Kamis, 10 Desember 2009

Memahami Lukas Bab14

Bab 14- Paling Utama dan Sebaliknya, Melepas dengan Tulus
Penyembuhan di hari Sabat
14:1. Pada suatu hari Sabat Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi untuk makan di situ. Semua yang hadir mengamat-amati Dia dengan saksama. 14:2 Tiba-tiba datanglah seorang yang sakit busung air berdiri di hadapan-Nya. 14:3 Lalu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu, kata-Nya: "Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?" 14:4 Mereka itu diam semuanya. Lalu Ia memegang tangan orang sakit itu dan menyembuhkannya dan menyuruhnya pergi.
14:5 Kemudian Ia berkata kepada mereka: "Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?" 14:6 Mereka tidak sanggup membantah-Nya.
Kembali pada hari Sabat Tuhan Yesus malah di rumah orang Farisi, melakukan penyembuhan karena belas kasih-Nya kepada yang menderita. Pertanyaan-Nya tidak ada yang berani menjawab karena serba salah. Dijawab tidak boleh koq kebangetan, dijawab boleh koq tidak sesuai dengan adat kebiasaan. Mungkin hal ini menjadi paradigma baru bahwa berbelas kasihan, berbuat baik dan benar dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja.

Memang, berubah dari kebiasaan yang telah mendarah daging tidaklah gampang. Walau perubahan itu menuju ke yang lebih baik dan benar, sering kali ada sesuatu yang menahan dan sulit dilepaskan. Agak repot berkomentar apabila seseorang sudah berkata :”Biasanya kan begini atau begitu.” Kelekatan kepada kebiasaan bagaikan sudah berakar masuk ke relung-relung paling dalam. Dalam beberapa hal, sering kita kaitkan dengan sifat, watak, karakter atau apapun namanya. Orang Jawa sering menyebut “ciri wanci ilange digawa mati” yang artinya watak tersebut tidak bisa berubah, hilangnya kalau sudah meninggal. Apakah betul demikian? Penulis tidak yakin. Siapapun bisa berubah apabila memang menyadari dan berkehendak untuk berubah. Pertanyaannya, apakah katak berani dan siap untuk keluar dari tempurung?

Penulispun pernah mengalami melewati orang tua yang kelihatan sakit di pinggir jalan. Penulis lebih berpihak kepada disiplin waktu kerja karena hampir terlambat. Biarlah orang lain yang menolong kalau yang bersangkutan memang membutuhkan bantuan. Pengalaman tersebut sering mengganggu pikiran dan hati penulis. Apa salahnya bertanya kepada orang tersebut dan membantu ke rumah sakit atau poliklinik, apabila memang sakit beneran. Terlambat sekali-kali kan tidak merupakan masalah besar dan masih bisa dijelaskan kepada atasan. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi penulis pribadi.
Tempat paling Utama dan paling Rendah
14:7. Karena Yesus melihat, bahwa tamu-tamu berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan, Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: 14:8 "Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, 14:9 supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah. 14:10 Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain. 14:11 Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."
Dalam kebiasaan orang Yahudi, sepertinya untuk pesta makan saja sudah ditentukan mana tempat terhormat, mana tempat biasa. Mungkin kalau zaman sekarang tempat duduk paling depanlah yang terhormat. Semakin ke belakang ya semakin tidak dikenal. Mungkin hanya sewaktu nonton bioskop di gedung saja yang belakang lebih terhormat.

Perumpamaan Tuhan Yesus sepertinya langsung ditujukan kepada semua orang yang datang berebut tempat terdepan. Kelihatannya wajar-wajar saja dan dapat diterima dengan nalar. Penulispun pernah mengalami sewaktu mendapat undangan wisuda anak. Gedung sudah penuh tamu undangan yang berdandan cantik dan tampan. Penulis bersama isteri masuk ke gedung dan mencari tempat kosong di belakang. Namun penerima tamu melihat kartu undangan penulis dan diminta duduk di depan, yang terpaksa dengan halus mempersilahkan yang sudah duduk untuk pindah. Penulis baru menyadari mengapa duduk di depan, setelah upacara wisuda berjalan beberapa saat.

Dalam pemahaman penulis, ada hal hal lain yang lebih penting dari perumpaan tersebut. Kita diajar untuk berani rendah hati dan mengalah, memberi tempat atau kesempatan kepada orang lain. Biarlah di mata manusia dianggap sebagai bukan apa-apa, tidak dikenal dan diacuhkan. Pandangan Tuhan sangat berbeda dengan cara pandang duniawi, yang seringkali terbalik-balik. Kesombongan dan kebanggan diri selalu bertolak belakang dengan kerendahan hati.

Dalam pandangan dunia yang namanya gubernur, bupati, uskup, pendeta, kiai pasti mendapat tempat yang terhormat. Dalam setiap acara apapun pasti duduknya mengelompok di depan. Biasanya jamuan yang dihidangkan juga berbeda kualitasnya. Pasti akan banyak orang biasa yang ingin duduk di dekat mereka untuk bisa ngobrol apapun. Ada suatu kebanggan yang mungkin saja bisa dipamerkan kepada orang lain yang belum pernah mengalami. Akan sangat aneh apabila yang dihormati malah duduk menyendiri di belakang.

Jangan-jangan di Mata Tuhan malahan si pemulung yang belum pernah mendapat kehormatan duniawi, menerima tempat terhormat di surga. Boro-boro masuk ke dalam gedung pertemuan menjadi bagian pada acara tersebut. Kemungkinan besar malah sudah dijauhkan dari area pertemuan tersebut. Dianggap mengotori pemandangan, apalagi bila sampai dilihat oleh tamu yang terhormat. Akan kelihatan bahwa masih banyak yang harus dibenahi, termasuk mengentaskan orang miskin dan menderita.

Siapa yang harus diundang?
14:12 Dan Yesus berkata juga kepada orang yang mengundang Dia: "Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya. 14:13 Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. 14:14 Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar."
Ajaran Tuhan Yesus memang membikin kita terhenyak karena tidak umum untuk ukuran duniawi. Mungkin sekarang ini sudah ada yang memulai melakukan pesta makan bersama dengan kaum jelata. Misalnya dengan anak-anak panti asuhan, panti wreda dan yang lainnya lagi. Penulis tidak tahu lagi maksud dan tujuannya, apabila acara tersebut sampai disiarkan lewat radio dan televisi.

Saling berbagi dan saling berbalas dalam kelompok memang sudah menjadi kebiasaan. Secara perlahan kadang-kadang tumbuh menjadi seperti kelompok eksklusif. Sebagai pengikatnya, dibuatlah arisan dengan maksud baik agar bisa berkumpul dan bersilaturahmi. Dalam perjalanan waktu, malahan arisan ini yang sering menimbulkan perselisihan.

Sekarang, bagaimana caranya untuk menumbuhkan kepedulian kepada kaum yang menderita. Kelompok yang betul-betul membutuhkan bantuan dan pertolongan. Mungkin hanya ketulusan untuk berbagi saja yang menjadi dasarnya. Pengalaman penulis sewaktu bersyukur hampir setiap bulan Desember, banyak tetangga berdatangan, melebihi sewaktu sembahyangan. Para tetangga itu mulai berdatangan bersilaturahmi, malahan saat ramai-ramainya issue bom merebak di Bandung. Kabar bom meledak sendiri yang menewaskan si pembuat, sebelum disebarkan ke gereja-gereja pada saat natal. Kedatangan para tetangga jelas membuat kaget seisi rumah karena tidak biasanya. Isteri penulis yang sibuk menyiapkan hidangan, entah membuat sendiri entah dari warung, dibantu anak-anak. Setelah itu ada kebiasaan ia selalu berkeliling mengundang orang-orang yang “malu” datang karena keadaannya. Jika tidak, setelah selesai acara makan bersama barulah berkeliling untuk berbagi. Ada suatu kepuasan yang sulit dijelaskan apabila semua yang disuguhkan habis tandas. Bingungnya apabila yang datang di luar perkiraan, sampai kekurangan seperti saat pertama. Penulis tidak tahu sampai kapan kebiasaan ini akan berlanjut, atau pada saatnya akan berhenti sendiri.

Perumpamaan tentang orang yang Berdalih
14:15. Mendengar itu berkatalah seorang dari tamu-tamu itu kepada Yesus: "Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah." 14:16 Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ada seorang mengadakan perjamuan besar dan ia mengundang banyak orang. 14:17 Menjelang perjamuan itu dimulai, ia menyuruh hambanya mengatakan kepada para undangan: Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap. 14:18 Tetapi mereka bersama-sama meminta maaf. Yang pertama berkata kepadanya: Aku telah membeli ladang dan aku harus pergi melihatnya; aku minta dimaafkan. 14:19 Yang lain berkata: Aku telah membeli lima pasang lembu kebiri dan aku harus pergi mencobanya; aku minta dimaafkan. 14:20 Yang lain lagi berkata: Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang. 14:21 Maka kembalilah hamba itu dan menyampaikan semuanya itu kepada tuannya. Lalu murkalah tuan rumah itu dan berkata kepada hambanya: Pergilah dengan segera ke segala jalan dan lorong kota dan bawalah ke mari orang-orang miskin dan orang-orang cacat dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh. 14:22 Kemudian hamba itu melaporkan: Tuan, apa yang tuan perintahkan itu sudah dilaksanakan, tetapi sekalipun demikian masih ada tempat. 14:23 Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena rumahku harus penuh. 14:24 Sebab Aku berkata kepadamu: Tidak ada seorangpun dari orang-orang yang telah diundang itu akan menikmati jamuan-Ku."
Seringkali dalam hidup ini kita merasa bahwa telah melaksanakan ajaran Allah dengan secukupnya. Kadang-kadang merasa lebih baik dari orang lain yang selama ini terlihat tidak karuan. Perasaan menilai diri dan yang lainnya, terus membandingkan yang hanya terbatas yang dapat dilihat, sepertinya malah menjadi batu sandungan. Mungkin disinilah kita seperti orang Farisi pada waktu itu yang menilai dirinya lebih baik dari orang kebanyakan. Apalagi dibandingkan dengan yang miskin, menderita dan cacat lagi. Bikin repot saja!

Dalam pemahaman penulis, ada yang lebih dalam dari cerita tersebut. Pada dasarnya Allah maha pengasih dan maha rahim menginginkan semua orang dapat ikut menikmati perjamuan-Nya. Kerajaan Allah sepertinya tidak terbatas luasnya, cukup untuk menampung seluruh umat manusia sampai kapanpun. Syarat untuk memasuki Kerajaan-Nya sepertinya setiap waktu semakin lunak. Karena para undangan terpilih tidak mau datang, maka semua orang bermasalah dan yang tidak karuan malah dicari untuk menikmati hidangan perjamuan. Kelihatannya memang ditujukan kepada orang Yahudi yang merasa sebagai orang pilihan.

Kenikmatan gemerlapnya duniawi disadari ataupun tidak, menjadi hambatan dan halangan untuk menghadiri undangan-Nya. Kesibukan dalam menikmati dunia ini sepertinya tidak ada habisnya. Kalau bisa waktu yang hanya duapuluhempat jam sehari diubah menjadi empatpuluh jam sehari. Waktu untuk Tuhan, untuk berbuat baik dan bersilaturahmi sudah tidak kebagian. Banyak alasan untuk menolak ajakan pesta perjamuan. Kalau bisa diundur, nanti saja kalau sudah senggang.

Pasti ada maksud terdalam, bagaimana seseorang memperluas tanah ladangnya, yang lain memperbanyak binatang piaraan, dan yang lainnya lagi terpaku menikmati hubungan laki-laki dan perempuan. Mereka sedang sibuk dengan kenikmatan duniawi, sesuai dengan seleranya masing-masing. Karena kelekatan duniawi ini, kita sering melalaikan undangan Tuhan. Seribu satu macam alasan bisa kita persiapkan dengan baik dan masuk akal.

Dalam pemahaman penulis, Misa Kudus adalah upacara perjamuan yang paling tinggi, paling hebat, paling mulia di dunia ini. Tuhan Yesus sendiri berkenan hadir dan memberikan berkat-Nya bagi semua orang yang hadir mencari Dia. Sering kali kita tidak siap untuk menyongsong kehadiran-Nya. Alasan capai, ngantuk karena bergadang, ada urusan bisnis besar, sedang bermasalah dalam keluarga dan lain sebagainya

Kata-kata Tuhan Yesus cukup membikin bulu kuduk berdiri. Tidak ada seorangpun dari kelompok undangan ini yang akan menikmati jamuan-Nya. Jamuan yang telah disiapkan malah akan dinikmati oleh orang-orang yang selama ini kita abaikan, kita remehkan, tidak kita pedulikan, malahan yang tidak kita sukai, kita benci menurut pandangan kita.

Kita bisa merasakan betapa bangganya sewaktu mendapat undangan pesta dari gubernur, apalagi presiden. Rasanya pada waktu itu seolah-olah kita termasuk orang pilihan, kita ceritakan kepada orang lain, kalau perlu undangannya dibawa dan diperlihatkan. Seiring perjalanan waktu dan sudah berkali-kali mendapat undangan, lama-lama menjadi biasa. Persiapan untuk menghadiri undangan dengan pakaian pesta mulai menjadi batu sandungan. Mulailah muncul alasan-alasan untuk tidak menghadiri undangan tersebut. Jangan-jangan setelah itu tidak akan menerima undangan lagi. Jangan-jangan gubernur dan presiden malah membuka acara bertemu dengan rakyatnya, terbuka bagi siapa saja yang mau hadir.

Ada satu hal yang penting untuk direnungkan, sebetapa besarpun dosa dan kesalahan kita di hadapan manusia, Allah tetap mengharapkan kedatangan kita ke hadapan-Nya. Serendah apapun kita dinilai masyarakat, Allah tetap memperhatikan kita dengan penuh kasih. Intinya, kita mau berbalik dan pasrah kepada-Nya. Tangan-Nya tetap terbuka menantikan dengan harap-harap cemas penuh kerinduan, yang sulit diuraikan.
Hal Melepas untuk mengikut Yesus
14:25. Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: 14:26 "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. 14:27 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. 14:28 Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? 14:29 Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, 14:30 sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. 14:31 Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? 14:32 Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. 14:33 Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku. 14:34 Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? 14:35 Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja. Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!"
Cukup membingungkan! Dalam pemahaman penulis dengan bahasa hati atau bahasa rohani, kita diajar untuk berani membenci kesalahan, kedosaan kita masing-masing. Berani mengakui bahwa tidak ada seorangpun yang suci bersih seratus prosen. Kebencian yang membuahkan perasaan antipati kepada kejahatan, yang dapat merubah orang untuk menjadi murid-Nya. Seringkali ilalang kejahatan itu malah kita pelihara, siapa tahu nanti ada gunanya. Sayang, sudah pernah dimiliki koq dibuang begitu saja.

Kita diajar untuk berani menyangkal diri bahwa kita ini sebenarnya penuh dengan kesalahan, kekurangan. Demikian juga dengan semua keluarga kita, mereka mempunyai kesalahan dan kekurangannya masing-masing. Yang negatif inilah yang kita benci, sehingga kita bisa dianggap pantas untuk menjadi murid-Nya.

Kita diajar untuk memikul salib kita sendiri. Salib adalah bagian perjalanan hidup kita yang merupakan konsekuensi logis karena mengikut Dia. Kita diajar untuk merenung apakah sudah siap mengikuti Dia dengan syarat memikul salib pribadi. Salib memang cukup berat dan selalu dibawa kemana-mana. Namun kadang-kadang salib yang berat tersebut ada hikmahnya. Salib bisa menjadi jembatan sewaktu menyeberangi celah gunung batu yang curam. Bisa menjadi alat bantu mengapung untuk menyeberangi sungai. Bisa menjadi alat bantu setengah tangga untuk mengambil sesuatu yang di atas.

Kita diajar untuk melepaskan kelekatan yang selama ini menempel dalam diri kita, apapun itu, termasuk keluarga. Kita akan berjalan sendiri dan mengikut Kristus yang menuntun kita. Hidup bersama Kristus berarti harus berdamai dahulu dengan-Nya, yang tidak memerlukan harta duniawi yang bisa lenyap dalam sekejap. Walaupun seluruh keluarga juga ikut memanggul salib masing-masing, berat bebannya pasti berbeda. Salib tersebut tidak bisa kita tukar dengan yang lainnya. Menjadi murid-Nya berarti sangat pribadi dan siap melepaskan segala macam ikatan yang membelenggu.

Garam menjadi rawar memang agak aneh di benak kita untuk sekarang ini. Namun apabila kita mencoba membayangkan masa duaribu tahun lalu, kita bisa memaklumi bahwa garam diambil dari batu di Laut Mati. Batu tersebut yang sudah terlapisi garam bertahun-tahun diambil dibawa pulang untuk keperluan segala macam. Pada suatu saat maka batu tersebut akan kehilangan garamnya karena terus dimanfaatkan, sehingga menjadi batu biasa. Batu tersebut dibuang di halaman rumah untuk pengeras jalan agar tidak licin.

Kita diharapkan untuk selalu bisa menjadi garam, selama masih hidup. Garam yang tidak pernah habis, yang berguna untuk orang lain. Walaupun sedikit, garam menjadi penyedap utama setiap masakan. Garam juga bisa menjadi bahan pengawet maupun untuk pupuk. Betapa dalam perumpamaan garam tersebut secara rohani, apabila dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kita diajar untuk mendengar dan merenungkannya dengan sungguh-sungguh. Hubungan ikatan keluarga sering kali menjadi batu sandungan dan sangat sulit untuk melepaskan. Hal ini bukan berarti cuek atau tidak mempunyai kepedulian dengan keluarga. Alangkah indahnya apabila dalam suatu keluarga bisa saling bersepakat untuk belajar memanggul salibnya masing-masing dan saling menolong. Yang jelas salib kita tidak seberat salib yang dipanggul oleh Tuhan Yesus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar