. Pertentangan tersebut nyatanya yang sering menang adalah pikiran akalbudi ini, yang lebih berpihak kepada kenikmatan duniawi. Kalau mengikuti suara hati, anggaplah sesuatu itu harus ditolak karena tidak sesuai, maka itu pilihan. Namun kebutuhan yang lebih jasmani membisikkan agar jangan ditolak, terus pikiran akalbudi ini mulai membuat rekayasa model argumentasi. Jika dalam perang batin suara hati yang menang, maka jasmani yang kasat mata ini harus siap memikul beban yang dipilihnya. Beban itu sendiri nyatanya akan menjalar kemana-mana sampai ke yang tidak kasat mata. Setiap pilihan mempunyai risikonya masing-masing, entah risiko positif atau negatif tergantung kita menilainya.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mengeluh karena beban yang kita pikul terasa begitu berat. Model keluhan kita bisa macam-macam, yang ujung-ujunnya sering menyalahkan situasi, kondisi, orang atau kelompok lainnya. Dalam hal ini kembali lagi kita terjebak dalam lingkaran, tetap ingin mempertahankan pembenaran diri. Kalau bisa, semoga Tuhan mau meringankan beban tersebut. Kita sering lupa bahwa beban tersebut adalah salib yang telah kita pilih sendiri.

Yang lebih konyol lagi apabila segala macam beban kita anggap sebagai salib. Sebagai contoh, kita ngebut naik motor tanpa memperhatikan situasi dan kemungkinan yang akan terjadi. Tejadilah tabrakan atau kecelakaan tunggal yang mengakibatkan kita luka parah. Terus kita anggap ini sebagai salib yang harus kita pikul. Inginnya semua beban tersebut kita serahkan kepada Tuhan, terus kita berharap semoga Dia memberikan solusi instan sehingga kita terbebas dari beban secepat mungkin. Kita lupa bahwa beban salib Tuhan Yesus sudah terlalu berat.

Beranikah kita mengurut melihat ke belakang, introspeksi, mawas diri, mencari akar penyebab dari segala macam datangnya beban. Kalau kita berani jujur dengan diri sendiri, jangan-jangan kita malah mengucap syukur dan melakukan penyangkalan diri. Kita bisa berjalan bersama sambil memikul salib dan Tuhan Yesus mendampingi kita, menunjukkan jalan lurus yang harus kita tempuh.

Selanjutnya, siapkah kita kehilangan nyawa karena ikut Dia? Kehilangan nyawa dapat diibaratkan sebagai suatu perjalanan ziarah yang sudah sampai di akhir. Mati dan tidak dapat diulang ingin hidup kembali. Dan semua orang akan mengalami hal ini, entah kapan waktunya dan tidak bisa ditolak. Upah setelah kehilangan nyawa adalah menerima kembali nyawa tersebut. Dan itulah keselamatan jiwa yang dijanjikan oleh Tuhan sendiri.

Mari kita bayangkan jika kematian telah merenggut kehidupan kita di dunia ini. Jasmani yang terbujur kaku atau hancur lebur atau apapun, diurus keluarga dan dikuburkan atau dibakar. Nyawa kita terlepas dari jasmani dan apa yang akan dibawa oleh nyawa kita? Menurut penulis, nyawa kita tidak membawa apa-apa kecuali (mungkin) memori perjalanan hidup yang kita pilih. Nyawa atau jiwa kita akan memasuki suasana atau keadaan kehidupan baru yang kekal, entah seperti apa. Kita bayangkan saja bahwa ada dua macam keadaan setelah tubuh badan wadhag ini mati, jiwa akan dibawa ke suatu tempat atau keadaan yang kita sebut surga atau neraka. Surga sebagai tempat mulia yang kekal dan neraka sebagai tempat sengsara yang kekal. Kekal berarti tidak ada batas waktunya sampai kapanpun. Hidup mulia bahagia selamanya bersama Tuhan atau hidup sengsara selamanya bersama Iblis?

Yang namanya hidup mulia, bahagia, diakui dalam keluarga Allah pasti menjadi dambaan. Kita bisa beranggapan bahwa siapa yang tidak dikuasai dunia, maka dia yang akan diselamatkan dan dikaruniai surga. Yang jelas, kerajaan surga adalah karunia dari Allah sendiri, bukan dari keinginan kita. Kita hanya bisa berharap, semoga Tuhan berkenan mengampuni kesalahan dan dosa kita.

Sengsara yang mengerikan tanpa batas waktu, jelas tidak diinginkan oleh semua orang. Dan siapa yang dikuasai dunia, maka dia yang akan dicampakkan ke neraka. Untungnya masih ada dua macam neraka, yaitu neraka sementara dan neraka kekal. Semuanya ini karena kasih Allah kepada umat ciptaan-Nya. Neraka sementara mungkin lebih kita kenal sebagai Api Penyucian. Apabila kita dimasukkan ke dalam Api Penyucian, berarti kita dibakar untuk dibersihkan dari segala macam kotoran. Sebutan jiwa sudah berubah menjadi anggaplah sukma. Begitu sukma sudah menjadi bersih, entah berapa lama disucikannya, maka kita sebut saja sebagai roh yang sudah suci. Roh tersebut terangkat dan boleh bersatu dengan semua keluarga kudus di surga.

Kita bayangkan saja kira-kira seperti apa hukuman neraka kekal yang akan kita alami, kalau dimasukkan kesana. Nyawa yang dihukum dan nyawa tersebut tidak bisa mati lagi. Merasakan “kesakitan” yang tanpa ada batas waktunya lagi. Mungkin membayangkan hal ini sudah cukup mengerikan, namun itulah pilihan yang ditawarkan kepada kita. Kita semua pasti tidak mau dan menolak untuk tinggal disana selamanya.

Kemudian kita kembali merenungi perjalanan hidup kita selama ini, kira-kira apa sudah sesuai dengan ajaran-Nya atau malahan melenceng jauh. Bagi penulis sendiri, nyatanya masih merasa jauh dari apa yang telah diajarkan oleh Tuhan Yesus. Berbahagialah karena masih ada waktu untuk merubah pilihan, sebelum batas waktunya berakhir. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang ini! Mulai belajar menyangkal diri, memanggul salib pribadi dan mengikut Tuhan Yesus melalui perbuatan nyata.

9:27 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Kerajaan Allah."
Ayat ini sangat membingungkan untuk dipahami secara nalar jasmani. Mungkin kita perlu kejelasan tentang arti Kerajaan Allah itu sendiri. Kerajaan Allah sering ditafsirkan sebagai surga dimana Allah sendiri yang memerintah dan dimuliakan. Tafsiran tersebut akan menjadi lain jika dalam kalimat “Kerajaan Allah sudah dekat, atau Kerajaan Allah berada ditengah-tengahmu.” Dalam kalimat ini seolah-olah Tuhan Yesus ingin mengatakan bahwa Dialah Kerajaan Allah itu sendiri. Sang Kerajaan Allah yang menjadi manusia biasa, tanpa terlihat kemuliaan-Nya. Berarti bicara tentang Kerajaan Allah, mau tidak mau harus menggunakan bahasa rohani, bukan bahasa jasmani.

Dari sekian banyak yang hadir di hadapan Tuhan Yesus, ada beberapa orang yang tidak akan mati, sebelum melihat kemuliaan-Nya. Penulis tidak tahu seberapa banyak murid yang sedang berkumpul pada waktu itu, dan berapa orang dari muridnya yang lain yang sudah dan akan meninggal. Kalimat diatas sepertinya menekankan bahwa yang mayoritas lebih dahulu mati, sedangkan yang sedikit masih tetap hidup.

Pemahaman pertama adalah ketika Tuhan Yesus berubah rupa di gunung Tabor, disaksikan oleh ketiga murid-Nya. Tuhan Yesus terlihat berubah penuh dengan kemuliaan. Penulis tidak bisa membayangkan seperti apa kira-kira kemuliaan yang diperlihatkan Tuhan Yesus pada waktu itu. Namun rasul yang lain nyatanya juga masih hidup.

Pemahaman kedua adalah saat Roh Kudus turun atas para rasul pada hari Pentakosta. Dalam kuasa Roh Kudus mereka dapat “melihat” kemuliaan Tuhan dalam Kerajaan-Nya. Mereka pasti merasakan sesuatu yang sungguh-sungguh mengherankan, karena kuasa Roh Kudus, dan susah diterima dengan akal atau nalar kita. Namun siapakah yang sudah meninggal duluan?

Pemahaman ketiga, apakah Stefanus yang dianiaya sampai mati? Sebelum mati dalam kesengsaraan dia melihat langit terbuka, kemudian ia melihat kemuliaan Allah. Tuhan Yesus terlihat berdiri di sisi kanan Allah seperti akan menyambutnya. Mungkin dialah martir pertama yang menjadi pengikut Kristus.

Pemahaman keempat mungkin agak nyeleneh atau aneh. Pemahaman secara rohani, bukan yang duniawi dan ilmiah. Penulis merasakan bahwa tidak semua orang baik sewaktu meninggal langsung masuk kerajaan surga. Sebaik apapun kita, disadari atau tidak, pasti pernah berbuat sesuatu dimana Tuhan tidak berkenan. Pada dasarnya, jiwa kita ini tidak bisa mati. Seperti apa dan berada dimana roh itu, penulis tidak tahu persis, yang jelas berada di dalam diri kita masing-masing. Anggap saja di hati sanubari yang paling dalam. Hanya orang-orang terpilih saja yang begitu meninggal jiwanya “tidak mati”, tetapi bangkit dan langsung mencari atau dijemput yang kudus, menjadi roh yang memasuki Kerajaan Allah. Yang mayoritas atau yang banyak ini sepertinya “istirahat, atau tiduran dulu” menunggu di alam yang lain lagi. Kemungkinan alam lain ini yang bukan surga ataupun neraka yang kekal. Mereka belum mendapat karunia melihat dan menikmati Kerajaan Allah. Mereka sepertinya harus melewati keadaan tertentu untuk jangka waktu, sesuai kehendak Tuhan.

Mungkin kita perlu merenungkan kata-kata Stefanus martir :"Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah" sebelum dia meninggal. Rohnya tidak mati namun langsung dijemput masuk ke dalam kemuliaan Allah.

Ajaran gereja memperkenalkan kepada kita tentang Api Penyucian, demikian juga dalam syahadat diperkenalkan juga Tempat Penantian. Disinilah penulis susah untuk memahami secara pasti, seperti apa itu Api Pencucian ataupun Tempat Penantian. Mungkin malah ada suatu istilah lain untuk tempat-tempat tersebut, yang mungkin begitu luas. Namun secara bodoh kita bisa menganggap bahwa tempat-tempat tersebut berada di antara surga dan neraka.
Dimuliakan di atas Gunung (Transfigurasi)
9:28. Kira-kira delapan hari sesudah segala pengajaran itu, Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa. 9:29 Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. 9:30 Dan tampaklah dua orang berbicara dengan Dia, yaitu Musa dan Elia. 9:31 Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem. 9:32 Sementara itu Petrus dan teman-temannya telah tertidur dan ketika mereka terbangun mereka melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya: dan kedua orang yang berdiri di dekat-Nya itu. 9:33 Dan ketika kedua orang itu hendak meninggalkan Yesus, Petrus berkata kepada-Nya: "Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu. 9:34 Sementara ia berkata demikian, datanglah awan menaungi mereka. Dan ketika mereka masuk ke dalam awan itu, takutlah mereka. 9:35 Maka terdengarlah suara dari dalam awan itu, yang berkata: "Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia." 9:36 Ketika suara itu terdengar, nampaklah Yesus tinggal seorang diri. Dan murid-murid itu merahasiakannya, dan pada masa itu mereka tidak menceriterakan kepada siapapun apa yang telah mereka lihat itu.
Gunung dimana Tuhan Yesus memperlihatkan kemuliaan-Nya, dikenal sebagai Gunung Tabor. Transfigurasi Tuhan Yesus disaksikan hanya oleh tiga murid terpilih-Nya. Mereka melihat bahwa Musa dan Elia sedang ngobrol dengan Tuhan Yesus. Dalam pemahaman penulis, nabi Musa dan nabi Elia sepertinya mempunyai nilai tersendiri yang agak berbeda dengan nabi-nabi lain.

Nabi Musa kita kenal sebagai pembebas bangsa Israel dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian. Walaupun jaraknya tidak terlalu jauh untuk memasuki tanah Kanaan yang dijanjikan, nyatanya diperlukan waktu empatpuluh tahun. Nabi Musa sendiri tidak ikut masuk ke Kanaan dan hanya sampai Gunung Nebo di Yordania dan meninggal disana. Kepadanyalah diberikan sepuluh Perintah Allah yang masih berlaku sampai sekarang dan selamanya.

Nabi Elia kita kenal sebagai nabi yang sakti dan dapat “terbang”, yang mengalahkan banyak para dukun atau tukang sihir sewaktu lomba mempersembahkan korban bakaran. Akhirnya para dukun tersebut dibunuh karena telah menyesatkan banyak orang Yahudi. Dialah nabi yang (tidak) mati naik ke sorga dengan jiwa dan raganya dijemput kereta.

Dari hal tersebut penulis merasakan bahwa yang namanya ngobrol rohani dengan yang kudus (istilah kerennya berdoa), nyatanya tidak selalu harus atau hanya dengan Allah sendiri. Tuhan Yesus sendiri dalam berdoa, memberi contoh nyata berbicara dengan Musa dan Elia. Disini kita diajar bahwa devosi kepada orang kudus dan minta bantuannya tidaklah keliru karena Tuhan maha baik. Minta bantuan untuk menuju kebaikan dan kebenaran nyatanya sah-sah saja.

Kita bisa merasakan bahwa pada awalnya para rasulpun bukan pendoa yang baik, karena seringkali malah ketiduran membiarkan gurunya berdoa sendirian. Mungkin disinilah Tuhan Yesus ingin mengajarkan sesuatu yang begitu rahasia. Dia ingin memperlihatkan bahwa diri-Nya betul-betul Tuhan Allah yang penuh kemuliaan. Demikian juga Musa dan Elia yang sudah menjadi penghuni Surga terlihat penuh kemuliaan. Berempat semalaman di gunung, pastilah banyak ajaran penting yang diberikan untuk mereka bertiga. Sepertinya rasul Petrus, Yohanes dan Yakobus dipersiapkan untuk menjadi rasul yang penuh dengan pengetahuan rohani, sampai pada waktunya. Rasul lainnya mungkin akan menjadi rasul sesepuh yang dapat menjadi panutan.

Kita bisa membayangkan bagaimana situasi pada saat itu, bahwa para murid sepertinya hanya mengantarkan Tuhan Yesus untuk berdoa sendiri. Setelah Tuhan Yesus mulai bedoa, maka mereka merebahkan diri untuk melepaskan lelah dan tiduran. Dalam asyiknya tiduran tersebut koq dirasakan ada yang tidak wajar. Sepertinya terdengar suara bahwa Tuhan Yesus tidak sendirian dan berbicara dengan orang lain. Maka bangunlah mereka dan terkaget-kaget karena disitu Tuhan Yesus ngobrol bertiga, berubah rupa dengan penuh kemuliaan.

Pasti ada suatu perasaan terkejut, agak takut namun dipenuhi hati sukacita, bahagia yang susah untuk dilukiskan. Maka secara spontan terpikir untuk tinggal disitu selamanya bersama-sama. Perasaan sukacita yang sulit digambarkan karena bertemu para kudus, kalau bisa jangan sampai pergi dan semoga mau tinggal bersama-sama disitu. Untuk sejenak melupakan saudara-saudara lain yang ditinggalkan.

Awan hitam kalau berada diatas pada umumnya kita anggap bahwa hari mau hujan. Namun apabila awan gelap tersebut turun dan menyelimuti kita yang berada di atas bukit, rasa kawatir atau takut memang dapat menghinggapi setiap orang. Demikian juga para murid yang merasa takut. Dalam kegelapan terselimuti awan, seringkali kita lupa bahwa Tuhan Yesus sedang bersama kita, yang semestinya percaya bahwa tidak akan ada masalah selama bersama-Nya.

Pada saat kegelapan awan tersebut, nabi Musa dan nabi Elia lengser atau mundur dari hadapan Tuhan Yesus. Mungkin mereka berdua lebih tahu bahwa Allah Bapa berkenan hadir dalam awan serta memberi perintah kepada para rasul. Perintah pendek cukup jelas yang mengisyaratkan bahwa pengalaman rohani saat itu cukup mewakili dan membuka mata dan hati para rasul. Kristus Yesus gurunya betul-betul Tuhan sendiri yang menjadi pilihan Allah Bapa. Hal ini harus dirahasiakan kepada orang lain, sampai pada waktunya nanti baru akan diceritakan.

Mengusir Roh Jahat
9:37. Pada keesokan harinya ketika mereka turun dari gunung itu, datanglah orang banyak berbondong-bondong menemui Yesus. 9:38 Seorang dari orang banyak itu berseru, katanya: "Guru, aku memohon supaya Engkau menengok anakku, sebab ia adalah satu-satunya anakku. 9:39 Sewaktu-waktu ia diserang roh, lalu mendadak ia berteriak dan roh itu menggoncang-goncangkannya sehingga mulutnya berbusa. Roh itu terus saja menyiksa dia dan hampir-hampir tidak mau meninggalkannya. 9:40 Dan aku telah meminta kepada murid-murid-Mu supaya mereka mengusir roh itu, tetapi mereka tidak dapat." 9:41 Maka kata Yesus: "Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan yang sesat, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu dan sabar terhadap kamu? Bawa anakmu itu kemari!" 9:42 Dan ketika anak itu mendekati Yesus, setan itu membantingkannya ke tanah dan menggoncang-goncangnya. Tetapi Yesus menegor roh jahat itu dengan keras dan menyembuhkan anak itu, lalu mengembalikannya kepada ayahnya.
Penulis tidak tahu persis mengapa seseorang kesurupan, malahan ada kesurupan massal. Kesurupan itu sendiri apakah selalu roh jahat yang merasuki atau roh gentayangan lain, penulis juga tidak tahu. Ada orang mengatakan bahwa dalam keadaan kosong, maka roh lain dapat masuk. Dan nyatanya tidak semua murid-Nya bisa mengusir roh jahat yang merasuki seseorang. Sepertinya Tuhan Yesus agak jengkel mendengar laporan seorang ayah yang anaknya kerasukan roh jahat.

Penulis tidak tahu persis mengapa rasul-rasul lain pada waktu itu tidak dapat mengusir roh jahat. Mungkin kepercayaan dan keyakinan pada saat itu agak menjadi luntur dan ragu-ragu. Apakah mungkin para rasul bisa mampu seperti gurunya? Jangan-jangan mereka belum siap menghadapi roh-roh jahat tertentu. Ketidak percayaan inilah yang dimanfaatkan oleh roh jahat untuk tetap bercokol dalam diri si anak. Kuasa Tuhan yang ditakuti roh jahat hanya akan berkarya dalam diri seseorang, apabila orang tersebut penuh dengan iman. Bukan dia pribadi yang punya kuasa tetapi kuasa Tuhan sendiri, dimana yang bersangkutan atau si penyembuh hanya menjadi perantara.

Menurut pemahaman penulis, kita diminta untuk percaya lebih seratus prosen bahwa Tuhan Yesus melalui Roh KudusNya selalu menyertai kita. Dengan kuasa-Nya, apapun dapat dilakukan, termasuk mengusir roh jahat. Disinilah yang cukup berat dan sering membuat kita tersesat dalam pencobaan. Karena kebimbangan, keraguan, apakah betul Roh Kudus menyertai kita, sehingga kita tidak mempercayakan segalanya kepada Tuhan. Ketidak percayaan membuat kita mencoba dengan kekuatan sendiri, walaupun mungkin mulut ini berkomat-kamit seperti berdoa. Mungkin doa yang kosong tanpa disertai bersatunya hati, jiwa dan akalbudi yang pasrah kepada Tuhan. Dalam komunikasi yang satu arah ini dan ditujukan kepada siapa, menjadi tidak jelas. Mungkin kalau bisa mendengar, jangan-jangan Tuhan Yesus mengatakan sesuatu agar kita konsentrasi mau berbicara kepada siapa. Roh Allah tidak diberi tempat di dalam diri kita agar selalu beserta kita.

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita pernah merasakan sesuatu yang kurang “sreg” sewaktu pertama kali menerima Tubuh Kristus dari tangan seorang Prodiakon. Kepenginnya sich langsung dari tangan seorang imam, kalau bisa malah dari tangan seorang Uskup. Sewaktu rasa tidak sreg tersebut muncul, jangan-jangan yang kita terima ya hanya sepotong hosti biasa dan bukan Tubuh Kristus.

Kita mungkin bisa mengandaikan iman kepercayaan itu bagaikan benda logam yang menjadi penghantar listrik. Arus listrik tidak mau mengalir melalui pohon bambu ataupun karet yang kita pegang. Namun begitu kita berpegangan besi tembaga dan kita tempelkan ke arus listrik, kita bisa merasakan arus listrik yang mengenai tubuh kita. Energi atau kuasa Tuhanlah yang mengalir, dan kita hanya sebagai penghantar arus-Nya saja, selama kita teguh dalam iman bagaikan logam tadi.

Pemberitahuan kedua tentang Penderitan Yesus
9:43. Maka takjublah semua orang itu karena kebesaran Allah. (9-43b) Ketika semua orang itu masih heran karena segala yang diperbuat-Nya itu, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: 9:44 "Dengarlah dan camkanlah segala perkataan-Ku ini: Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia." 9:45 Mereka tidak mengerti perkataan itu, sebab artinya tersembunyi bagi mereka, sehingga mereka tidak dapat memahaminya. Dan mereka tidak berani menanyakan arti perkataan itu kepada-Nya.
Apabila kita hidup di zaman itu, penulis yakin bahwa kita juga tidak bisa menangkap atau memahami kata-kata Tuhan Yesus. Bagaimana mungkin Anak manusia diserahkan ke tangan manusia? Saat itu semua orang biasa membutuhkan bantuan dari Sang Anak Manusia. Dihormati dan disegani, bisa menyembuhkan dan memberi makan banyak orang, koq diserahkan. Siapa yang akan menyerahkan dan diserahkan kepada siapa? Apa maksud dibalik kata-kata atau ungkapan tersebut?

Sekarang ini saja kita sudah bisa menebak maksud kata-kata tersebut, setelah segalanya terjadi. Para murid pasti mengingat kata-kata ini karena dianggap tidak umum dan aneh, maka disimpan dalam hati dan kemudian setelah semuanya terjadi, baru disadari dan perlu diwartakan. Hal ini perlu disampaikan bahwa Sang Guru sebenarnya sudah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Hal tersebut harus diberitakan karena mempunyai nilai yang cukup menggugah hati. Sang Anak Manusia sudah bernubuat akan diri-Nya dan tidak hanya sekali dua kali.

Sering kita mendengar atau membaca dalam media, apakah seseorang menerima firasat atau tanda-tanda sebelum mengalami suatu kejadian yang mencekam. Orang tersebut terus mengingat-ingat apakah ada tanda, firasat atau mimpi yang dapat dihubungkan dengan peristiwa tersebut. Kebanyakan akan mengatakan bahwa sebenarnya ada firasat namun tidak disadarinya.
Yang Tebesar
9:46 Maka timbullah pertengkaran di antara murid-murid Yesus tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. 9:47 Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka. Karena itu Ia mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya, 9:48 dan berkata kepada mereka: "Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar."
Pemahaman penulis dalam pertengkaran tersebut menyiratkan bahwa para muridpun pada waktu itu masih berebut “jabatan.” Semuanya masih ingin menjadi yang terbesar, terhebat, terpilih secara duniawi. Pokoknya yang terhebat mestinya mendapat kedudukan duniawi yang paling enak dan dihormati. Dalam kehidupan sehari-haripun, kita juga ingin dikenal, dipandang lebih, dihormati, paling tidak mendapat pengakuan walau sekecil apapun. Ada ungkapan “biar bodoh asal gaya.” Tidak ada apapun yang dapat ditonjolkan ataupun dibanggakan, maka perlu bergaya agar diingat orang lain.

Namun kata-kata Tuhan Yesus sepertinya membikin bingung para murid. Anak kecil itu belum tahu apa-apa, tidak pantas berkumpul dengan yang sudah besar. Dia tidak dianggap karena masih polos, belum mengerti sesuatu, selain disuruh bermain dengan anak sebayanya. Jangan-jangan malah mengganggu dan bikin repot saja. Mengapa anak kecil yang ditempatkan di sampingNya? Apakah disuruh menjadi anak kecil kembali?

Menurut pemahaman penulis, yang terkecil dapat diartikan sebagai yang tidak bernilai, yang bukan apa-apa, malah sering diremehkan. Sepertinya kita diajar untuk berani menjadi yang terkecil menurut pandangan duniawi. Kita diajar untuk berani mengalah dan pasrah dalam segala hal, merendahkan diri serendah-rendahnya. Mungkin kita bisa membayangkan bagaimana Tuhan Yesus sebagai Allah yang maha kuasa, raja segala raja. Yang disembah dan dimuliakan di surga, yang ditakuti oleh segala macam roh jahat.
Terus kita bayangkan bagaimana Dia turun ke bumi menjelma sebagai manusia biasa, merendahkan diriNya yang begitu mulia dan menjadi rakyat jelata yang tidak berarti. Lahir tidak diketahui kapan pastinya kecuali di gua tandus, mati disalibkan dan terhina. Menjadi kecil berarti mencontoh langsung kepada Sang Guru. Sekecil apapun dalam pandangan manusia, Tuhan tetap memperhatikan dengan penuh kasih. Mungkin disinilah Tuhan Yesus selalu berpihak kepada orang kecil sederhana, terpinggirkan dan yang menderita. Munculnya orang-orang kecil dan menderita pasti karena perbuatan orang besar yang suka memaksa. Pemaksaan kehendak tidak harus dengan cara frontal, namun juga bisa dengan segala macam cara yang halus dan sepertinya masuk akal.

Orang kecil, sederhana yang apa adanya sering kali kita jadikan kasta yang lebih rendah. Seringkali malah dijadikan obyek oleh yang merasa menjadi orang lebih besar demi kepentingan tertentu. Umumnya yang kecil atau yang lemah “melayani” yang besar atau yang kuat. Muncullah klasifikasi kelas atau kasta yang bermacam-macam, yang satu merasa lebih dibandingkan dengan yang lain. Dan hampir semua orang berlomba dan berkeinginan untuk menjadi semakin besar di mata dunia. Dan inilah dinamika kehidupan di dunia yang harus dijalani. Biasanya kita memilih jalan tengah yang enak. Secara jasmani dan duniawi ingin diakui bahwa memiliki sesuatu yang lebih. Secara rohani ingin diakui juga bahwa telah merendahan diri di hadapan Tuhan, seperti anak kecil.

Tuhan Yesus mengajarkan yang bukan kehidupan lahiriah ini, dan kelihatannya lebih dalam dan lebih rohani. Menjadi yang bukan apa-apa, dihadapan dunia maupun surga. Yang berani melayani inilah yang akan menjadi juragan pada waktunya nanti. Dan semua ini adalah janji Tuhan Yesus sendiri, yang empunya langit dan bumi serta segala isinya. Yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.

Bukan murid Yesus mengusir Setan, Orang Samaria menolak Dia
9:49 Yohanes berkata: "Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita." 9:50 Yesus berkata kepadanya: "Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu."
Siapa yang tidak melawan kita, berarti berada di pihak kita. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadi fanatik. Kita diajar untuk tidak tergesa-gesa mengambil suatu kesimpulan yang bertentangan dengan kebenaran sejati. Dalam masyarakat yang begitu majemuk, kita diajar untuk bisa berkomunitas dan menyatu dengan semuanya berdasarkan kasih. Demikian juga dalam masyarakat yang begitu bermacam agama dan kepercayaan, kita diajar untuk bisa berdoa bersama siapa saja, dimana saja. Iman kepercayaan memang begitu pribadi, makanya perlu juga berkomunitas dalam satu iman.

Mungkin ada saja suatu kelompok yang menganggap dan mengajarkan bahwa Allah kita berbeda dengan Allah mereka. Buku atau Kitab Sucinya saja sudah berbeda. Bagi penulis Allah Sang Maha Pencipta ya hanya satu. Mau disebut apapun nama-Nya tidak ada masalah. Allah pasti tidak akan marah bila nama tersebut ditujukan hanya untuk Dia. Pada pokoknya Tuhan Allah hanya mengajarkan satu hal, yaitu kasih yang tanpa syarat. Penjabarannya mungkin saja agak berbeda, karena cara pengungkapan, situasi, kondisi, budaya dan hal-hal lain yang mempengaruhinya.

Alangkah indahnya jika dalam masyarakat yang begitu bermacam-macam, kita bisa sehati sepikir setujuan menuju damai sejahtera bersama. Menurut penulis, pada dasarnya setiap orang menginginkan kehidupan yang aman dan damai, berpenghasilan cukup, tidak merepotkan orang lain. Namun demikian, begitu Iblis menyebarkan virus keserakahan, kesombongan, iri dengki ingin menang sendiri, merasa paling benar, segalanya menjadi runyam. Impian yang begitu harmonis mulai runtuh, pecah berantakan dan tinggal impian belaka. Muncullah pemaksaan kehendak, yang bisa dilakukan secara halus maupun kasar; apalagi kalau merasa sudah kuat dan menangan. Persatuan yang didambakan sedikit demi sedikit mulai runtuh dan timbullah perpecahan. Perbedaan pendapat sampai perbedaan keyakinan dianggap menjadi sandungan, terus dimasukkan dalam hati dan diproses menjadi iri dengki yang berbuah benci. Kebencian bagaikan virus yang sangat berbahaya karena buahnya keinginan untuk “mematikan” yang dia benci.

Jika kita rasakan kata-kata Yohanes di atas, sepertinya pada saat itu Yohanes masih termasuk orang yang sombong. Merasa lebih berhak, lebih tinggi lebih benar atau apapun namanya, apabila berkaitan dengan gurunya. Dia merasa sebagai salah seorang murid pilihan, dibandingkan dengan orang lain. Apalagi bagi yang bukan pengikut gurunya, jangan coba-coba.

Dalam kehidupan sehari-haripun seringkali kita berbuat dan berkelakuan seperti Yohanes pada waktu itu. Merasa lebih mempunyai wewenang, mempunyai hak dibanding orang lain karena kedekatan kita kepada yang kita hormati atau segani. Sepertinya kita lebih tahu segalanya dibandingkan orang-orang lain yang tidak sedekat kita. Apalagi untuk orang-orang yang tidak mengenal orang yang kita segani tadi. Mereka kita anggap tidak tahu apa-apa dan perlu kita beri pengajaran khusus.

Nyatanya Tuhan Yesus tidak sependapat dengan Yohanes. Banyak orang yang mungkin sehaluan dan selaras dengan apa yang diajarkan Tuhan Yesus, namun belum pernah bertemu sendiri dengan Dia. Disinilah salah satu hebatnya Tuhan Yesus yang tidak pernah mencegah perbuatan baik seseorang dalam nama-Nya, walaupun mereka bukan pengikut-Nya. Berarti siapapun orang yang berkehendak baik dan benar, tanpa memandang ras, suku, agama, kepercayaan dan segalanya, mereka sehaluan dengan ajaran Tuhan Yesus. Mereka tidak perlu dicegah karena tidak bertentangan dengan kita.

Secara tidak langsung sepertinya kita diajar untuk tidak fanatik, merasa paling benar, paling dekat dengan Allah. Nyatanya Allah bisa saja berkarya kepada orang lain yang kelihatannya tidak sehaluan dengan kita. Kebenaran dan kebaikan nyatanya milik kita bersama bagi semua orang yang mau melakukannya. Dan Allah tidak pernah membedakannya, seperti kita manusia ini.


9:51. Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem, 9:52 dan Ia mengirim beberapa utusan mendahului Dia. Mereka itu pergi, lalu masuk ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. 9:53 Tetapi orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia, karena perjalanan-Nya menuju Yerusalem. 9:54 Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?" 9:55 Akan tetapi Ia berpaling dan menegor mereka. 9:56 Lalu mereka pergi ke desa yang lain.
Kita bisa melihat bagaimana Yakobus dan Yohanes pada waktu itu diliputi oleh rasa marah yang berkobar-kobar. Makanya mereka berdua sering disebut sebagai putra halilintar, menggelegar menakutkan yang kekuatan petirnya bisa menghanguskan. Kemarahan berkembang menjadi kebencian menuju antipati sampai ingin mematikan orang Samaria. Karena merasa mempunyai Guru yang begitu sakti, tumbuhlah kesombongan bahwa bisa berbuat apa saja kepada orang lain yang tidak sehaluan. Inginnya mau pamer kekuatan biar ditakuti oleh semua orang. Beruntunglah Tuhan Yesus menegor mereka. Sayang tidak dijelaskan bagaimana ucapan Tuhan Yesus sewaktu menegor mereka. Mungkin seperti mengebaskan debu dari jubah yang dipakai.

Kita bisa membayangkan bagaimana wajah Yakobus dan Yohanes pada waktu mereka ditegor Tuhan Yesus. Mereka yang terpilih khusus, mendapat pembelajaran baru agar tidak mengumbar kemarahan namun mengembangkan kesabaran dan legowo. Kita diajar untuk bisa memaklumi pemikiran dan perbuatan orang lain, walau tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Diajar untuk tidak memaksakan kehendak walaupun kita anggap keinginan tersebut positif.

Kemungkinan besar orang Yahudi memang tidak menyukai orang Samaria; begitu juga sebaliknya. Pasti pernah ada suatu konflik dalam sejarah yang membuat mereka saling tidak menyukai. Ada yang menceritakan bahwa orang Samaria adalah keturunan orang Yahudi yang kawin campur dengan orang non Yahudi. Mereka dianggap sudah tidak murni dan tidak sekelas lagi dengan orang Yahudi yang masih murni. Merekapun berbeda kepercayaan dan adat kebiasaan. Kebanyakan orang Samaria bertempat tinggal di perbatasan antara daerah Galilea dan daerah Yudea. Orang-orang dari utara yang melakukan perjalanan ke Yerusalem kemungkinan besar akan melewati desa orang-orang Samaria. Dan umumnya orang Yahudi ke Yerusalem pasti ke Bait Allah. Itu tidak sepaham dengan kepercayaan orang Samaria yang masih menyembah berhala. Mungkin agak berbeda apabila yang lewat adalah pengembara yang tidak berkaitan dengan Yerusalem dengan Bait Allahnya.

Disini Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita yang lebih dalam lagi. Jika sebelumnya tidak mencegah perbuatan bukan pengikut-Nya namun yang selaras dengan ajaran-Nya, sekarang untuk tidak membalas perlakuan yang tidak menyenangkan. Padahal keinginan Yakobus dan Yohanes pada waktu itu begitu menggelora ingin membinasakan. Bukan mendapatkan persetujuan namun malahan menerima tegoran. Jangan membalas!

Dalam kehidupan sehari-haripun sering kita alami, kalau kita merasa kuat dan mampu. Sering kita tonjolkan kekuatan dan kemampuan kita untuk menekan yang lemah, yang tidak sehaluan dengan kita. Mungkin tidak sampai tingkat membinasakan, namun kepenginnya menggencet, menginjak sampai tidak bisa bergerak. Paling tidak kita pojokkan terus kita kucilkan. Segala pendapatnya kita mentahkan dengan seribu satu macam teori dan argumentasi sampai tidak bisa bicara lagi. Bisa kita terjemahkan menurut selera kita.

Apabila kita yang ditekan dan dipojokkan, tidak diberi kebebasan dan merasa kalah, jangan-jangan kitapun lapor kepada Tuhan agar mereka dibalas dengan keras oleh-Nya. Kita juga sama dengan Yakobus dan Yohanes walaupun dalam situasi dan kondisi yang agak berbeda. Dan nyatanya Tuhan Yesus tidak berkenan dan tidak setuju.

Membalas tersebut bisa bermacam-macam cara, dari yang halus sampai yang kasar. Intinya tetap ingin membalas agar gantian merasa tidak senang, biar impas. Namun jika kita renungkan dengan hati yang bening, terus apa bedanya kita dengan orang tersebut? Ungkapan bahasa Jawa “sing waras ngalah” mungkin lebih selaras dengan ajaran Tuhan Yesus. Tidak boleh, tidak sependapat ya tidak apa-apa. Ini semua kan bagian dari kehidupan kita yang harus kita jalani dengan bebas, tanpa beban dan penuh sukacita. Bukan pemaksaan kehendak yang memuaskan kita, yang kalau tidak sejalan ingin membalas.

Tuhan Yesus, aku ingin berdoa seperti Engkau. Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Amin.

Hal mengikut Yesus
9:57. Ketika Yesus dan murid-murid-Nya melanjutkan perjalanan mereka, berkatalah seorang di tengah jalan kepada Yesus: "Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." 9:58 Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya."
9:59 Lalu Ia berkata kepada seorang lain: "Ikutlah Aku!" Tetapi orang itu berkata: "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku." 9:60 Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana."
9:61 Dan seorang lain lagi berkata: "Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku." 9:62 Tetapi Yesus berkata: "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah."
Dalam pemahaman penulis, sepertinya Tuhan Yesus menunjukkan sulitnya, sengsaranya apabila ingin mengikut Dia. Namun kalau Dia mengajak seseorang untuk ikut, ya saat itu spontan ikut tidak usah memikirkan hal-hal lain yang dapat menjadi batu sandungan. Ikut Dia berarti harus bebas dari ikatan duniawi, pertalian darah dalam keluarga atau apapun. Fokus tugasnya hanya memberitakan Kerajaan Allah untuk semua orang, dimana saja. Semua orang di dunia ini pada dasarnya adalah saudara, entah saudara dekat atau saudara jauh, bahkan jauh sekali.

Karena timbul ketidak sepahaman, perbedaan pendapat, apalagi menyangkut agama dan dogmanya, muncullah perpecahan, perselisihan paham yang dampaknya luas sekali. Salah satunya muncul saudara menjadi musuh, musuh menjadi saudara. Zaman sekarang ini kita sering mendengar bahkan mungkin mengucapkan sendiri istilah “saudara seiman.”

Penulis tidak bisa membayangkan suasana pada waktu itu. Kelihatannya perjalanan mereka akan sangat jauh yang memerlukan waktu berhari-hari. Mungkin malahan sampai kapan bisa kembali ke kampung halaman saja tidak jelas. Kitapun seringkali dengan begitu mudahnya berkata, siap ditempatkan dimana saja. Siap mengikut Tuhan Yesus dan bersedia memikul salib. Dalam keadaan kritis atau kepepet yang begitu ekstrim, tidak sadar dengan ucapan diri, maka malah siap untuk berkhianat. Paling tidak, siap untuk melarikan diri dari aniaya atau kesengsaraan.

Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Yang dapat penulis tangkap dan pahami, Tuhan Yesus tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Istirahat atau tidur dapat dimana saja di seluruh alam terbuka yang sudah tersedia ini. Tidur beralaskan bumi yang tersedia, berlampukan bintang gemintang dan beratapkan langit yang tanpa batas. Mungkin kita bisa menyebutkan bahwa hidup yang seperti itu bagaikan seorang kelana, pengembara atau malahan gelandangan. Siapkah kita menjadi gelandangan? Yang mengherankan bagi penulis, sepertinya gelandangan itu hidupnya bebas merdeka, bersatu dengan alam, cuek. Hebatnya lagi, sepertinya tidak pernah merasa kepanasan ataupun kedinginan, segala macam makanan dilahapnya dengan nikmat. Seringkali kita sebut sebagai orang tidak waras. Cara hidup yang paling tidak diharapkan oleh hampir semua manusia.

Biarlah orang mati menguburkan orang mati. Penulis merasa yakin bahwa Tuhan Yesus berkata secara rohani yang sulit untuk dipahami secara duniawi. Bagaimana mungkin orang mati menguburkan orang mati? Dalam benak penulis, sepertinya Tuhan Yesus mengibaratkan bahwa orang Israel yang hidup pada waktu itu rohaninya sudah mati. Segalanya hanya dilihat dari sisi duniawi yang penuh dengan segala macam intrik. Secara badani mereka hidup namun rohaninya dianggap mati. Mungkin sudah dianggap melupakan atau melalaikan pengamalan sepuluh perintah Allah. Jangan-jangan sepuluh perintah Allah tersebut malah dijadikan senjata untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok. Jadi biarlah orang mati menguburkan orang mati. Tuhan Yesus mengajak kita semua menjadi orang yang hidup, jasmaninya dan rohaninya. Tuhan Yesus lebih berpihak kepada nilai-nilai rohani yang tidak membutuhkan gemerlapnya duniawi. Makanya Sang Guru meminta kita untuk memberitakan Kerajaan Allah dimana-mana.

Kata-kata Tuhan Yesus selanjutnya cukup membikin bingung jika diterapkan secara begitu saja. Mau pamitan dulu koq tidak pantas, kelirunya dimana? Dalam pemahaman penulis, di kehidupan ini kita sudah terbiasa dengan adat istiadat yang berlaku. Kita sepertinya sudah diikat oleh pertalian darah dalam segala hal. Pamitan dapat dijabarkan sebagai suatu pemberitahuan bahwa kita akan meninggalkan keluarga. Secara tidak langsung kita mengharapkan suatu pendapat atau komentar dari keluarga kita. Komentar bisa macam-macam, apakah mendorong ataupun malahan tidak menyetujui keinginan kita. Jika mengarah ke tidak setuju, kita akan menjadi ragu atau bimbang, minimal ada suatu rasa yang mempengaruhi niat kita dan akan kita bawa dalam perjalanan nantinya. Pengaruh perasaan ini yang dapat menjadi batu sandungan, dan nyatanya memang sangat sulit untuk memotong tali persaudaraan dalam keluarga.

Kelekatan dalam tali keluarga ikatan darah memang begitu rumit yang kadangkala menimbulkan fanatisme namun juga perpecahan. Seringkali karena ikatan darah dalam keluarga bisa melupakan nalar akal sehat. Demi keluarga walaupun keliru namun tetap dibela mati-matian. Ada rasa ewuh pakewuh karena masih kerabat, maka perlu disokong dibela agar tidak memalukan nama keluarga. Jika sedang berbeda pendapat dalam pembagian warisan keluarga, antar saudara bisa terjadi perang tanding sampai ke pembunuhan. Dalam ikatan keluarga umumnya tidak ada kebebasan bertindak atau berbuat sesuatu, karena perlu dibicarakan atau dimusyawarahkan dahulu. Yang lebih tua biasanya lebih mendominasi dalam segala keputusan; yang anak-anak harus mengikuti dan menerima saja. Kelekatan ini bisa menjadi batu sandungan dalam berkarya, yang pada batas tertentu malah berlawanan dengan tujuan karya tersebut. Maka dianggap tidak layak.

Mungkin disini terkandung makna bahwa setiap orang harus mempunyai kemerdekaan, kebebasan, hak asasi untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Ikatan darah hanyalah suatu proses terciptanya manusia baru yang harus dipelihara, dibesarkan dan kemudian dilepas bebas. Jelas kebebasan tersebut harus dilambari dengan rasa kasih yang dipancarkan melalui perkataan dan perbuatan baik dan benar. Kasih yang tanpa syarat apapun pasti tidak akan memutuskan tali persaudaran.

Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita untuk berani secara tegas memilih jalan kita sendiri. Jika kita berpihak kepada Kerajaan Allah, maka harus berani berbeda pendapat apabila keluarga kita tidak bersepaham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar