Minggu, 06 Desember 2009

Memahami Lukas Bab6

Bab 6- Hari Sabat, Ucapan Bahagia dan Peringatan, Dasar Hidup
Memetik Gandum di hari Sabat
6:1. Pada suatu hari Sabat, ketika Yesus berjalan di ladang gandum, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya, sementara mereka menggisarnya dengan tangannya. 6:2 Tetapi beberapa orang Farisi berkata: "Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?" 6:3 Lalu Yesus menjawab mereka: "Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan oleh Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, 6:4 bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan mengambil roti sajian, lalu memakannya dan memberikannya kepada pengikut-pengikutnya, padahal roti itu tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam?" 6:5 Kata Yesus lagi kepada mereka: "Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat."
Kelihatannya pada hari Sabat bagi orang Yahudi begitu sakral sekali. Pada zaman dahulu pasti ada penyebabnya mengapa dibuat peraturan yang menjadi adat istiadat. Sepengetahuan penulis, mulai sejak Jumat petang sampai Sabtu petang, yang disebut hari Sabat tersebut, bagi penganut agama Yahudi tidak boleh bekerja. Menyentuh tombol penunjuk lantai di lift-pun tidak boleh. Maka hampir semua hotel di Israel pada saat tersebut dibuat otomatis. Pintu lift akan membuka dan menutup sendiri di setiap lantai secara otomatis.

Mungkin hal-hal yang seperti inilah yang akan diluruskan oleh Tuhan Yesus. Mana ajaran pokok yang harus dilakukan malah dilupakan, mana ajaran penjabaran dari pokok yang salah kaprah dan malah dipegang. Mungkin hampir sama dengan suatu peraturan daerah namun tidak mengacu kepada undang-undang diatasnya atau bahkan tidak sesuai dengan undang-undang dasar yang disepakati bersama. Anak Manusia adalah Tuhan atas segala peraturan yang dibuat manusia.

Secara jujur kitapun harus mengakui bahwa kita juga sering seperti orang Farisi. Kita yang mengaku sebagai pengikut Kristus kadang-kadang juga masih berpegang kepada adat istiadat yang sudah tidak sejalan dengan kepercayaan kita. Mungkin juga masih bias dengan kepercayaan yang pernah kita anut atau oleh lingkungan sekitar kita. Kalau bisa malah kita lestarikan dan kita masukkan ke dalam ibadat yang sudah ada. Yang baru diikuti yang lama juga tidak ditinggalkan. Kita masih bisa berlindung dibalik ungkapan inkulturasi atau akulturasi. Hal tersebut tidak keliru selama masih seiring dan sejalan dengan ajaran Allah sendiri.

“Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” Lha kalau sudah begini, mau apa kita sekarang? Suka-suka Tuhan dalam memanfaatkan hari Sabat. Penulispun sampai sekarang masih bingung memahami salah satu dari lima perintah gereja. “Janganlah melakukan pekerjaan yang dilarang pada hari itu.” Sewaktu penulis belajar agama dahulu, pekerjaan yang dilarang adalah pekerjaan berat, senada dengan kerja keras. Pertanyaannya, kerja berat yang bagaimana yang dilarang? Ataukah pekerjaan “yang berat” dalam mencari uang, sehingga melupakan kewajiban yang diajarkan gereja? Mungkin hierarki perlu menjelaskan secara gamblang maksud atau makna dari larangan tersebut. Dalam kenyataannya, hampir semua orang awam tidak lagi mendalami ajaran gereja. Yang penting dibaptis, menerima sakramen Penguatan, menerima komuni setiap hari Minggu, jika masih ada waktu ikut kumpul di lingkungan. Demi cinta yang menggebu, sering kali sakramen pernikahan dinomor sekiankan. Jika hampir sekarat baru minta tolong agar diberikan sakramen pengakuan, sekalian minyak suci.

Demikian juga dengan hari-hari raya yang disamakan dengan hari Minggu. Mungkin untuk saat-saat Natal dan Paskah semua umat sudah tahu, namun bagaimana dengan hari raya yang lain, yang tidak jatuh pada hari Minggu? Yang paling gampang ya minta maaf karena tidak tahu, dan Allah pasti memaklumi karena dapur harus ngebul.
Menyembuhkan di hari Sabat
6:6 Pada suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di situ ada seorang yang mati tangan kanannya. 6:7 Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang pada hari Sabat, supaya mereka dapat alasan untuk mempersalahkan Dia. 6:8 Tetapi Ia mengetahui pikiran mereka, lalu berkata kepada orang yang mati tangannya itu: "Bangunlah dan berdirilah di tengah!" Maka bangunlah orang itu dan berdiri. 6:9 Lalu Yesus berkata kepada mereka: "Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?" 6:10 Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya. 6:11 Maka meluaplah amarah mereka, lalu mereka berunding, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus.
Jika kita perhatikan, sepertinya para ahli Taurat dan orang Farisi begitu iri bahkan dengki kepada Tuhan Yesus. Mungkin dalam hal ini mereka merasa disaingi dan kalah dalam segala hal. Mereka lupa atau tidak mengerti bahwa Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat, malah Tuhan atas segala hari dan atas segala sesuatu.

Kelihatannya Dia sengaja meminta orang yang sakit tersebut berdiri di tengah, agar bisa dilihat oleh semua orang. Tuhan Yesus lebih menekankan apakah diperbolehkan berbuat baik atau berbuat jahat di hari Sabat. Sepertinya orang Yahudi lebih berpegang adat kebiasaan daripada mengasihi sesama. Hari Sabat harinya Tuhan dikembangkan dan dijabarkan sedemikian rupa, pokoknya tidak boleh bekerja atau berbuat apapun. Mungkin yang diperbolehkan hanya makan minum serta mendaraskan pujian kepada Tuhan.

Tuhan Yesus dengan tenangnya menyembuhkan orang sakit tadi, yang disaksikan oleh semua orang yang hadir. Kebiasaan yang sudah berlaku beratus-ratus tahun Dia langgar demi menyembuhkan orang yang membutuhkan. Tuhannya hari Sabat malah lebih mendahulukan kebutuhan orang daripada adat kebiasaan yang tidak berpihak kepada orang menderita.

Berbuat baik dan benar menolong atau membantu orang lain, dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, yang mungkin harus diprioritaskan lebih dahulu. Pekerjaan atau kewajiban rutin masih bisa ditunda, karena masih ada hari-hari dan waktu lain. Bisa kita bayangkan apabila terjadi gempa dahsyat atau tsunami hebat di Israel dan banyak orang menderita, pas di hari Jumat siang. Apakah semua orang yang beragama Yahudi akan diam saja karena Sabat hampir tiba? Biarkan orang non Yahudi yang mau menolong pada waktu tersebut, itu semua sudah kehendak Yahwe.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita tidak siap menolong orang lain yang sangat membutuhkan. Kita mempunyai banyak alasan untuk tidak berbuat, dan biarlah orang lain saja yang menolong. Kita terburu-buru karena mungkin takut telat, ada keperluan yang mendesak dan tidak bisa ditunda, jangan-jangan malah urusannya tambah panjang.

Sewaktu penulis di Yerusalem pas di hari Jumat malam, penulis bersama isteri mencari telepon umum di suatu hotel. Penulis dan isteri ingin ngobrol dengan anak-anak yang kami tinggalkan sudah seminggu. Kami melihat ada suatu ruangan di hotel yang mungkin disewa oleh orang-orang beragama Yahudi. Di ruangan tersebut banyak nyala lilin-lilin dan sepertinya mereka sedang mendaraskan mazmur. Namun yang menyebalkan, ada beberapa anak muda yang keluar dari ruangan tersebut dalam keadaan setengah mabuk. Mereka mengganggu kami dan akhirnya meminta rokok. Penulis memberikan rokok kretek buatan Indonesia yang memang sengaja penulis bawa untuk persediaan beberapa hari.

Bangun dan berdiri, kemudian mengulurkan tangan pada saat ini pasti bisa ditafsirkan macam-macam. Jangan menyerah kepada keadaan walaupun kelihatannya hampir tidak mungkin untuk berubah. Segalanya masih mungkin berubah kalau kita mau berusaha secara jasmani dan rohani. Kita juga bisa menafsirkan agar tidak diam saja walaupun sudah mendengar firman-Nya. Kita diminta untuk bangkit dan berkarya menjadi pelaku firman.

Duabelas Rasul
6:12. Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah.
Dalam pemahaman penulis, Tuhan Yesus adalah seorang pendoa ulung. Dia bisa ngobrol berlama-lama dengan Allah Bapa, yang mungkin begitu asyik dan menyenangkan. Bisa kita bayangkan bagaimana seorang bapak yang begitu telaten penuh kasih ngobrol berjam-jam dengan anaknya. Mereka berdialog dari hati ke hati dengan asyiknya, sampai lupa waktu. Kemungkinan lain Tuhan Yesus juga ngobrol dengan para malaikat dan orang kudus. Penulis tidak tahu persis bagamana Tuhan Yesus berdoa. Apakah ada tata gerak tubuh tertentu yang kemudian diajarkan kepada kita sekarang ini, atau bebas merdeka karena ngobrol dari hati ke hati yang tidak terikat oleh pakem.

Bagaimana dengan doa kita? Rasanya begitu lama, kalau kita berdoa rosario tiga peristiwa. Satu jam saja sudah terasa lama, apalagi kalau berjam-jam. Mau bicara apalagi jika segala permohonan sudah disampaikan? Mungkin ada satu hal yang belum bisa kita selami dalam berdoa. Selama ini yang namanya doa adalah pakem, mulai dari sikap dan gerak tubuh maupun beberapa doa hafalan atau malahan membaca doa. Ada jarak yang begitu jauh antara aku dan Dia. Aku di sini dan Tuhan di sana yang tak terjangkau dan tak terlihat. Padahal jarak tersebut, kitalah yang menciptakan, membayangkan dan merasakan, sesuai kemampuan nalar kita.

Bagi penulis, berdoa adalah ngobrol dengan Yang Kudus dari hati kehati dan begitu dekat. Yang namanya ngobrol, bisa dimana saja dan kapan saja serta bicara apa saja, bisa sambil bekerja atau melakukan sesuatu. Memang, yang paling sulit membuat suasana yang tidak duniawi, yang penuh etika sopan santun bikinan manusia. Disinilah sulitnya membentuk suasana yang rohani, masuk kedalam ruang bahwa hati ini sedang berbicara dengan Hati-Nya yang begitu terbuka dan bersahabat. Dalam suasana tersebut, kemungkinan hanya sebentar, namun bisa juga lupa waktu sampai berjam-jam tidak terasa. Yang jelas Tuhan pasti menembus batas ruang dan waktu ataupun jarak, karena Dia mahakuasa. Pasti Dia sangat senang mendengarkan obrolan kita walaupun mungkin dianggap tidak bermutu oleh orang lain.

Doa pribadi tidak ada pakem atau aturan yang mengikat, bagaikan dua orang yang sedang asyik berbicara. Kita bisa mengeluh bahkan jengkel dan marah, kita bisa tersenyum dan melaporkan hal hal yang lucu dan menarik. Kita bisa meneteskan air mata sendirian karena terharu akan kebaikan-Nya, ataupun penuh penyesalan akan dosa dan salah yang kita lakukan. Kita bisa ngobrol sewaktu mengendarai sepeda motor ataupun jalan kaki, di lain saat kita memberikan sembah sujud yang begitu dalam penuh hormat.

6:13 Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul: 6:14 Simon yang juga diberi-Nya nama Petrus, dan Andreas saudara Simon, Yakobus dan Yohanes, Filipus dan Bartolomeus, 6:15 Matius dan Tomas, Yakobus anak Alfeus, dan Simon yang disebut orang Zelot, 6:16 Yudas anak Yakobus, dan Yudas Iskariot yang kemudian menjadi pengkhianat.
Dari ayat diatas, kita bisa memahami bahwa murid Tuhan Yesus sebenarnya cukup banyak. Dari semua murid-Nya tersebut, dipilihlah duabelas orang yang disebut rasul. Mengapa rasul yang dipilih hanya duabelas, koq tidak kurang atau tidak lebih? Dalam pemahaman penulis, semuanya tergantung kepada Tuhan Yesus sendiri. Namun jika dilihat dari adat orang Yahudi, mereka selama ini terdiri dari duabelas suku keturunan Yakub atau Israel. Sebagai orang Yahudi, kelihatannya Tuhan Yesus betul-betul manusiawi sejati dengan memperhatikan adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan kehendak Allah Bapa. Mereka mungkin menjadi simbul dari keduabelas suku Israel, walaupun tidak diwakili oleh setiap suku tersebut. Mungkin rasul Paulus yang bergabung di kemudian hari, yang mewakili pewartaan untuk bangsa lain.

Kita bisa merasakan bagaimana Lukas sejak awal menyebutkan Yudas Iskariot sebagai pengkhianat. Sepertinya Yudas inilah yang pada saatnya akan menjadi batu sandungan, sebagai aktor yang tidak baik. Penekanan ini terasa sudah menyiratkan kepada kita, agar tidak menjadi seperti Yudas Iskariot. Mungkin akan menjadi perdebatan, apakah Yudas itu seorang berdosa tak terampuni atau hanya penggenap sejarah yang harus terjadi. Salah satu rasul-Nya juga bernama Yudas namun anak Yakobus, yang kita kenal dengan nama Yudas Tadeus. Demikian juga ada dua nama Yakobus, yang satu anak Zebedeus dan yang lain anak Alfeus.

Lukas juga menyebutkan bahwa mereka berdua-dua. Penulis tidak tahu apakah dibalik itu ada maksud tertentu. Bersaksi akan lebih baik jika tidak sendirian namun ada kawannya. Ada teman ngobrol yang bisa saling mengisi, saling menguatkan dan saling berbagi pengalaman.
Mengajar dan Menyembuhkan
6:17 Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon. 6:18 Mereka datang untuk mendengarkan Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka; juga mereka yang dirasuk oleh roh-roh jahat beroleh kesembuhan. 6:19 Dan semua orang banyak itu berusaha menjamah Dia, karena ada kuasa yang keluar dari pada-Nya dan semua orang itu disembuhkan-Nya.
Penulis tidak tahu dimana daerah datar tersebut, yang mungkin tempatnya cukup luas. Perkiraan penulis tempat tersebut saat ini mungkin yang dikenal sebagai jalan atau daerah “be attitude”. Suatu daerah yang sekarang terlihat rimbun dan tertata rapi di dekat pantai danau Galilea. Terkenal dengan gerejanya yang berbentuk segi delapan, yang sepertinya dikelola oleh para suster. Mungkin dapat kita sebut sebagai gereja delapan sabda bahagia.

Kita bisa membayangkan bahwa kehebatan Tuhan Yesus sudah tersiar kemana-mana. Yudea di daerah selatan sampai Tirus dan Sidon yang terletak di daerah pantai utara. Boleh dikatakan bahwa yang datang hampir meliputi orang-orang dari seluruh Israel. Mereka datang untuk mendengarkan firman, setelah itu mengharapkan kesembuhan.

Mungkin dari sinilah banyak kategorial atau kelompok tertentu yang melakukan ritual, dimulai dengan pujian dan pembacaan firman. Kemudian barulah dilakukan ritual penyembuhan. Bedanya, pada waktu itu Tuhan Yesus mungkin menyembuhkan semua orang yang datang mohon kesembuhan. Bahkan hanya dengan menjamah jubah-Nya saja memperoleh kesembuhan. Sedangkan di zaman sekarang, tidak semua orang merasa mendapatkan kesembuhan. Perbedannya mungkin pada waktu itu Tuhan Yesus berkarya sendiri dan semua orang percaya kalau Dia menghendaki semuanya akan disembuhkan, tanpa membeda-bedakan. Dizaman sekarang, mungkin karena tingkat kepercayaan dan kepasrahan yang membedakan. Seringkali malah melupakan untuk mendengarkan firman itu sendiri, kadang-kadang lebih cenderung hanya untuk kesembuhan jasmani.
Ucapan Bahagia dan Peringatan
6:20. Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata: "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. 6:21 Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. 6:22 Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. 6:23 Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi.
Dalam hal ini, mungkin kita lebih mengenalnya dengan istilah ajaran delapan sabda bahagia menurut tulisan Matius. Memahami tentang kebahagiaan nyatanya begitu sulit untuk disamakan, atau minimal kesepakatan tentang arti bahagia. Banyak orang saling berpendapat yang agak berbeda tentang apa itu bahagia. Mungkin rasa bahagia itu sendiri dapat dikelompok-kelompokkan, sesuai selera yang mengalaminya.

Pertama, bahagia yang dirasakan seseorang yang bukan berasal dari duniawi. Siap dan berani menghadapi kenyataan apapun yang terjadi dengan penuh rasa syukur. Menjalani kenyataan hidup yang merupakan konsekuensi logis dari suatu pilihan, tanpa mengeluh dan tidak pernah menyerah.

Ada juga yang menganggap bahagia karena kepenuhan dari sisi materi. Rasa bahagia itu muncul setelah berhasil mencapai sesuatu, dan kemudian pada suatu saat rasa bahagia itu menipis karena keinginan mengharapkan yang lainnya lagi. Mungkin rasa bahagia itu sifatnya sesaat, tergantung dari sutuasi, suasana, keadaan, atau kondisi yang dapat mempengaruhinya.

Kelihatannya Sabda Bahagia yang diajarkan Tuhan Yesus lebih ditekankan kepada yang rohani, bukan duniawi. Mungkin, malah agak bertentangan dengan duniawi yang kasat mata. Kebahagiaan yang lebih ditekankan kepada suatu harapan untuk masa akan datang. Mungkin bagi orang kebanyakan malah dianggap bahagia yang aneh, tidak masuk akal, atau malahan bodoh dan konyol.

Orang miskin yang empunya Kerajaan Allah menurut pemahaman penulis bisa bersayap. Miskin karena tidak mampu yang selalu menderita selama hidup di dunia. Miskin karena ketidak adilan, yang menjadi obyek kekuasaan atau kekuatan sekelompok orang. Dalam keterpurukannya, yang bersangkutan hanya bisa berpasrah kepada Sang Pencipta. Dan Tuhan Yesus memberikan penghiburan kepada mereka yang menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Suatu harapan lain tentang surga yang tidak bisa dinikmati secara kasat mata. Paling tidak harapan surgawi tersebut memberikan rasa sukacita di dalam hati dan jiwa.

Pemahaman kedua adalah orang yang berani menyebutkan dirinya miskin di hadapan Allah yang Maha Kaya. Kaya segala-galanya dalam hal kebaikan dan kebenaran. Merasa miskin di hadapan Tuhan, maka segala macam kelebihan yang dimilikinya bukanlah sesuatu yang dapat disombongkan ataupun dipamerkan. Suatu ungkapan yang mengatakan bahwa di atas langit masih ada langit, mengajarkan kepada kita untuk tidak sombong, angkuh karena merasa lebih. Kelebihan tersebut bisa saja dilihat dari sisi materi, pendidikan, kekuasaan, pengalaman, kejuaraan dan sebagainya.

Kerendahan hati yang tulus bisa membentuk seseorang untuk dapat menikmati rasa sukacita. Sukacita tersebut muncul karena bisa mensyukuri dengan sepenuh hati apa yang diperoleh dengan benar, entah banyak entah sedikit. Mensyukuri dengan sukacita mestinya jauh dari sifat serakah yang merasa selalu kurang. Buah-buah syukur dan sukacita adalah kebahagiaan yang sulit untuk dijelaskan dengan kat-kata, mungkin hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan.

Yang lapar akan dipuaskan menurut pemahaman penulis juga bermakna majemuk. Obat atau pemuas lapar ya makan. Kita bisa menikmati enaknya makan ya sewaktu merasa lapar. Apapun bisa terasa enak dan nikmat, sampai batas waktu makan mendekati kenyang. Apabila rasa kenyang tersebut sudah tercapai, maka setelah itu ada suatu rasa yang menggerakkan seluruh tubuh ini untuk menolaknya. Jika kita berhenti pada saat itu, maka rasa puas menikmati makanan tadi akan berlangsung cukup lama. Namun apabila kita teruskan makan karena mumpung masih banyak tersedia, maka sadar atau tidak akan mengalir suatu rasa lain. Mungkin mulut masih terasa enak makan, tetapi di bagian perut dan sekitarnya jangan-jangan muncul penolakan. Rasa puas yang dialami akan cepat menurun drastis, tergantung keadaan si orang yang sedang makan tersebut.

Pemahaman lainnya adalah lapar akan sesuatu, yaitu keinginan atau harapan yang sangat akan apapun. Dalam hal ini tentunya berhubungan dengan yang menuju kearah baik dan benar. Dan Tuhan Yesus memberikan penghiburan dan harapan bahwa keinginan tersebut akan dapat dicapai. Sewaktu kita melaksanakan suatu keinginan yang berkobar-kobar dan akhirnya tercapai, pastilah muncul rasa kepuasan yang sulit dirangkai dengan kata-kata. Disitulah kebahagiaan yang akan menyelimuti orang tersebut.

Yang menangis akan tertawa menurut pemaham penulis bisa bermacam-macam. Mengapa seseorang menangis? Secara umum mungkin seseorang menangis karena kehilangan sesuatu, yang mengakibatkan kesedihan mendalam. Tuhan Yesus memberikan penghiburan dan harapan bahwa yang hilang tersebut dapat diketemukan. Atau malahan mendapatkan ganti yang lebih bernilai dari yang hilang tersebut. Betapa akan gembiranya menemukan atau mendapat ganti dari sesuatu yang hilang tadi. Kebahagiaan dapat membuahkan senyuman, bahkan tertawa saking senangnya. Memang ada juga orang menangis karena saking terharu atau malahan kegembiraan yang datangnya tidak terduga.

Sesuatu yang hilang disini mestinya bisa bermacam-macam, bisa berbentuk materi atau yang non materi. Mestinya Tuhan Yesus lebih menekankan kepada sesuatu yang bernilai secara rohani atau yang tidak kasat mata. Hilangnya kemerdekaan atau kebebasan diri, hilangnya kasih persaudaraan, hilangnya keadilan dan sejenisnya.

Karena Anak Manusia, kita dibenci dan dikucilkan bahkan dianggap tidak ada. Karena Tuhan Yesus dan menjadi pengikutnya, maka dicela dan dianggap jahat. Disinilah Tuhan Yesus memberikan penghiburan dan harapan yang sangat besar; upah surga atau papan minulya. Kita diajar untuk dapat menerima segala cemoohan dengan penuh sukacita. Hal ini menjadi konsekuensi karena mengikut Yesus Kristus, Sang Anak Manusia. Sang pencela tidak tahu siapakah Dia, yang mestinya perlu dikasihani dan diampuni, semoga mereka sadar tentang perbuatannya.

Sepertinya di zaman dahulu banyak nabi-nabi beneran, nabi yang dipilih Allah yang mengalami penganiayaan. Nabi-nabi model ini pastilah tidak mengenal korupsi, kolusi maupun nepotisme. Pastilah mereka orang-orang yang tegas, tidak mendua, berani mengecam para pembesar atau penguasa yang berlaku tidak benar. Mengapa para nabi ini bisa dan berani bertindak melawan kebatilan? Penulis merasa yakin, bahwa mereka dipilih dan “disentuh” sendiri oleh Allah. Sentuhan Tuhan-lah yang dapat merubah dan mempengaruhi seseorang secara mengherankan. Perubahan tersebut pastilah disadari dengan segala macam risiko kesengsaraan yang akan diterima.

Siapkah kita dianiaya karena berani menjadi pengikut Tuhan Yesus? Jawabnya ada di hati kita masing-masing.

Mungkin yang namanya nabi palsu juga banyak, dan jangan-jangan malah lebih dekat dengan para penguasa. Ajarannya tetap berpegang kepada Kitab Taurat dan para nabi, yang penafsirannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

6:24 Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. 6:25 Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis. 6:26 Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu."
Kata-kata “celakalah” sepertinya lebih mendekati suatu kutukan atau peringatan keras yang mengancam. Peringatan atau kecaman ini ditujukan kepada orang-orang yang sudah merasa kaya, kenyang, yang bisa tertawa, dan menerima pujian dimana-mana. Sangat berlawanan dengan kata-kata “berbahagialah.”

Seringkali ucapan ini secara harafiah menjadi batu sandungan. Sepertinya Tuhan Yesus tidak bersimpatik kepada orang-orang yang kaya, berkecukupan sampai kenyang, yang dapat selalu tertawa, mendapat penghormatan berlebih dibanding yang lain. Apakah kita tidak boleh menjadi kaya dan berkuasa? Padahal hampir semua orang menginginkan kehidupan yang seperti itu. Betulkah demikian?

Mungkin kita harus menyamakan pendapat terlebih dahulu, bahwa pada dasarnya semua orang ingin dan berharap menjadi orang baik-baik. Hidup yang cukup, damai aman sejahtera, guyub rukun tidak ada perselisihan. Pertanyaannya, mengapa hal-hal yang begitu didambakan, begitu diimpikan tidak bisa dicapai? Mungkin para sosiolog, filosof, humanis dan sejenisnya, secara teori bisa mengupas hal ini sampai beratus-ratus halaman. Penulis hanya menjawab secara bodoh saja, bahwa selama Iblis masih boleh berkarya di dunia ini, maka ketidak adilan tetap akan mewarnai bumi ini.

Kita mungkin masih ingat sewaktu Tuhan Yesus dicobai Iblis. Keinginan lebih atau keserakahan menjadi bibit atau malahan virus yang cepat sekali berkembang, yang akan menggerogoti seluruh sendi-sendi kehidupan yang tadinya baik. Dan hebatnya virus keserakahan ini begitu cepat menular dan sulit untuk disembuhkan. Dari virus serakah tersebut, dapat berkembang menjadi perbuatan yang menghalalkan segala cara. Mungkin obatnya hanya dari Sang Penyembuh, yaitu firman Allah yang harus dimakan atau diminum secara rutin. Itu saja masih belum cukup apabila tidak mengikuti anjuran atau malahan perintah dari Sang Tabib.

Disinilah muncul nabi-nabi palsu yang bisa memberikan solusi semu. Nabi-nabi yang bisa ditawar dan diatur sesuai selera yang membutuhkan, yang bisa diajak kompromi. Nabi palsu tersebut bisa kita andaikan seorang konsultan yang begitu menyenangkan. Pendapatnya selalu seiring dan seirama dengan selera kita, selalu menyetujui bahwa kita sudah bertindak benar dan menyiapkan segala macam alasan meyakinkan. Sang konsultan tidak pernah menyodorkan mana yang benar mana yang tidak, mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang tidak. Selalu ada saja alternatif lain yang disodorkan, dengan memberikan argumentasi yang dapat diterima akal budi. Semuanya dapat direkayasa sedemikian rupa, sehingga kita bingung, sebenarnya mana yang benar. Mereka adalah ahli-ahli di bidangnya, dan kita hanya orang-orang awam.

Ada ungkapan bahasa Jawa “sing salah bakal seleh” yang berarti siapa yang salah pada waktunya akan kelihatan dan akhirnya angkat tangan. Jika tidak cepat berubah, maka yang akan diterima adalah celaka. Kesedihan, kelaparan akan sesuatu, dukacita dan kehinaan. Bagaimana terjadinya? Penulis tidak bisa berandai-andai karena menyangkut perasaan yang paling dalam dan sulit diuraikan. Paling gampang adalah, apabila orang tersebut mengalami kebangkrutan total. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana yang tadinya kaya menjadi miskin, yang tadinya selalu tersedia makanan menjadi tidak mempunyai, yang tadinya selalu bergembira menjadi murung, yang selalu dipuji terus tidak dianggap malah dihinakan.

Kebangkrutan total tersebut bisa juga dipahami sebagai kematian yang tidak membawa apa-apa. Pertanggung jawaban di hadapan Tuhan dan diganjar sesuai amal perbuatan selama masih hidup di dunia. Kesengsaraan yang tanpa batas waktu, yang mestinya cukup mengerikan. Mereka akan bertemu dengan para korban perbuatan mereka, namun di tempat yang berbeda.
Mengasihi Musuh
6:27. "Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; 6:28 mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.
Bagi penulis, yang bisa mengajarkan hal-hal seperti ini hanyalah yang kuasa, yang Ilahi. Manusia biasa rasanya tidak mungkin mengajarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehidupan duniawi ini. Pengajaran seperti ini hanya bagi orang-orang yang mau mendengarkan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.

Berani mengasihi sesama berarti tidak mempunyai musuh. Bukan kita yang menganggap musuh, tetapi mereka yang memusuhi kita. Itu urusan mereka. Oleh karena itu kita diajar untuk berani mengasihi, berbuat baik, memintakan berkat dan mendoakan mereka.

Seringkali penulis mendapat gurauan dari teman-teman dekat, bahwa ajaran yang diberikan Sang Guru dinilainya ajaran konyol. Ajaran yang tidak umum dalam kehidupan sehari-hari. Penulis hanya tersenyum dan kalau diminta komentar, maka penulis hanya berkata bahwa yang bisa berbicara seperti itu jelas bukan manusia biasa. Hanya yang Ilahi karena Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Maha Memaklumi terhadap kelakuan manusia.

Mungkin kita perlu untuk selalu bertanya pada diri sendiri, mengapa seseorang atau malahan kelompok mencacimaki, mengutuk bahkan membenci. Ada apa dibalik semuanya itu? Adakah suatu kesalahan yang disengaja atau tidak disadari yang telah kita perbuat kepada mereka? Yang jelas, pasti ada “sesuatu yang menyinggung” perasaan yang terus dikembangkan sedemikian rupa, sehingga membentuk iri dengki, kebencian yang akhirnya dianggap sebagi musuh. Musuh yang kelihatan secara jelas masih bisa diajak berkomunikasi, lha kalau musuh dalam selimut? Ini yang berabe!

Jika dipikir-pikir, sebenarnya yang dibenci itu Tuhan Yesus sendiri, bukan kita. Karena kita menjadi pengikut Kristus maka dibenci dan dicaci. Coba, kalau kita pindah haluan dan mengikut mereka. Pasti yang datang pujian, rangkulan bahkan malah dielu-elukan.

Disini kita diajar untuk berani melawan diri sendiri, mengalah melalui perbuatan nyata. Berbuat baik, mendoakan, memintakan berkat, dan akhirnya mengasihinya. “Tuhan Yesus, aku berdoa bagi mereka yang Engkau kasihi, walaupun mereka membenci dan tidak tahu bagaimana mengasihi kita. Semoga mereka Engkau sembuhkan dan Engkau murnikan, agar mereka juga terbebas dari yang jahat. Amin.”

Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika semua orang melaksanakan ajaran di atas. Pasti tidak akan ada permusuhan, kebencian, kutukan maupun cacian. Yang ada hanya perbuatan baik saling mengasihi, saling memberkati dan saling mendoakan. Mungkin yang ada suatu bangsa yang hidup rukun aman damai sejahtera yang selalu tercukupi kebutuhan hidupnya.

6:29 Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.
Ajaran yang bukan main susah untuk diterima dan dilaksanakan secara nalar. Kita diajar untuk berani menghilangkan keinginan balas dendam dengan cara apapun. Kita diajar untuk berani mengalah dalam segala hal dengan tulus ikhlas. Meng-Allah bagaikan Allah yang selalu memaklumi akan kelakuan manusia, termasuk kita.

Kita bisa mendefinisikan menurut selera kita, siapakah orang yang suka “menampar dan mengambil” yang bukan haknya. Ditampar, pada awalnya pasti ada rasa sakit, entah sedikit atau banyak. Demikian juga yang namanya milik kita diambil, rasa sakit itupun ada.

Dalam kehidupan sehari-hari, secara umum kita paling tidak suka atau tidak mau untuk menerima apa itu yang disebut sakit. Sakit yang begitu bermacam-macam, dari yang jasmani sampai yang rohani. Hal ini hampir sama dengan lidah kita yang diberi dengan segala macam rasa; dan namanya pahit kalau bisa kita hindari.

Sakit dan pahit adalah suatu hal yang tidak mengenakkan dan lebih sering kita keluhkan. Dalam keadaan tertentu yang mendekati keterpaksaan, kita baru mau menerima apa itu yang disebut sakit dan pahit. Contoh sederhananya adalah minum jamu pahit atau pijatan yang memberikan rasa sakit. Rasa sakit dan pahit itu terpaksa kita terima karena kita ingin sembuh.

Untuk mencapai kesembuhan inilah pada hakekatnya kita dengan rela mau menerima rasa sakit dan pahit. Kalau proses penyembuhan ini kita lakukan berkali-kali, maka lama-kelamaan kita akan menjadi tahan banting. Rasa sakit dan pahit tidak akan lagi menjadi batu sandungan, mungkin malah bisa dirasakan dan dinikmati bahwa dibalik itu ada nilai-nilai hikmah tersendiri.

Semua rasa tersebut akhirnya akan menyatu dengan rasa-rasa yang lain, seperti tidak ada bedanya. Dan akhirnya kita bisa menerima dengan tulus dan senang hati, malahan bisa bersyukur. Bersyukur kepada Tuhan bahwa kita boleh ikut mencicipi segala rasa, yang selama ini hanya dirasakan oleh Tuhan Yesus sendiri. Mungkin hanya para orang kudus yang rela mencicipi segala macam rasa tersebut.

6:30 Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.
Disini kita diajar untuk berani menjadi orang yang murah hati yang tulus, tidak pernah mengingat-ingat kembali apa yang sudah pernah kita lakukan. Tidak ada kelekatan dengan materi duniawi yang pernah kita miliki. Yang sudah tidak ada, yang hilang biarlah demikian adanya, tidak perlu dipikirkan dan disesali.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kesal menghadapi orang meminta-minta. Banyak alasan dapat kita kemukakan mengapa kita kesal kepada pengemis. Kita lebih sering lupa bahwa pada dasarnya tidak ada seorangpun ingin menjadi pengemis. Mereka melakukan hal tersebut karena suatu sebab, dan jangan-jangan kita terlibat langsung atau tidak langsung, yang mengakibatkan mereka mengemis. Namun demikian ada pula yang memanfaatkan peluang ini, meminta-minta dengan berbagai alasan.

Hebatnya lagi, kita malahan lupa bahwa kita juga termasuk pengemis jempolan. Setiap saat kita mengharap, meminta, memohon atau bahasa halus lainnya, terus kta bungkus dalam bentuk ungkapan yang kita namakan doa. Hampir tidak pernah lowong bahwa sebagian besar doa kita berisi permintaan. Tuhan tidak pernah bosan mendengar permintaan kita, namun kitalah yang sering bosan mendengar permintaan saudara kita.

6:31 Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Ajaran ini kelihatannya sederhana namun yang sering kali muncul bisa kebalikannya. Kalau ingin dihormati, hormatilah orang lain terlebih dahulu. Kalau dipukul itu sakit, jangan memukul orang lain. Kita tidak menginginkan orang lain berpikiran negatif terhadap kita, tidak membuat gosip, ngrasani di belakang kita. Namun apa ang kita lakukan sewaktu kita berkumpul dan ngobrol? Membicarakan orang lain dan yang paling sering selalu mengomentari kekurangannya. Seolah-olah secara tidak sadar kita merasa lebih baik ketimbang dia. Dan sebenarnya kita tidak mendapatkan apa-apa. Jarang sekali kita membicarakan orang lain karena kelebihannya, agar kita bisa belajar untuk mawas diri. Membicarakan kelebihan berarti kita mengakui bahwa masih ada yang kurang dalam diri kita. Dan disinilah kita akan mendapatkan sesuatu yang baru, karena kita bisa belajar dari kelebihan seseorang.

Sering kali kita begitu sulit untuk mengucapkan kata-kata “Maaf, terima kasih, tolong dan pujian” padahal kita akan senang kalau orang lain yang mengatakan hal itu kepada kita. Kata yang begitu pendek dan menyenangkan orang lain, kenapa begitu sulit keluar dari mulut kita. Mungkin ada unsur budaya atau kebiasaan yang menghalangi, antara lain “kasta” yang telah kita buat sendiri. Kasta sebagai anak, pembantu, bawahan, pelayan, pesuruh, yang kita anggap sudah kewajibannya.

Disinilah kita diajar untuk selalu berpikir positif bahwa orang lain itu mempunyai perasaan yang sama dengan kita. Kita diajar untuk bisa memaklumi keadaan orang lain, bukan menurut ego kita. Setiap orang mempunyai kelebihan, disamping ada kekurangannya. Yang namanya kelebihan, pasti beraneka macam dan ragamnya, serta tidak selalu yang lebih baik dan benar.

6:32 Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. 6:33 Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian.
Secara jujur penulispun mengakui bahwa yang namanya mengasihi itu bergradasi, ada tingkatannya. Sadar atau tidak, kasih kita dipenuhi dengan segala macam persyaratan. Demikian juga dengan perbuatan baik yang masih melalui seleksi dan persyaratan tertentu. Aku mau mengasihi kamu atau berbuat baik kepadamu, kalau ......... .

Kelihatannya Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita untuk berani melepaskan segala macam persyaratan tersebut. Kasih yang tanpa syarat kepada siapapun, berbuat baik yang tanpa syarat kepada siapapun.

Menjadi pengikut Kristus sudah sewajarnya dan selayaknya jika berbeda dan lebih dari yang lainnya. Harus lebih dalam segala hal di bidang kebenaran dan kebaikan, harus bisa menjadi contoh dan panutan. Menjadi contoh dan panutan hanya bisa terwujud apabila bisa menyatukan antara pikiran, perkataan dan perbuatan nyata, sesuai dengan ajaran-Nya.

6:34 Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.
Kalau berani jujur kepada diri sendiri, sebenarnya kita-kita ini termasuk dalam kelompok orang-orang berdosa. Apa yang kita pinjamkan kepada seseorang, selalu terbersit dalam benak kita pada suatu saat akan dikembalikan. Syukur-syukur dengan bunganya atau sesuatu yang mempunyai nilai tambah. Secara tidak langsung hampir sama dengan rentenir atau bank atau pegadaian.

Kita diajar untuk berani melepaskan diri dari kelekatan dengan apa yang pernah kita miliki. Apa yang sudah terlepas atau kita lepaskan, berarti itu sudah bukan milik kita pada saat itu. Mungkin kita perlu belajar kepada tetumbuhan atau pohon yang hidup. Dia lepaskan daun-daun keringnya, jatuh tertiup angin. Kadang-kadang daun hijau dan buahnya menjadi makanan binatang, termasuk manusia. Pohon tersebut tidak pernah membela diri ataupun melawan, namun ikhlas melepaskan apa yang dia punyai diambil. Kemudian malah akan muncul terubus baru dan malahan tumbuh semakin lebat.



6:35 Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. 6:36 Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati."
Kembali Tuhan Yesus memberikan suatu harapan yang menghibur, apabila kita berani melaksanakan semua ajaran di atas dengan tulus dan ikhlas. Upah menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi. Allah yang Mahabaik dan murah hati kepada siapapun, tanpa pandang bulu. Dia bagaikan matahari ciptaan-Nya yang memberikan cahaya dan panasnya kepada siapapun dan apapun yang membutuhkannya.

Kita diajar untuk menjadi murah hati, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Kita diajar untuk berani mengasihi dan berbuat baik kepada yang memusuhi kita tanpa mengharapkan balasan duniawi. Harapannya hanya satu, menjadi anak-anak Allah.

Tidak semudah itu untuk melaksanakan ajaran Tuhan Yesus. Mungkin diperlukan proses dan waktu untuk berubah. Proses perubahan tersebut bisa cepat namun bisa juga lambat. Bagi penulis, bersyukurlah kita karena masih diberi kesempatan untuk berubah dan berubah, selama kita masih mau berubah. Tidak ada kata terlambat selama kita masih diberi waktu untuk hidup.
Hal Menghakimi
6:37. "Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni.
Sadar tidak sadar, dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menghakimi dan menghukum seseorang. Penghakiman dan penghukuman ini bisa bermacam-macam model atau ungkapan. Mungkin dengan cara mencela, menyalahkan, kurang begini kurang begitu dan sebagainya. Rasanya kita ini sudah yang paling benar, paling tahu. Dan anehnya, kita akan mempertahankan diri jika balik dicela atau disalahkan.

Secara tidak sadar, seringkali kita ingin memaksakan kehendak kepada orang lain. “mBok begini atau begitu! Kalau aku ....... .” Apalagi kalau kita dianggap sesepuh, dituakan atau dihormati malah disegani. Jangan-jangan di belakang kita mereka juga ngedumel :”Orang tua tidak menyadari tuanya, tidak bisa jadi panutan.”

Mungkin akan berbeda kalau secara terbuka ataupun empat mata, dari hati ke hati, memberikan sumbang saran, kritik membangun. “Salah” itu merupakan bagian dalam kehidupan kita, karena kita memang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Disinilah perlunya bahasa komunikasi yang tidak menghakimi dan menghukum. Bahasa yang dapat membesarkan hati, yang mendorong orang lain untuk semakin berubah maju.

Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal hakim yang memutuskan suatu perkara. Keputusan akan diambil setelah mendengarkan, melihat fakta, yang disampaikan oleh kedua belah pihak. Susahnya adalah mengungkapkan segala macam bukti pendukung, kalau perlu saksi-saksi, entah memberatkan entah meringankan, sehingga menghasilkan keputusan yang seadil-adilnya. Jika ada yang tidak puas dari keputusan tersebut, masih ada kesempatan untuk naik banding sampai yang tertinggi. Pada umumnya salah satu pihak tetap ada yang tidak puas, tidak adil atau ungkapan lainnya.

Disinilah kita diajar untuk tidak menghakimi dan menghukum, agar hal tersebut tidak berbalik menimpa kita. Kita diajar untuk melihat segala sesuatu dengan hati bening tanpa emosi, meraba-rasakan, meneliti dengan cermat, mengapa terjadi begitu. Semua orang tahu bahwa mencuri itu keliru dan dapat disalahkan. Mengapa dia sampai mencuri? Apa yang akan muncul di benak kita, apabila kita melihat bahwa isteri dan anak-anak pencuri tersebut sedang menunggu bapaknya membawa makanan. Mereka sedang kelaparan belum terisi sesuap apapun dan begitu menderita. Pasti akan panjang dan muncul pro dan kontra, tergantung cara memandangnya.

Mengampuni sendiri rasanya perlu belajar dan belajar. Penyadaran diri bahwa kitapun bukan tanpa kekurangan, masih sama dengan orang lain. Kita diajar untuk berani memaklumi tentang keadaan orang lain, bahwa setiap manusia itu mempunyai keunikan-nya sendiri-sendiri. Keunikan dengan segala kelebihan dan kekurangan, sesuai dengan perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Selanjutnya kita diajar yang mengarah untuk selalu berpikir positif terlebih dahulu.

6:38 Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu."
Tuhan Yesus sepertinya mengajarkan kepada kita untuk lebih berani memprioritaskan memberi daripada menerima. Memberi dalam bentuk apa saja, yang bisa secara materi maupun yang bukan materi. Memberi dengan ikhlas dan pantas sesuai kemampuan rasanya lebih bernilai. Akan lebih hebat lagi apabila pemberian tersebut diatas kepantasan yang begitu relatif. Janji Tuhan, dengan memberi dan memberi maka akan dibalas oleh Tuhan sendiri. Kita akan diberi sesuai dengan amal perbuatan kita. Kalau dihitung-hitung, maka pemberian Tuhan tersebut malah lebih besar nilainya. Percayakah kita bahwa semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak pula balasan Tuhan? Penulis percaya akan hal itu.

Kita bayangkan saja apabila kita cukup mampu, dibandingkan tetangga di sekeliling kita. Dengan murah hati yang ikhlas, kita bisa memberi dari kelebihan yang kita punya. Memberi materi, memberi nasihat, memberi pengajaran, memberi tenaga dan yang lainnya. Apa yang akan kita dapat? Minimal adalah ucapan terima kasih atas kemurahan hati kita. Kemudian persaudaraan yang terjalin di antara kita. Selanjutnya adalah mendoakan kita yang baik-baik. Tuhan tidak pernah menutup telinga-Nya akan doa-doa yang tulus. Nilainya pasti bukan main.

6:39 Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: "Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang? 6:40 Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.
Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi, bila seorang buta menuntun orang buta. Makna buta yang tidak melihat dapat kita pahami sesuai selera kita dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita akan tersenyum mendengarkan seseorang menjelaskan sesuatu yang dia tidak tahu, kepada orang lain yang juga tidak tahu. Jangan-jangan Tuhanpun tersenyum sewaktu kita membicarakan perjalanan roh seseorang setelah mati. Pasti yang menjadi referensi atau acuan adalah katanya si Anu atau siapapun. Dan mereka semua nyatanya belum pernah mati dan berkelana di dunia orang mati.

Disinilah perlunya kita belajar dan belajar kepada guru yang tahu betul sesuai keahliannya. Apabila guru tersebut memberikan semuanya yang dia ketahui, maka pengetahuan kita pada saat itu akan sama dengan sang guru, khususnya untuk materi tersebut. Kita tidak akan berdebat bahwa bagaimana kalau suatu ketika ajaran sang guru tersebut tidak selamanya benar, setelah melalaui penelitian.

Sang mahaguru sejati ya hanya Tuhan Yesus sendiri, namun kita tidak akan pernah bisa tamat belajar, walaupun sampai mati.

6:41 Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? 6:42 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."
Tuhan Yesus sepertinya sedang menegur karena kelakuan kita. Kita yang tidak mau bercermin diri, yang bisanya hanya mencela orang lain. Begitu mau bercermin, kacanya sudah berdebu tebal sehingga tidak terlihat jelas. Kita malas untuk bercermin karena sebenarnya wajah kita tidak mulus. Maka cermin tersebut kita biarkan agar semakin berdebu, kalau perlu malah dipasang di tempat yang agak temaram.
Kita diingatkan untuk selalu mawas diri, sebelum berkomentar tentang orang lain. Diajar untuk selalu melihat ke dalam diri seberapakah kekurangan yang dimiliki. Bukan melihat dan berpatokan kepada kelebihan diri, yang sering menjadi akar kesombongan.

Pohon dan Buahnya
6:43 "Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. 6:44 Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya. Karena dari semak duri orang tidak memetik buah ara dan dari duri-duri tidak memetik buah anggur. 6:45 Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya."
Ajaran ini sering kali kita dengarkan dalam kotbah dan renungan. Kita diajar untuk tidak mudah begitu cepat menilai sesuatu. Penilaian yang begitu cepat jangan-jangan meleset atau tidak tepat. Masih menduga, yang seringkali disertai dengan rekayasa subyektif. Malahan akhirnya kitalah yang akan dinilai sebagai si cepat jawab, si asal ngomong.
Kita diajar untuk sabar menunggu buah-buah yang dihasilkan. Setelah mendengar, melihat dan merasakan buahnya, barulah kita bisa berkomentar dengan obyektif. Ungkapan bahasa Jawa “ajining dhiri saka kedaling lathi” yang kurang lebih mengatakan bahwa nilai seseorang itu dapat dirasakan dari yang keluar melalui bibirya.
Dua macam Dasar
6:46 "Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan? 6:47 Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya--Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan--, 6:48 ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun. 6:49 Akan tetapi barangsiapa mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Ketika banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah kerusakannya."
Penulis dengan jujur akan berani mengatakan bahwa sebenarnya masih tanpa pondasi yang benar. Hanya masih beruntung bahwa rumahnya berada di tempat yang agak tinggi, sehingga belum terkena banjir. Malahan angin dan cuaca yang menggerus tembok serta membuat lapuk kayu-kayunya. Penulis akan mengakui dengan jujur bahwa belum bisa melakukan semua yang dikatakan Tuhan Yesus. Sewaktu berpegang kepada-Nya, masih sering lepas. Mungkin hampir sama dengan orang yang belajar dan belajar, sewaktu ulangan atau ujian belum pernah lulus.

Melakukan kehendak Tuhan nyatanya lebih gampang untuk diucapkan, namun begitu sulit untuk dipraktekkan. Kedagingan dan akalbudi kita lebih berpihak kepada nafsu duniawi, walaupun hati dan jiwa ini agak memilih yang surgawi. Seringkali atau bahkan lebih banyak kedagingan dan akalbudi yang menang. Jangan-jangan kita bukan berseru : “Tuhan, Tuhan” tetapi keliru mengatakan :”Hantu, hantu.”

Pengajaran di atas sepertinya mengajak kita untuk merenung serta menghayati dengan hati yang bening. Kita dihadapkan kepada dua pilihan yang ekstrim dengan segala konsekuensi yang harus dihadapi. Memilih yang rohani atau yang jasmani, melakukan ajaran-Nya atau tidak, berpihak atau menolak. Biasanya kita akan mencari pilihan alternatif antara rohani dan jasmani. Kita ingin berpihak kepada kedua-duanya, yang satu kenyataan duniawi dan lainnya harapan surgawi. Dengan kata lain, kita tidak bergeming.

Padahal Tuhan Yesus mengharapkan kita berubah, walaupun proses perubahan itu sendiri mungkin memerlukan waktu lama. Berubah dari yang tadinya berpihak kepada duniawi, bergerak menuju yang lebih surgawi. Bangkit bergerak dan berubah inilah, bagi penulis bermakna pertobatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar