Jumat, 02 April 2010

Memahami Yohanes Bab 8:31-36

Kebenaran yang memerdekakan

8:31. Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku 8:32 dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." 8:33 Jawab mereka: "Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapapun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?"
8:34 Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. 8:35 Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. 8:36 Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka."


Dalam pemahaman penulis, selama ini tanpa kita sadari kita hidup sebagai hamba dosa. Kita selalu dibelenggu oleh keinginan berbuat dosa dan kita dijajah olehnya. Perbuatan salah dan dosa membuat kita merasa begitu jauh dari Tuhan. Namun apabila kita berbuat benar sesuai ajaran-Nya maka akan tumbuh perasaan plong, lega, walaupun mungkin secara kasat mata menyengsarakan. Perasaan lega itulah yang memerdekakan kita dari segala macam belenggu dunia. Yang bisa memutuskan rantai tersebut hanyalah Tuhan Yesus sendiri. Kita bukan apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa penyertaan Roh-Nya.

Kita diajar untuk berani berbuat jujur apa adanya, sehingga kebenaran tidak diselimuti oleh berbagai alasan pembenaran. Kita diajar untuk bebas dan merdeka dari segala macam perbuatan yang selama ini menjadi beban di dalam hati dan jiwa kita. Kita tahu bahwa kemerdekaan itu cukup sulit untuk dicapai, dan untuk itu memerlukan perjuangan yang keras. Penjajah yang mungkin kita sebut roh kejahatan, selalu ingin menarik kita di bawah pengaruhnya. Kita tidak bisa berjuang sendiri karena kelemahan kita, maka kita membutuhkan Sang Penyelamat untuk membebaskan kita.

Dalam keluarga Yahudi pada zaman waktu itu, sepertinya hanya anak-anak yang akan tinggal di rumah orang tuanya. Seorang hamba atau pembantu rumah tangga, sesuai dengan pekerjaannya tidak akan dibolehkan masuk sampai ke dalam kamar. Mereka masuk hanya untuk membersihkan saja, namun tidak akan boleh untuk tinggal di situ. Dalam perkembangannya, apabila sianak sudah merasa begitu dekat dengan hamba pengasuh, hanya karena keinginan si anak maka si hamba boleh tinggal menemaninya.

Mungkin kita bisa membayangkan bagaimana Allah Bapa sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah Putera. Jadi apa saja yang dilakukan Anak, hal tersebut akan sama saja dengan yang dilakukan Bapa. Penulis mungkin mengandaikan yang umum saja, sewaktu penulis bekerja di kantor bahwa penulis sedang berperan sebagai pekerja. Pada waktu di rumah sedang berkumpul dengan keluarga, maka sedang berperan sebagai bapak, sebagai kepala rumah tangga. Demikian juga sewaktu sedang rapat di gereja, saat itu sedang berperan sebagai wakil umat di lingkungan. Orangnya yang dibicarakan ya hanya penulis sendiri, bukan orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran itu sendiri sering digradasikan, malahan sering dibelokkan. Sewaktu sekolah kita akan mendengar bahwa ada nilai benar sepuluh, benar tujuh, benar lima dan sebagainya. Kebenaran untuk saat itu, bisa jadi akan berubah di saat selanjutnya. Ajaran di sekolah tentang jumlah planet yang mengelilingi matahari kita, nyatanya mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Yang konyol apabila sang guru tidak mengikuti wacana perkembangan pengetahuan, sedangkan murid malah rajin karena minatnya.

Tidak jarang kita mencari atau mempertahankan benarnya sendiri dan kemudian menyalahkan orang lain. Sangat sulit untuk belajar menyangkal diri di hadapan orang lain. Padahal betapa indahnya kalau berani menyangkal diri sebelum disalahkan pihak lain. Mungkin konflik keluarga, atau konflik yang lebih besar dapat dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar