Senin, 12 April 2010

Memahami Yohanes Bab 13:31-35

Perintah baru

13:31. Sesudah Yudas pergi, berkatalah Yesus: "Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia. 13:32 Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia, Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera. 13:33 Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu. 13:34 Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. 13:35 Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi."

Dalam pemahaman penulis, Tuhan Yesus sepertinya mengajarkan bahwa Dia bersama dan bersatu dengan Allah Bapa. Tugas di dunia secara manusiawi sebentar lagi sudah hampir selesai. Dia akan kembali ke sorga, dimana siapapun yang hidup di dunia ini tidak akan mungkin bisa ke sana dengan kekuatan sendiri. Dia akan dipermuliakan dalam Allah, Allah dalam Dia.

Pengajaran kedua sepertinya begitu gampang, namun sebenarnya begitu sulit. Perintah untuk saling mengasihi, seperti Tuhan sendiri yang begitu mengasihi manusia. Siapa yang tidak bisa saling mengasihi, berarti belum bisa juga menjadi murid-murid seperti harapan-Nya. Jadi sebenarnya hal ini berlaku bagi siapa saja yang bisa saling mengasihi. walaupun mungkin belum mengenal Dia, namun karena bisa saling mengasihi, secara tidak langsung sudah menjadi murid-murid-Nya. Jika dalam suatu keluarga bisa saling mengasihi, saling melayani, saling memberi, maka orang lain akan bisa melihat dan meraba-rasakan betapa keluarga tersebut hidup dalam damai dan sejahtera. Siapakah keluarga itu? Oh, ternyata keluarga pengikut Kristus. Yang lebih global, mestinya kita menjadi keluarga besar di dunia yang tidak lagi ada pembatas. Itulah Gereja dan Tuhan Yesus sendiri menjadi kepala-Nya. Pertanyaannya, sudahkan kita bisa saling mengasihi seperti yang Dia harapkan?

Mengasihi berarti harus berani mengalah dalam situasi dan keadaan apapun. Mengalah berarti bisa menahan diri untuk tidak meluapkan kejengkelan, marah maupun dendam. Mengalah hampir sama dengan berani mematikan ego pribadi, yang akan membuahkan kebijaksanaan, bisa memaklumi orang lain. Kita mungkin bisa melihat contoh kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kita bayangkan seorang tua yang mempunyai anak bayi atau masih kecil. Karena kasihnya kepada anak, dia tidak marah sewaktu si anak ngompol atau malahan berak di pangkuan. Dengan sabar dan tersenyum dia akan membersihkan anak tersebut dan mengganti pakaian yang kotor dengan yang bersih. Dengan senang hati dia siap menjadi kuda tunggangan bagi anaknya, rambutnya dijambak untuk pegangan. Di dalam gendongan anak tersebut memukul atau menampar pipi dengan sukacita dan orang tua tetap tertawa bahagia. Orang tua sangat memaklumi kebutuhan anaknya pada waktu itu, dan anak itu masih sangat tergantung kepada orang tua. Itulah gambaran kasih sejati yang begitu tulus.

Namun kita bayangkan jika anak tersebut sudah mulai menginjak lebih besar dan dewasa. Mungkin perlakuan kita akan sangat berbeda, yang secara perlahan-lahan anak tersebut diajar mengenai sopan santun. Pengungkapan kasih secara berangsur-angsur mulai berubah, melalui pengajaran-pengajaran. Maka lambat laun cara memaklumi sang anak-pun akan berubah. Pasti ada seribu satu macam alasan yang dapat diperdebatkan, mengapa pengungkapan kasih tersebut mulai berubah. Sang anakpun secara perlahan-lahan akan bisa merasakan perubahan-perubahan itu dan mulai menyesuaikan diri.

Mengasihi dalam keluarga adalah hal biasa dan umum dijalankan oleh semua keluarga. Mengasihi orang lain, apalagi yang belum dikenal bahkan yang selama ini dianggap selalu memusuhi, bukanlah perkara gampang. Mungkin mudah untuk diucapkan namun lebih sering begitu sulit untuk dilaksanakan.

Jika kita berani jujur dengan diri sendiri, sering kali kasih kita penuh dengan syarat, embel-embel yang menyertainya. Sepertinya dibutuhkan proses pembelajaran untuk bisa mengasihi orang lain. Proses belajar bagaimana mengasihi tanpa syarat dengan penuh ketulusan. Tidak pernah menghitung untung rugi karena didasari oleh keichklasan sejati. Mungkin sewaktu berdoa Bapa kami perlu didaraskan dengan pelan-pelan, setiap kata dirasakan dengan sepenuh hati dan jiwa serta akal budi. Jangan-jangan doa yang begitu hafal di luar kepala, sebenarnya cukup sulit untuk disampaikan kepada Allah Bapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar