Selasa, 01 Desember 2009

Memahami Markus bab2

Bab 2 - Penyembuhan, Murid lainnya, hal Berpuasa

Yesus menyembuhkan orang lumpuh
2:1. Kemudian, sesudah lewat beberapa hari, waktu Yesus datang lagi ke Kapernaum, tersiarlah kabar, bahwa Ia ada di rumah. 2:2 Maka datanglah orang-orang berkerumun sehingga tidak ada lagi tempat, bahkan di muka pintupun tidak. Sementara Ia memberitakan firman kepada mereka, 2:3 ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang. 2:4 Tetapi mereka tidak dapat membawanya kepada-Nya karena orang banyak itu, lalu mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring. 2:5 Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!"
Mungkin kita bisa membayangkan kepercayaan sekelompok orang yang membawa orang lumpuh tersebut. Pada awalnya mungkin kaget bahwa begitu banyak orang yang berbondong-bondong ingin bertemu dengan Tuhan Yesus. Bagaimana mungkin bisa bertemu dalam keadaan membawa orang yang sakit lumpuh. Tanpa ketemu sendiri dan menyampaikan permohonan, agaknya tidak mungkin bisa terjadi kesembuhan. Saking percayanya, mereka berusaha dengan segala macam cara, agar bisa bertemu langsung, sampai di hadapan Tuhan Yesus.

Cara yang paling aneh namun pasti akan sampai di hadapan-Nya, adalah membuka atap. Biarlah dimarahi oleh yang punya rumah, nanti kan masih bisa diperbaiki dan diganti biayanya. Karena iman, maka cara yang tidak lumrahpun bisa dipergunakan, yang penting bisa bertemu dengan Sang Maha Tabib. Dan terjadilah mukjizat kesembuhan bagi si lumpuh sehingga ia bisa berjalan sendiri.

Sepertinya Tuhan Yesus lebih menekankan perlunya pertobatan, sehingga Dia berkata :”Dosamu sudah diampuni.” Dia tidak mengatakan kepada si lumpuh bahwa sakitnya sudah disembuhkan. Ataukah sebenarnya segala macam penyakit yang diderita setelah lahir, disebabkan oleh pola hidup kita yang tidak baik. Kita terlalu mengumbar hawa nafsu dan keserakahan yang dampaknya merugikan orang lain. Pada awalnya, rohani kitalah yang sedang sakit, namun tidak dipedulikan. Lama kelamaan penyakit tersebut menyerang jasmani yang bisa merasakan. Maka diperlukan pertobatan lebih dahulu, keinginan untuk berubah ke yang lebih baik. Karena bertobat, maka segala macam sakit penyakit bisa disembuhkan dengan cara yang mengherankan. Dan itu menjadi bahan kritikan oleh para ahli Taurat.

2:6 Tetapi di situ ada juga duduk beberapa ahli Taurat, mereka berpikir dalam hatinya: 2:7 "Mengapa orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah. Siapa yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?"
2:8 Tetapi Yesus segera mengetahui dalam hati-Nya, bahwa mereka berpikir demikian, lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu? 2:9 Manakah lebih mudah, mengatakan kepada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalan? 2:10 Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa" --berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu--: 2:11 "Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!" 2:12 Dan orang itupun bangun, segera mengangkat tempat tidurnya dan pergi ke luar di hadapan orang-orang itu, sehingga mereka semua takjub lalu memuliakan Allah, katanya: "Yang begini belum pernah kita lihat."
Pasti para ahli Taurat tidak mengerti dan tidak bisa melihat tanda-tanda ajaib yang terjadi, sesuatu hal yang perlu direnungkan terlebih dahulu. Mereka hanya melihat dengan badan kasar dan akal budi, bahwa hanya Allah yang tidak kelihatan saja yang bisa mengampuni. Yang berani mengampuni kalau bukan Allah, pasti menghujat Allah.

Tuhan Yesus tahu apa yang dipikirkan para ahli Taurat, dan Dia mengatakan bahwa Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa. Dalam hati para ahli Taurat sepertinya tetap tidak bisa menangkap, siapakah sebenarnya Anak Manusia. Mereka seperti dibutakan oleh akal budinya yang selama ini sudah mendarah daging, bahwa merekalah yang selalu menjadi panutan. Dogmanya selalu ditaati banyak orang, walaupun mungkin di dalam hati bertanya-tanya karena dianggap aneh atau tidak umum.

Kita tahu dan mengerti bahwa Tuhan Yesus adalah Allah sendiri karena diajar oleh kesaksian para murid-Nya. Jangan-jangan kalau kita hidup di zaman itu, kitapun sependapat dengan para ahli Taurat. Silahkan membuat mukjizat penyembuhan, namun jangan sekali-kali menyamakan diri dengan Allah. Itu namanya menghujat Allah.

Dalam pemahaman penulis, kita diajar untuk lebih menekankan kepada pertobatan karena dosa, dari pada kesembuhan karena penyakit. Sembuh rohani lebih penting dari pada sembuh jasmani. Namanya juga manusia, maka kalau boleh meminta, ya sembuh jasmani ya sembuh rohani. Pada umumnya yang kita pentingkan pertama kali adalah sembuh jasmani dari segala penyakit. Masalah rohani, itu soal lain lagi.

Tuhan Yesus sangat memaklumi akan pikiran kita manusia karena kedagingan kita. Dengan belas kasih-Nya Dia tetap menyembuhkan, namun dengan menekankan bahwa kesembuhan itu sebagai dampak karena percaya dan dosanya diampuni. Dia tidak berkata sembuhlah, tetapi bangunlah dan angkatlah tempat tidurmu.

Para pemuka agama pada waktu itu seperti dibutakan dan ditulikan hatinya. Mereka tidak bisa memahami bahwa Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa di dunia ini. Sepertinya mereka tidak bisa menangkap dan memecahkan rahasia nubuat para nabi tentang Mesias. Mungkin seperti orang yang sedang mata gelap, semuanya terlihat buram sehingga pikiran sehat tidak berjalan. Secercah cahaya yang diterima malah terasa membutakan akal budi.

Lewi mengikut Yesus
2:13. Sesudah itu Yesus pergi lagi ke pantai danau, dan seluruh orang banyak datang kepada-Nya, lalu Ia mengajar mereka. 2:14 Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku!" Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia. 2:15 Kemudian ketika Yesus makan di rumah orang itu, banyak pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya, sebab banyak orang yang mengikuti Dia.
Penulis tidak bisa membayangkan, bagaimana Lewi bin Alfeus begitu gampang mengikut Tuhan Yesus. Pekerjaan sebagai pemungut cukai pada waktu itu pastilah memberikan penghasilan yang mencukupi. Namun begitu bertemu dengan Tuhan Yesus yang mengajak untuk ikut, Lewi bisa berubah berbalik arah dan bersedia. Dalam pemahaman penulis, Lewi adalah Matius yang menulis Injil pertama.

Lewi pasti menyadari bahwa dia termasuk orang yang tidak disukai karena pekerjaannya. Dia pasti sadar bahwa dianggap sebagai orang-orang berdosa dan tidak layak berkumpul dengan kelompok yang mengaku baik-baik. Tuhan Yesuspun pastilah dimasukkan ke dalam kelompok orang yang baik, karena sering berkotbah di sinagoga.

Pada kenyataannya Tuhan Yesus berkenan mengajak dia untuk ikut sebagai murid-Nya. Hal ini suatu hal yang luar biasa bagi lewi, dan sudah menjadi daya tarik tersendiri. Lewi merasa dimanusiakan oleh Tuhan Yesus, yang memberikan rasa sukacita yang bukan main. Sukacita yang melegakan bisa membuat orang melakukan sesuatu dengan keikhlasan tanpa pamrih. Maka rasa kegembiraan yang dialami tersebut diungkapkan melalui mengajak makan bersama dengan banyak orang.

Hal tersebut sepertinya secara tidak langsung Tuhan Yesus mengajar kita untuk berani seperti Dia. Berani mengajak orang lain yang kita anggap sebagai kelompok orang berdosa untuk kembali ke jalan yang benar. Selama ini seringkali kita membuat garis pemisah dan berusaha menghindar dari kelompok semacam itu. Maksudnya jangan sampai ketularan atau jangan-jangan takut dianggap orang lain bahwa kita seperti mereka. Ada peribahasa yang mengatakan bahwa emas tetaplah emas, walaupun bercampur dengan lumpur.

Pada dasarnya tidak ada seorangpun yang ingin menjadi atau berbuat yang tidak baik. Semua orang menginginkan disebut sebagai orang yang baik. Karena situasi dan kondisi serta nafsu kedagingan, maka muncullah keterpaksaan untuk berbuat tidak baik. Pasti ada seribu satu macam alasan yang dapat disampaikan untuk pembelaan diri. Jangan-jangan, langsung atau tidak langsung yang mengaku baik ini malah ikut andil munculnya orang-orang yang dianggap tidak baik tersebut. Yang menjadi masalah adalah apabila terlena kepada kenikmatan dari hasil perbuatan tidak baik tersebut. Jangan-jangan malah ketagihan karena memberikan kenikmatan duniawi.

2:16 Pada waktu ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat, bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu, berkatalah mereka kepada murid-murid-Nya: "Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" 2:17 Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."
Tuhan Yesus mengumpamakan diri-Nya sebagai seorang tabib, dimana sangat diperlukan oleh orang-orang yang sedang sakit. Mereka mencari tabib karena ada keinginan untuk sembuh, sembuh dari sakit yang jasmani maupun yang rohani. Dia datang memang untuk orang yang berdosa, bukan orang yang hidupnya sudah merasa benar.

Beruntunglah kita yang mengenal Dia Sang Tabib, karena kita masih termasuk orang-orang yang berdosa. Kita masih membutuhkan kesembuhan dari segala macam kesakitan kita. Ya sakit rohani maupun sakit jasmani. Jika kita sudah merasa berada dalam jalur orang benar, jangan-jangan Sang Tabib malah tidak mau menghampiri kita. Jadi sebenarnya kita tidak ada bedanya dengan kelompok yang sering kita sebut berdosa, sampah masyarakat, yang dijauhi dan disingkirkan. Yang membedakan mungkin hanya jenis penyakitnya saja, entah itu sakit ringan atau sakit berat. Repotnya, dalam kesakitan tersebut kita membanggakan diri bahwa kita sehat.

Kadang-kadang kita merasa bahwa sakit kita tidak begitu berat, padahal jangan-jangan di mata Sang Tabib, malahan sakit kita begitu parah yang perlu pengobatan khusus. Jangan-jangan yang kita sebut parah bagi orang lain, di mata Tuhan malah lebih mudah disembuhkan. Kita mungkin sudah terbiasa tidak begitu menghiraukan penyakit ringan, kita anggap biasa-biasa saja seperti orang lain. Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit, kata peribahasa. Pada saatnya kita akan kaget bahwa begitu parahnya penyakit kita.

Beruntunglah kita, bahwa Tuhan begitu berbelas kasih, dengan tidak bosan-bosannya menawarkan kesembuhan kepada kita. Selama kita masih hidup di dunia ini, Tuhan selalu buka praktek dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu. Dia tidak pernah pandang bulu dan pilih kasih untuk menyembuhkan pasien-Nya. Semuanya mendapatkan pelayanan yang sama.

Tuhan, ajarilah aku untuk selalu mawas diri dari kedosaanku. Biarkan aku mencari-Mu untuk menyembuhkan aku.

Hal berpuasa
2:18. Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan mengatakan kepada Yesus: "Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?" 2:19 Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. 2:20 Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. 2:21 Tidak seorangpun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya. 2:22 Demikian juga tidak seorangpun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula."
Penulis tidak tahu kapan dan bagaimana para murid Yohanes Pembaptis dan orang Farisi berpuasa. Kalau tidak salah memang ada ajaran untuk berpuasa seminggu dua kali. Bunda Maria dalam penampakannya di Medjugorje memberikan pesan untuk berpuasa pada hari Rabu dan Jumat demi kedamaian dunia yang tidak ada damai ini.

Dalam pemahaman penulis, Tuhan Yesus adalah mempelai kita secara rohani. Dalam istilah Jawa ada sebutan “garwa” sigarane nyawa, atau belahan jiwa. Mestinya Tuhan Yesus menjadi garwa kita, menjadi belahan jiwa kita. Biarkanlah Dia menyatu dengan kita, seperti ucapan imam “Tuhan beserta kita.” Pada saat-saat dan suasana seperti itu, keadaan penuh sukacita mestinya kita tidak berpuasa. Dalam keadaan merasa bahwa Tuhan begitu jauh, mestinya kita sedih, nelangsa, maka kita berpuasa. Pemikiran ini mungkin keliru, jangan-jangan Tuhan selalu mendekati kita, ingin masuk ke dalam diri kita dan menyatu dengan kita. Kitalah yang menyingkirkan atau menolak kedatangan Tuhan, karena merasa terganggu. Kita merasa tidak bebas mengumbar segala macam hawa nafsu kedagingan kita, selama Tuhan beserta kita.

Penulis merasa sulit untuk memahami perumpamaan kain cabik dan kantong anggur ini. Kain tua tidak bisa dipersatukan dengan kain baru, karena yang baru akan mengoyakkan yang lama. Demikian juga kantong kulit yang tua tidak akan dipakai untuk menampung anggur yang baru. Kantong lama akan terkoyak dan dua-duanya terbuang percuma.

Paling tidak pandangan baru akan sangat sulit diterima oleh pandangan lama. Tuhan Yesus sendiri sepertinya membawa perubahan dalam memandang Allah Bapa. Pandangan baru yang diwartakan Tuhan Yesus mau tidak mau akan sulit dimengerti oleh bangsa sezamannya. Apalagi bagi para ahli Taurat maupun kaum Farisi yang ahli dengan ajaran budaya yang dianutnya. Adat kebiasaan, dogma, ajaran yang sudah mendarah daging, akan sangat sulit untuk disambungkan dengan pengajaran baru, walaupun yang baru itu benar adanya. Mungkin diperlukan usaha keras membersihkan memori yang menempel, menjadi seperti belum pernah belajar dulu. Baru kemudian diisi dengan pemahaman baru yang betul-betul berbeda dari pemahaman lama.

Mungkin kita pernah mendengar orang tua kita yang mengeluh bahwa anak-anak sekarang lebih sulit diatur, menurut selera orang tua kita. Pada waktu kita menjadi orang tua, kita juga mengatakan bahwa anak zaman sekarang sangat berbeda dengan selera kita. Kita sering lupa bahwa setiap angkatan akan mempunyai selera yang menjurus kepada budaya yang berbeda. Kebiasaan orang tua kita pasti agak berbeda dengan angkatan kita, demikian juga dengan anak-anak kita. Yang tua ini sering kali tidak bisa menerima bahwa zaman sudah berubah dan merasa sudah makan asam garam dunia. Mungkin kita tidak menyangka bahwa yang muda jangan-jangan malah sudah makan asam, garam, gula, kina maupun campuran segala rasa. Mereka bisa belajar sejarah perkembangan manusia yang lebih dahulu ada, sedangkan yang tua pasti belum pernah belajar apa yang akan terjadi di kemudian hari. Jikalau toch belajar, mungkin baru setingkat teori kira-kira, teori kemungkinan, karena memang belum terjadi.

Untuk bisa beradaptasi dengan perubahan, diperlukan keberanian merenung mengapa terjadi perubahan. Mungkin kita harus sadar bahwa yang kekal di dunia ini adalah perubahan. Setiap saat selalu berubah dan berubah. Yang Tidak berubah mungkin hanya Allah yang dari dahulu, sekarang dan yang akan datang tetap kekal.

Apabila penulis mengatakan bahwa Santo Yusup itu masih muda sewaktu bertunangan dengan Bunda Maria, mungkin banyak orang yang geger dan heboh. Apalagi mengatakan bahwa Santo Yusup meninggal setelah Tuhan Yesus naik ke sorga, jangan-jangan akan semakin ramai. Padahal kita semua tidak mengalami dan tidak tahu persis kejadian pada waktu itu. Yang sudah diajarkan dan menempel dalam benak kita, Santo Yusup sudah tua.

Mungkin sama halnya apabila penulis mengatakan bahwa Bunda Maria itu turun dari langit. Tidak ada seorangpun perawan di dunia ini yang pantas menjadi ibunya Tuhan Yesus. Keluarga kudus Nazaret itu datang dari surga dengan cara yang penuh misteri. Tidak ada seorangpun yang tahu persis bagaimana mereka datang atau lahir didunia. Semuanya masih katanya dan katanya, tidak ada tinggalan bukti tentang kelahiran Bunda Maria dan Santo Yusup. Penulis merasa yakin bahwa hampir semua orang tidak akan percaya dan menganggap penulis ngayawara. Semua kain tua dan kantong anggur tua akan berantakan apabila langsung mempercayai kabar ini.

Memetik gandum di hari Sabat
2:23 Pada suatu kali, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum. 2:24 Maka kata orang-orang Farisi kepada-Nya: "Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?" 2:25 Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, 2:26 bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu--yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam--dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya. “
2:27 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, 2:28 jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat."
Penulis hanya memperkirakan bahwa pada hari Sabat setiap orang Yahudi tidak bekerja. Hari Sabat adalah harinya Tuhan yang hanya dimanfaatkan untuk keluhuran Tuhan. Mungkin banyak aturan yang dikembangkan khusus untuk hari Sabat. Hari Sabat berlaku sejak petang hari matahari tenggelam di hari Jumat sore, sampai hari Sabtu petang hari. Hampir sama dengan sebutan hari bagi orang Jawa yang masih menjunjung adat istiadat tinggalan nenek moyang.

Penulis juga heran sewaktu ziarah ke Yerusalem dan menginap di sebuah hotel. Hari Jumat pagi penulis dengan rombongan pergi berziarah dan pulang ke hotel sudah sore. Untuk makan malam, kami diajak ke sebuah rumah makan yang dikelola oleh orang-orang non Yahudi, karena hampir seluruh rumah makan pada malam itu tutup dan jalan-jalan menjadi sepi. Sewaktu kembali ke hotel dan akan ke kamar, penulis mencoba menekan tombol lift sesuai lantai kamar menginap. Nyatanya tombol tersebut sudah diprogram sedemikian rupa, khusus untuk hari Sabat. Lift akan membuka dan menutup secara otomatis di setiap lantai selama dua puluh empat jam. Bisa kita bayangkan bagaimana menunggu pintu lift akan membuka lagi, apabila dia sudah menutup; apa lagi kalau kamar kita di lantai paling atas. Menekan tombol lift saja sudah dianggap sebagai bekerja! Bagi orang yang beragama Yahudi, hal itu tidak diperbolehkan.

Tuhan Yesus sepertinya membela apa yang dilakukan para murid. Komentar orang Farisi itu dibalikkan agar direnungkan. Mengapa pada hari Sabat Daud boleh melakukan perbuatan memakan roti sajian kudus yang ada di Bait Allah dan membagikan kepada para pengikutnya. Padahal Daud bukan golongan imam, malahan sedang dikejar-kejar oleh raja Saul (1Sam 21). Hal ini salah satu pandangan baru yang diwartakan oleh Tuhan Yesus, yang menjadikan batu sandungan. Tuhan Yesus lebih berpihak kepada orang-orang yang kelaparan dan membutuhkan makan, walaupun pada hari Sabat. Kehidupan manusia itu sendiri lebih penting dari segala macam adat istiadat yang ada. Semua hari diadakan demi kepentingan manusia, bukan sebaliknya.

Mungkin kita bisa memahami bahwa pada awalnya segala adat kebiasaan itu dibuat atau diadakan oleh manusia, demi kepentingan manusia itu sendiri. Lama kelamaan terjadilah perubahan sedikit demi sedikit tanpa disadari dan terjadilah salah kaprah atau kebablasan. Manusia untuk adat istiadat, demikian juga manusia untuk hari Sabat. Adat dan Sabat malah dinomor satukan dari pada kehidupan manusia itu sendiri. Karena adat istiadat, bisa terjadi hak azasi manusia malah dikalahkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun sering dibuat bingung karena adat istiadat yang seperti aturan tidak tertulis. Mungkin setiap suku mempunyai kebiasaannya masing-masing, dan bisa terjadi bahwa kebiasaan tersebut malah kebalikan dari kebiasaan suku lain. Yang susah jika ditekankan “pokoknya begitu” dan harus dilaksanakan. Melanggar adat akan kualat atau celaka. Penulis merasa yakin bahwa kebiasaan tersebut pasti ada latar belakangnya, yang kemudian disepakati oleh para tua-tua untuk menjadi adat istiadat.

Tuhan Yesus malah lebih menekankan bahwa Dia juga Tuhan atas hari Sabat. Tuhan dari segala macam adat istiadat. Dia tidak mau menyebut diri-Nya sebagai Tuhan, namun cukup sebagai Anak Manusia. Dia menjadi bagian dari kita manusia, namun tetaplah bahwa Dia Allah sejati. Dia sebagai Allah, sepertinya tidak ingin bahwa manusia menjadi kebablasan yang tidak bermakna. Hari Sabat sebagai harinya Tuhan adalah baik, namun jangan sampai demi Sabat orang tidak boleh melakukan perbuatan baik dan benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar